Kota Barka
Kota Barka adalah napas yang tak pernah berhenti bergerak. Setiap kali Aksa menjejakkan kaki di kota ini—entah pada awal semester, selepas liburan, atau setelah perjalanan panjang—ia selalu merasa seakan sedang memasuki mesin raksasa yang sudah bekerja jauh sebelum ia datang, dan akan tetap berputar tanpa peduli apakah ia siap atau tidak.
Barka bukan sekadar kota besar; ia adalah pusat denyut ekonomi, pendidikan, dan teknologi Negara Lambarda. Jika kota-kota lain bangga pada lautnya, gunungnya, atau sejarah purbanya, maka Barka bangga pada geraknya—gerak yang cepat, akurat, nyaris tanpa cacat.
Barka terletak di lembah luas, dikelilingi perbukitan yang membentang seperti dinding pelindung. Pada siang hari, bukit-bukit itu terlihat hijau, menyiratkan kesuburan tanah Lambarda. Pada malam hari, lampu-lampu dari kejauhan tampak seperti gugusan bintang yang jatuh dan menempel di lereng bukit.
Namun keindahan alam bukan hal utama yang dikenang orang tentang kota ini. Yang paling terkenal adalah kehidupannya yang tidak pernah berhenti.
Pukul tiga dini hari, pasar sayur di distrik selatan sudah penuh.
Pukul empat, trem listrik pertama sudah berangkat.
Pukul lima, kedai roti di distrik Carden membuka toko.
Pukul enam, ribuan manusia sudah menyeberangi jembatan Barka Timur, berjalan cepat sambil menatap layar ponsel.
Dan pukul delapan, kota seolah mencapai puncak kesibukan—seperti gelombang besar yang bergerak serempak.
Aksa sering didera perasaan aneh:
di kota ini, dia yang berhenti bergerak akan tertinggal.
Itulah mengapa hari-harinya sering habis untuk berlari mengejar sesuatu, meski ia sendiri tidak selalu tahu apa yang ia kejar: nilai kuliah, pengakuan, rasa aman, atau sekadar keinginan untuk tidak terlihat kalah dari orang lain.
Kota Barka dibagi menjadi lima distrik besar, masing-masing dengan karakter yang berbeda.
a. Distrik Utara — Wajah Modern Barka
Inilah tempat gedung-gedung kaca menjulang tinggi.
Kantor perusahaan multinasional berjejer, restoran mahal bertebaran, dan hotel-hotel berbintang berdiri megah. Jalanannya lebar, pepohonan tertata rapi, trotoarnya bersih.
Lampu malam di distrik Utara adalah pemandangan yang tak pernah membuat Aksa bosan. Warna biru dan kuning dari gedung-gedung tinggi memantul ke kaca-kaca lain, membentuk siluet indah.
Tetapi bagi Aksa, distrik ini juga menyeramkan.
Ia seperti dunia yang terlalu tinggi untuk digapai—tempat orang-orang berbicara tentang target, presentasi, tender proyek, atau investasi jutaan Lambardian.
Aksa sering bertanya dalam hati,
“Apakah suatu hari aku bisa berjalan di sini sebagai seseorang yang berarti?”
b. Distrik Selatan — Pasar dan Tradisi
Ini kebalikan dari distrik Utara.
Semua yang tradisional ada di sini:
• pasar sayur yang hidup sebelum matahari lahir,
• kios rempah yang aroma kayunya bisa tercium dari jauh,
• pedagang jus jambu yang tak pernah pindah tempat selama 20 tahun,
• para ibu yang merumpi di depan toko kain,
• musik gitar tua dari pengamen jalanan.
Jika distrik Utara adalah kata “maju”, maka distrik Selatan adalah kata “hidup”.
Di sinilah Aksa sering merasa paling dekat dengan masa kecilnya: suara bising, tawa pedagang, bau ikan segar, panas matahari yang menyengat. Semuanya mengingatkannya pada kota kecil tempat ia dibesarkan.
c. Distrik Barat — Rumah dan Rindu
Distrik ini adalah kawasan tempat tinggal.
Apartemen berderet, rumah-rumah kecil saling berdempetan, terdapat banyak fasilitas publik seperti taman, perpustakaan mini, hingga lapangan bermain.
Di sinilah banyak mahasiswa tinggal, termasuk teman-teman Aksa. Namun kos Aksa berada sedikit di luar distrik ini—tempat yang sepi dan murah.
Suara anak-anak berlari, teriakan ibu yang memanggil anaknya pulang, dan denting sepeda selalu menciptakan suasana yang menenangkan.
Aksa selalu berkata dalam hati:
“Kalau suatu hari aku sudah bekerja, aku ingin tinggal di distrik ini.”
d. Distrik Timur — Pusat Pendidikan
Inilah jantung intelektual Barka.
Universitas Barka berdiri megah di tengahnya—kampus dengan reputasi tinggi se-Lambarda.
Gedung-gedung fakultas memenuhi area ini:
• Fakultas Teknik
• Fakultas Humaniora
• Fakultas Bisnis
• Fakultas Kedokteran
• Fakultas Seni
Di sinilah mahasiswa dari seluruh Lambarda berkumpul. Suasana distrik ini selalu hidup: kafe-kafe penuh diskusi, toko buku kecil yang tidak pernah sepi, perpustakaan raksasa yang buka sampai jam dua pagi, dan jalanan yang dipenuhi orang-orang membawa ransel besar.
