Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Selamat Datang Kembali

Aksa menatap keluar dari jendela bus antarkota yang ia tumpangi. Garis senja merambat turun dari balik gedung-gedung tinggi, memantulkan cahaya jingga ke permukaan kaca-kaca raksasa. Kota Barka selalu tampak seperti lukisan modern saat matahari hendak pulang—indah, tetapi terasa dingin, seakan-akan keindahan itu tidak dibuat untuk disentuh, hanya cukup untuk dilihat dari jauh.

Bus melaju lambat memasuki pusat kota. Di sisi kanan, deretan trem elektrik bergerak dengan bunyi halus, hampir tak terdengar. Jalanan penuh manusia yang berjalan cepat, seolah semua orang punya tujuan pasti, punya jadwal pasti, punya hidup yang sudah tertata rapi. Tidak seperti Aksa. Ia hanya membawa ransel besar, sebuah tas cokelat yang mulai pudar warnanya, dan satu koper biru yang rodanya berdecit setiap kali bus terguncang.

Dia menarik napas panjang.

“Selamat datang kembali, Aksa,” gumamnya pelan, menatap pantulan wajahnya di kaca. Rambutnya sedikit panjang, tak rapi, namun matanya menyimpan sesuatu: campuran harapan, lelah, dan sedikit ketakutan.

Ini tahun ketiganya di Universitas Barka, jurusan Teknik Sipil. Tahun paling sibuk, kata senior-seniornya. Tahun ujian mental, kata dosen pembimbingnya. Tahun penentuan, kata ayahnya. Tahun yang harus dilewati dengan kepala tegak, kata ibunya.

“Kalau kau ingin jadi orang hebat, kau harus berani masuk ke dunia yang besar,” begitu pesan Ibu di malam sebelum ia berangkat tiga tahun lalu. “Dan dunia itu tidak pernah mengecil untuk siapa pun.”

Bus menepi di terminal pusat. Aksa bangkit, menurunkan koper, dan turun bersama kerumunan. Deru udara kota langsung menyergap—bercampur aroma kopi, asap kendaraan elektrik, dan wangi roti panggang dari kios kecil. Ia melirik jam di pergelangan tangan: pukul 17.42.

Sesuai perkiraan. Ia akan sampai ke kos lamanya sebelum petang benar-benar tenggelam.

Aksa menggeret kopernya menyusuri trotoar. Peta kota sudah tak ia butuhkan. Trotoar lebar itu, pepohonan di pinggir jalan, suara teriakan pedagang kaki lima, klakson halus trem—semuanya sudah ia hapal. Barka memang kota besar, tapi bagi seseorang yang pernah tinggal di sini cukup lama, kota ini bisa terasa seperti labirin yang sudah dihafal pola jalannya.

Namun ada satu hal yang selalu membuat Aksa merasa asing: ritme kota ini seperti tidak pernah memberi kesempatan bernafas.

Orang-orang berjalan cepat.

Tugas kuliah datang cepat.

Semester selalu lewat terlalu cepat.

Dan kadang, waktu juga berjalan terlalu cepat, meninggalkan orang-orang yang belum siap bergerak.

Seperti dirinya.

Kos Aksa terletak di salah satu gang kecil dua kilometer dari kampus. Bangunannya tua, tiga lantai, catnya mengelupas di beberapa sisi, namun suasana dalamnya cukup bersih untuk membuat hati tenang. Pemiliknya, Bu Gemi, adalah wanita paruh baya dengan rambut sudah memutih semua, tetapi suaranya masih lantang.

“Kau telat seminggu kembali dari liburan,” tegurnya begitu melihat Aksa masuk pagar sambil menyeret koper.

Aksa tersenyum ragu. “Maaf, Bu. Ada urusan di rumah.”

“Urusan apa? Kau tidak bilang apa-apa waktu izin pulang.”

Aksa ragu, tapi ia tidak ingin berbohong. “Ayah ingin aku tinggal lebih lama.”

