Kota Rilma
Ada alasan mengapa Aksa selalu merasa kecil di Kota Barka. Sebenarnya bukan karena kotanya terlalu besar—meski memang besar. Bukan pula karena orang-orangnya terlalu pintar—meski sebagian memang seperti robot.
Alasan yang paling sederhana adalah Aksa berasal dari tempat yang sama sekali berbeda. Aksa lahir dan tumbuh di sebuah kota kecil bernama Rilma, sebuah kota perbukitan di barat Negara Lambarda. Penduduknya tak sampai empat puluh ribu jiwa. Kota itu tenang, tidak ada gedung tinggi, tidak ada lampu neon besar, tidak ada trem elektrik, tidak ada kesibukan tanpa henti seperti di Barka.
Rilma adalah kota yang berjalan dengan ritme manusia—bukan ritme mesin. Di sanalah Aksa dibesarkan. Di kota kecil itulah semua dongeng ibu dilahirkan. Dan di sanalah hati Aksa selalu terasa nyaman meski ia jarang mengakuinya.
Jika Barka adalah kota yang hidup dengan lampu, Rilma hidup dengan matahari. Jika Barka adalah kota yang bergerak tanpa henti, Rilma adalah kota yang diam lalu bergerak pelan.
Jika Barka adalah kota yang bising oleh suara kendaraan, Rilma penuh suara ayam jantan, pedagang sayur keliling, dan angin yang menyapu pepohonan.
Rumah Aksa berada di bagian atas kota, sebuah rumah sederhana bercat krem dengan halaman kecil berisi tanaman-tanaman kesayangan ibunya: melati, lavender, dan beberapa pot kecil bunga matahari. Dari halaman itu, orang bisa melihat pemandangan lembah dan atap-atap rumah warga lain.
Setiap pagi, Rilma seperti membuka mata dengan lembut. Tidak ada orang berlari-larian mengejar waktu. Tidak ada alarm yang memaksa manusia bergerak. Semua mengalir perlahan.
Waktu kecil, Aksa suka duduk di teras sambil menatap kabut yang turun dari bukit.
Ia selalu merasa seperti sedang menonton dunia yang masih mengantuk.
Di kota sekecil itulah Aksa membentuk cara pandang tentang dunia: pelan, sabar, dan hangat. Namun cara pandang itu berubah ketika ia pindah ke Barka.
Ayahnya, Mas Rum, adalah pegawai di kantor administrasi kota. Ia bukan orang kaya, bukan pula orang yang penuh pengaruh. Tapi ia adalah orang yang paling konsisten dalam hidup Aksa.
Mas Rum tipe pria pendiam, tidak banyak bicara, tetapi selalu bekerja dengan hati. Ia pulang tepat waktu, makan malam tepat waktu, dan setiap malam duduk di ruang tengah sambil membaca koran tipis yang sama sejak puluhan tahun.
Ia bukan ayah yang heroik, bukan yang suka berbicara hal besar tentang mimpi atau ambisi. Namun ia punya satu kelebihan: Ia bisa mendengarkan.
Setiap kali Aksa tumbuh dengan pertanyaan-pertanyaan aneh tentang dunia, ayahnya selalu menjawab dengan sederhana. “Kalau kamu tidak tahu jawabannya, Nak, tidak apa-apa. Yang penting kau terus belajar.”
Gaya bicara ayahnya berbanding terbalik dengan ibunya. Ibunya, Bu Lira, adalah sumber suara hangat dalam hidup Aksa. Ia bukan wanita yang bekerja di kantor besar. Ia hanya guru TK, tetapi kemampuannya merangkai kata-kata lebih indah dari siapa pun yang pernah Aksa temui.
Setiap malam sebelum tidur, Bu Lira duduk di tepi ranjang Aksa, menepuk-nepuk punggungnya sambil mendongeng. Tidak ada jam khusus. Tidak ada buku khusus. Hanya ada suara, kehangatan, dan imajinasi.