Aksa selalu menyukai distrik ini meski terkadang distrik ini juga menakutkan—karena semua orang tampak lebih pintar, lebih cepat, dan lebih terarah daripada dirinya.
e. Distrik Tengah — Simpul Kota
Semua trem, bus, dan jalur sepeda bertemu di sini.
Gedung pemerintahan, alun-alun kota, museum sejarah, dan teater terbuka berada dalam satu area.
Ini adalah tempat paling ramai, paling berwarna, dan paling terasa seperti “inti Barka”.
Hari-hari tertentu ada festival bunga, hari lain ada pameran seni.
Aksa menyukai alun-alunnya: lapangan luas dengan air mancur yang menari mengikuti musik.
Saat Aksa duduk di sana, ia sering merenung sendirian—merasakan bahwa kota sebesar apa pun tetap memberikan ruang bagi manusia untuk sekadar duduk dan bernapas.
Satu hal yang membuat Barka cocok disebut kota masa depan adalah teknologinya.
a. Trem Listrik
Tidak ada klakson keras. Tidak ada polusi. Trem bergerak di jalur khusus dan menjadi transportasi utama warga. Aksa hampir selalu naik trem ke mana pun. Ia hafal semua jadwalnya.
b. Sepeda Publik
Di setiap sudut kota, sepeda publik bisa disewa. Mahasiswa sering memakainya untuk ke kampus.
c. Lampu Cerdas
Lampu jalanan otomatis meredup ketika tidak ada pejalan kaki, dan menyala terang ketika ada yang lewat.
d. Sistem Keamanan Modern
Drone patroli terbang perlahan di malam hari.
Kamera cerdas menelusuri kepadatan lalu lintas.
Namun yang paling penting:
Barka adalah kota yang membuat orang merasa harus bergerak cepat.
Kadang terlalu cepat.
Aksa sering merasa tertinggal, bahkan ketika ia sudah berlari.
Musim panas di Barka berarti langit biru bersih, udara kering, dan matahari yang terasa dekat. Pohon-pohon bergerak lambat, seperti enggan melepas bayangan bagi para pejalan kaki.
Musim hujan adalah musim paling indah—langit kelabu, bau tanah yang naik, dan suara hujan yang mengguyur trotoar dengan ritme yang menenangkan. Air mengalir di pinggir jalan, menciptakan sungai-sungai kecil.
Aksa paling suka hujan di Barka.
Saat hujan turun, kota tidak lagi terlihat cepat.
Manusia otomatis melambat.
Mobil menyalakan lampu kuning.
Mahasiswa berjalan sambil bernaung dengan tas.
Semua seperti menunggu sesuatu.
Dan di momen-momen itu, Aksa merasa ia tidak sendirian dalam pelariannya.
Sungai besar ini membelah kota menjadi dua.
Arusnya kuat, warnanya tidak biru jernih, tetapi kecokelatan seperti tanah yang dibawa dari hulu.
Namun saat malam tiba dan lampu-lampu kota memantul di permukaannya, sungai itu menjadi seperti cermin raksasa—cantik, memantulkan warna-warni yang lembut.
Aksa sering berdiri di jembatan Sungai Barka setiap kali ia merasa tertekan.
Dalam kepalanya selalu muncul dongeng ibu tentang “Sungai yang Tidak Pernah Menyerah.”
Ibu selalu berkata:
“Air selalu mencari jalan. Tidak pernah berhenti, bahkan ketika dihalangi batu. Ia mengalir di kanan, di kiri, di bawah, atau di atas. Begitulah hidup, Nak. Kalau satu jalan buntu, air akan mencari jalan lain.”
Barka dan sungainya menjadi tempat Aksa mengingat kembali dongeng itu. Dan setiap kali ia terjebak dalam masalah, ia tahu satu hal: Ia harus terus mengalir.
Kampus Barka seperti dunia tersendiri:
– gedung laboratorium yang baunya khas logam dan oli,
– ruang studio desain yang penuh maket,
– perpustakaan enam lantai yang sepi dan wangi buku baru,
– halaman luas tempat mahasiswa mengejar deadline sambil minum kopi,
– tangga panjang yang harus dilalui menuju gedung Teknik Sipil.
Aksa tahu setiap sudutnya.
Ia sering mengobrol di bawah pohon angsana dengan Rena.
Ia sering mengerjakan laporan di ruang belajar 24 jam bersama Dali.
Ia pernah tidur di kantin karena pulang terlalu malam.
Ia pernah berjalan pulang sambil tertawa keras, dan pernah juga berjalan pulang sambil menahan tangis.
Kampus ini membentuk sebagian besar hidupnya.
Namun kampus ini juga tempat di mana ia pertama kali merasa:
“Aku kalah cepat.”
Dalam kelas yang penuh mahasiswa jenius, Aksa sering merasa seperti orang biasa.
Tapi itu tidak membuatnya berhenti.
Ibunya pernah berkata:
“Yang lambat bukan berarti tidak sampai.
Yang penting kau terus melangkah.”
Dan Barka adalah kota tepat untuk membuktikan itu.