“Hmmm… baiklah.” Bu Gemi hanya menaikkan alis, tapi tidak bertanya lebih jauh. “Kamar masih sama. Semoga bersih, karena anak yang menyewanya selama kau liburan agak berantakan.”

“Ada yang sewa, Bu?”

“Iya. Kau izin pulang satu bulan penuh. Ya daripada kosong.”

Aksa angguk pelan. Ia tidak keberatan. Yang penting ia bisa kembali tidur di ranjang lamanya malam ini.

Ia menaiki lantai dua dan membuka pintu kamar nomor 22. Benar saja, kamarnya tidak serapi dulu. Ada sedikit noda di meja belajar, beberapa kertas bertumpuk, dan sepasang sandal jepit tertinggal di bawah ranjang.

Aksa menghela napas panjang. “Mulai lagi dari nol.”

Ia menaruh koper, membuka jendela, membiarkan angin sore masuk. Bau debu, aroma tanah basah, dan sedikit wangi bunga dari pot tetangga bercampur menjadi satu. Ia duduk di kursi, menatap langit yang mulai gelap.

Hari pertama di Barka—tahun ketiganya—dan ia sudah merasa seperti ingin pulang.

Malam itu Aksa berjalan ke warung Mbah Yumi untuk makan. Warung itu legendaris di kalangan mahasiswa: murah, porsinya pas, dan buka sampai tengah malam. Ia memesan nasi goreng telur dan teh hangat. Tiga meja di sisi kirinya dipenuhi mahasiswa Teknik Mesin yang sedang ribut membahas proyek robotik. Di belakang, dua mahasiswi Hukum sedang menghafal kasus sambil tertawa kecil. Suasana ramai, seperti biasa.

Namun bagi Aksa, semua itu terasa jauh. Seperti dunia orang lain yang tidak dapat ia masuki.

Krisis ini sebenarnya sudah mulai sejak semester lalu. Nilai-nilainya turun drastis—bukan karena ia bodoh, tetapi karena ia kewalahan. Proyek Jembatan Mini gagal total. Presentasi struktur gedung kacau akibat laptopnya mati mendadak. Dosen pembimbing yang terkenal tegas memintanya mengulang proposal proyek akhir. Dan sahabat-sahabatnya, Dali dan Harun, mulai sibuk dengan urusan masing-masing, meninggalkan Aksa sendirian mengurus kekalutan hidupnya.

Paling menyakitkan adalah kabar dari grup kelas bahwa ia dianggap “tidak serius”. Sesederhana itu—stigma kecil yang langsung menusuk hati.

Ia memejamkan mata, mendesah.

“Satu suapan lagi, nanti juga ringan,” gumamnya, tapi suaranya sendiri terdengar lelah.

Amsa—penjual nasi goreng sekaligus tangan kanan Mbah Yumi—menghampiri.

“Mas Aksa, baru balik ya?”

“Iya, Mas.”

“Wah, banyak yang nyariin, loh.”

Aksa serem. “Siapa aja?”

“Dosen pembimbingmu.” Amsa tertawa pendek.

Aksa langsung menunduk. “Wah… itu.”

“Tenang, katanya cuma mau lihat revisi proyekmu kemarin.”

Aksa tersenyum kecut. “Hmmm… iya.”

Amsa paham. “Semangat, Mas. Kota Barka memang gila. Tapi kalau Mas mampu bertahan, Mas bakal jauh lebih kuat dibanding mahasiswa kota lain.”

Aksa mengangguk, tapi pikirannya melayang.

Dalam perjalanan kembali ke kos, angin malam menusuk dingin. Aksa memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaket, merapatkan resleting. Jalanan mulai sepi. Lampu-lampu toko banyak yang sudah padam. Ia melewati jembatan kecil yang membelah sungai Barka. Airnya memantulkan cahaya lampu jalanan seperti permen warna-warni, namun penuh kegelapan di bagian bawah.

Aksa berhenti sejenak, memandangi riak air.

Ia membayangkan wajah Ibu.