“Siap, Nak? Ibu punya cerita baru,” katanya hampir setiap malam.
Lalu kisah itu mengalir.
Kadang tentang seorang anak kecil yang berjalan mengikuti angin sampai menemukan rumahnya yang hilang. Kadang tentang seorang nelayan yang kehilangan suara laut. Kadang tentang suku di pegunungan yang bisa berbicara dengan burung.
Aksa akan tidur dengan pikiran penuh warna. Dan ia selalu bangun dengan perasaan seperti baru selesai menjelajahi dunia.
Dongeng-dongeng itulah yang menanamkan keyakinan kecil dalam hati Aksa:
bahwa dunia bisa dipahami dengan cara yang lembut.
Keyakinan itu pula yang bertahun kemudian ia bawa ke Barka—hanya untuk kemudian dipatahkan oleh kenyataan.
Rilma mungkin kota kecil, tapi dunia masa kecil Aksa sangat luas. Ia menghabiskan hari-hari dengan bermain sepeda, membantu ayahnya di kebun kecil, mencuci piring bersama Ibu, atau membaca buku di perpustakaan kecil kota. Kota itu aman. Anak-anak bisa berlari sejauh apa pun tanpa takut hilang. Orang-orang saling kenal, saling menyapa, saling menjaga.
Musim favorit Aksa adalah musim hujan. Ketika langit mulai gelap dan angin berembus kencang, Aksa akan mengambil kursi kecil dan duduk di ambang pintu, menikmati suara hujan yang jatuh di atap seng rumahnya. Ibunya selalu datang membawa selimut tipis.
“Kalau kau suka hujan, dengarkan baik-baik, Nak. Hujan itu bukan sekadar air. Ia membawa pesan.”
“Pesan apa, Bu?” tanya Aksa kecil.
“Pesan untuk berhenti sejenak dan melihat dunia.”
Aksa selalu mengingat itu. Dan kini, ketika ia menatap hujan dari jendela kos di Kota Barka, ia menyadari bahwa ia tidak pernah benar-benar mengikuti pesan Ibu. Ia jarang berhenti. Ia jarang melihat dunia. Ia terlalu sibuk mengejar sesuatu yang ia sendiri tidak tahu apa.
Masuk Universitas Barka bukan keputusan mudah. Saat lulus SMA, Aksa sebenarnya ingin tetap tinggal di Rilma. Ia bisa kuliah di kota terdekat atau ikut ayahnya bekerja sambilan. Namun Bu Lira memintanya mencoba mendaftar ke tempat terbaik.
“Dunia terlalu luas, Nak. Kau harus pergi keluar dulu, baru nanti kau bisa memutuskan di mana kau ingin tinggal.”
Aksa ragu.
“Rilma ini sudah cukup untukku, Bu.”
Ibunya tersenyum lembut.
“Tentu cukup. Ibu juga tumbuh di sini. Tapi dunia tidak hanya tentang yang cukup. Dunia adalah tentang apa yang bisa kau lakukan dengan masa depanmu.”
Ayahnya juga menambahkan,
“Cobalah. Kalau gagal, tidak apa-apa. Kalau berhasil, hidupmu bisa berubah.”
Maka Aksa mencoba.
Dan ia diterima.
Hari Aksa berangkat, ibunya memegang tangannya lama sekali.
“Tetap ingat semua cerita Ibu, ya,” bisiknya.
“Apa pun yang terjadi nanti, ingat bahwa kau tidak sendirian. Cerita-cerita itu akan menuntunmu.”
Saat itu Aksa hanya mengangguk, mengira ibunya hanya ingin membuatnya tenang. Tapi kini ia mengerti—dongeng itu adalah kompas hidupnya.
Hari pertama Aksa tiba di Barka tiga tahun lalu, ia langsung terdiam lama. Udara kota itu panas dan kering, jauh lebih keras dibanding udara lembut Rilma. Gedung-gedung tinggi membuatnya merasa seperti semut. Orang-orang berjalan cepat. Trem bergerak tanpa suara. Motor elektrik meluncur cepat di jalur khusus. Dan semua orang tampak punya tujuan yang sangat jelas.