Lembut. Hangat. Dan selalu punya senyum yang menenangkan.

“Ibu bilang… duniamu boleh berubah, tapi rumahmu tetap ada di hatimu,” gumamnya pelan, mengingat salah satu dongeng sebelum tidur.

Dulu, setiap malam sebelum tidur, Bu Lira punya kebiasaan mendongeng.

Tidak ada buku. Tidak ada catatan. Semuanya spontan. Bu Lira bisa duduk di tepi ranjang Aksa sambil menepuk-nepuk punggungnya, lalu mengalir begitu saja:

Dongeng tentang anak yang belajar mengikuti arah angin.

Dongeng tentang sungai yang menolak berhenti mengalir.

Dongeng tentang cahaya kecil yang tetap bersinar di tengah malam pekat.

Waktu kecil, Aksa menyukai semuanya tanpa paham maknanya.

Namun malam ini, berdiri di jembatan, ia mengingat satu dongeng secara jelas:

“Anak yang Tersesat di Kota Besar.”

Dongeng itu berbunyi seperti ini:

“Ada seorang anak yang tersesat di kota yang besar. Setiap kali ia mencoba menemukan arah, bangunan tinggi menghalangi pandangannya. Setiap kali ia mencoba berteriak minta tolong, suara kota menelan suaranya. Tapi anak itu terus berjalan. Karena ibunya pernah berkata: selama kau terus melangkah, kau tidak benar-benar tersesat. Kau hanya belum menemukan tempatmu.”

Aksa menelan ludah.

Ia tidak percaya, tapi entah kenapa malam ini ceritanya terasa tepat sekali.

“Kalau begitu… mungkin aku cuma belum menemukan tempatku,” bisiknya pelan.

Ia menarik napas panjang dan melanjutkan langkah.

Keesokan paginya, Aksa bangun lebih cepat dari biasanya. Matahari masih malu-malu naik, menembus celah tirai kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang, merentangkan tangan, dan menatap meja belajarnya. Di atasnya ada tumpukan laporan yang belum ia sentuh sejak sebelum liburan.

Buku-buku teknik: Mekanika Fluida, Analisis Struktur, Hidrologi Terapan.

Semua menatapnya balik.

Aksa meremas rambutnya. “Ayo, mulai sekarang atau nggak sama sekali.”

Ketika ia hendak membuka laptop, ponselnya bergetar.

Rena mengirim pesan.

Rena:

Kau sudah balik?

Aku lihat info di grup, katanya minggu ini wajib ketemu dosen pembimbing.

Jangan telat lagi ya. Kau sudah cukup membuat orang khawatir.

Aksa menatap layar ponsel agak lama.

Ia dan Rena dulu cukup dekat. Bukan pacaran, tapi ada rasa yang sulit didefinisikan. Rena adalah tipe yang selalu kuat, disiplin, tenang. Sementara Aksa adalah kebalikannya—berantakan, impulsif, dan mudah goyah. Mereka dulu sering belajar bareng, saling bantu, saling menyemangati. Tapi semester lalu, hubungan itu merenggang setelah Aksa beberapa kali menghilang dari grup dan diskusi proyek.

Ia mengetik balasan singkat.

Aksa:

Iya. Sudah.

Makasih ya.

Beberapa menit kemudian, Rena membalas.

Rena:

Untuk apa terima kasihnya?

Ya sudah, kalau butuh apa-apa bilang.

Kita sama-sama tahun tiga. Jangan sampai hilang arah di tengah jalan.

Aksa tersenyum tipis.

“Kau benar, Ren,” gumamnya. “Aku jangan hilang arah.”

Ia pun mulai membuka laptop dan duduk tegak.

Hari pertama kembali ke kota Barka sudah menuntut banyak hal—revisi laporan, persiapan bimbingan, persiapan kuliah pertama semester ini, dan tentu saja, persiapan mental menghadapi dosen pembimbing yang terkenal judes.