Aksa, yang terbiasa berjalan santai dan menatap langit, tiba-tiba merasa seperti salah tempat.
“Ayah,” katanya lewat telepon malam itu, “kayaknya Aksa nggak cocok di sini.”
Ayahnya tertawa pelan.
“Belum terbiasa, Nak.”
“Tapi… semua orang di sini terlalu cepat. Mereka seperti tahu apa yang mereka mau. Aksa bingung sendiri.”
“Ya, karena kau baru di sana.”
Itu adalah malam pertama Aksa menangis tanpa suara di kosnya. Bukan karena takut. Bukan karena rindu. Tapi karena ia sadar dunia ternyata lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.
Meski awalnya sulit, tahun pertama kuliah bisa dibilang berjalan cukup mulus. Aksa bertemu Dali dan Harun, dua sahabat yang kemudian menjadi bagian penting hidupnya. Mereka bertiga menjalani kuliah bersama, begadang bersama, mengerjakan proyek bersama, dan gagal bersama.
Aksa juga bertemu Rena, perempuan yang tenang dan dewasa, sosok yang bisa membuat ruangan terasa stabil. Rena membuat Aksa tidak merasa sendirian dalam kelas yang dipenuhi mahasiswa jenius.
Tahun kedua bahkan lebih baik. Nilai Aksa bagus, ia mulai nyaman mengikuti ritme kota, bahkan sempat menjadi asisten praktikum. Rena semakin dekat dengannya, meski tidak pernah ada pernyataan jelas. Semuanya berjalan baik—hingga tahun ketiga datang.
Tahun ketiga dianggap sebagai pintu menuju kedewasaan bagi mahasiswa Teknik Sipil. Tugas semakin berat. Proyek semakin kompleks. Dosen semakin ketat. Dan tekanan semakin nyata. Di sinilah semuanya mulai runtuh bagi Aksa.
Ia gagal di beberapa mata kuliah praktikum. Proposal proyek akhir dicoret habis oleh Dr. Saman. Hubungan dengan Rena merenggang karena kesalahpahaman. Dali dan Harun mulai sibuk dengan dunianya masing-masing. Aksa mulai menghindar dari kelas, merasa tidak berguna, merasa tertinggal jauh dari yang lain.
Suatu malam, Aksa duduk sendirian di bangku taman kampus. Ia menatap layar ponselnya yang gelap.
“Bu,” katanya dalam hati, “apa aku gagal?”
Lalu entah dari mana, sebuah kenangan muncul.
Dongeng tentang sungai.
Ibu pernah berkata:
“Sungai itu tidak kuat, Nak.
Ia lemah.
Tapi ia tidak pernah berhenti.
Ke mana pun ia mengalir, ia membawa satu pesan:
kalau suatu hari kau terhalang batu, alirlah dari sisi lain.”
Kenangan itu datang seperti cahaya kecil.
Aksa menutup mata.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak semester dimulai, ia merasa sedikit lebih tenang.
Bukan karena masalahnya selesai.
Bukan karena ia tiba-tiba menjadi kuat.
Tapi karena ia ingat, sebelum ia datang ke Barka, ia sudah ditempa oleh cerita-cerita sederhana dari rumah.
Cerita yang tidak pernah meninggalkannya.
Dongeng ibu bukan sekadar cerita indah sebelum tidur. Bukan hiburan. Bukan pengantar mimpi. Dongeng itu adalah cara ibunya memberi arah. Cara ibunya mengajarkan keteguhan tanpa memaksa. Cara ibunya mengirim pesan-moral yang tidak terasa seperti nasihat.
Dan kini, ketika masalah datang bertubi-tubi, Aksa menyadari satu hal: Dongeng itu bukan masa kecilnya. Dongeng itu adalah peta hidupnya. Ia hanya perlu belajar membacanya kembali.