Namun untuk pertama kalinya sejak semester sebelumnya berakhir, Aksa merasa ada sedikit cahaya di dalam dirinya.

Bukan cahaya yang besar.

Bukan cahaya yang menerangi semuanya.

Tapi cahaya kecil.

Cahaya dari satu dongeng ibu yang muncul tepat saat ia membutuhkannya.

Saat jarum jam menunjuk pukul 10.15, Aksa bersiap-siap berangkat ke kampus. Ia memasukkan laptop, buku catatan, dan sebotol air ke dalam ransel. Kosnya terletak di jalan menanjak, jadi ia harus berjalan lima menit untuk sampai ke jalan besar dan naik trem.

Trem datang tepat waktu—seperti biasa. Barka memang kota tanpa kompromi terhadap waktu. Aksa naik dan berdiri dekat pintu. Trem bergerak melewati taman kota, perpustakaan utama, lalu belok ke jalan menuju gerbang Universitas Barka.

Kampus itu besar—sangat besar. Bangunannya futuristik, dengan desain kaca dan lengkungan baja yang tampak megah. Mahasiswa dari berbagai negara datang ke sini untuk belajar. Kompetisi akademiknya ketat, lingkungannya modern, fasilitasnya lengkap.

Aksa menelan ludah.

Di kampus sebesar ini, ia hanya satu titik kecil.

Namun ia sadar: semua titik kecil itu punya kesempatan tumbuh.

Ia turun dari trem, berjalan melewati lapangan besar, lalu memasuki gedung Teknik Sipil. Gedung itu tidak semewah gedung fakultas lain. Arsitekturnya sederhana, warnanya abu-abu polos, dengan lantai yang sudah menua. Tapi bagi mahasiswa teknik, gedung inilah istana.

Aksa menuju ruang dosen pembimbing: Dr. Saman Terkasa.

Ketukan pelan membuka percakapan.

“Masuk!”

Suara itu masih keras dan tegas seperti biasa.

Aksa membuka pintu, masuk, dan menutupnya perlahan.

“Pagi, Pak.”

Dr. Saman mengangkat wajahnya dari layar komputer. “Aksa Ramadhan. Sudah kembali dari liburan panjang?”

Aksa menelan ludah. “I-iya, Pak.”

“Baik.” Dosen itu menyilangkan tangan. “Saya harap kamu membawa kabar baik. Revisi proposalmu sudah selesai, kan?”

Aksa membuka ranselnya, mengeluarkan map berisi revisi, dan meletakkannya di meja.

Dr. Saman membacanya cepat. Lalu menarik napas panjang.

“Satu, dua, tiga hal sudah kamu perbaiki… tapi ada hal yang masih jauh dari standar.”

Aksa langsung gugup. “A-apa, Pak?”

“Metode analisis beban hidup. Kamu masih salah nilai faktor koreksinya.”

Aksa menunduk. “Maaf, Pak…”

“Dan saya harap kamu tahu,” lanjut Dr. Saman, “tahun ketiga adalah tahun paling krusial. Kalau kamu masih seperti semester lalu, kamu tidak akan bertahan.”

Aksa merasa jantungnya turun.

Tapi di saat itu, suara lembut Ibu seperti muncul di kepala:

“Anak yang tersesat tidak butuh peta, Nak.

Ia hanya butuh keberanian untuk melangkah satu langkah lagi.”

Aksa mengangkat wajah.

“Saya mengerti, Pak. Saya akan perbaiki semuanya.”

Dr. Saman menatapnya lebih lama dibanding biasanya. “Baik. Saya tunggu revisinya minggu depan. Jangan telat lagi.”

Aksa mengangguk.

Keluar dari ruangan itu, ia menarik napas sangat panjang.

Mungkin hampir lima detik.

Tapi langkahnya terasa lebih ringan.

Ia mungkin belum menemukan arah pasti.

Belum menemukan peta yang jelas.

Namun ia baru ingat satu hal:

Selama ia terus melangkah, ia belum benar-benar tersesat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel