Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 : Hawke Yang Menjadi Pujaan

“Uke,”

Janus langsung berdiri dari tempat duduknya manakala pintu ruang kerjanya terbuka dan melihat gadis yang sedang ditunggunya itu berdiri di depan pintu, tengah menatapnya dengan haru.

“Kau… kemana saja, Kau? Kau minta aku menjempumu ke bandara tapi, apa?” serunya lagi dengan ekpresinya yang bingung. Bagaimana tidak, Janus melihat Hawke masuk ke ruangannya, tepat saat dia minta bantuan asistennya untuk mencari keberadaannya.

“Aku nungguin kamu udah kayak orang bego ajah. Kau matikan telpon, kau juga tidak membuka pesan yang aku kirim. Apa-apaan sih?” ocehnya lagi. Dia bukan meluapkan kerinduannya yang tersimpan selama tiga tahun ini tapi malah mengungkapkan kekhawatirannya pada Hawke sampai-sampai dia lupa bagaimana harus bersikap layaknya pasangan yang sudah lama tidak bertemu.

Hawke menghampiri meja Janus dan berdiri di depan pria yang dia tahu sangat tergila-gila padanya sejak mereka masih di SMA itu. “Nomel aja. Emangnya ga kangen?” katanya sambil menggeser tubuhnya lebih dekat lagi ke Janus.

“Ga mau meluk aku?” kata Hawke dengan senyum yang tertahan.

Beberapa saat berlalu, kedunya tidak ada yang bergerak. Hanya mata mereka saja yang saling bertatapan.

“Setelah tiga tahun tidak bertemu, apa kau tidak kangen,” katanya lagi karena Janus tetap mematung di tempat duduknya. Dia seperti orang yang kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa.

Janus masih belum percaya dengan kemunculan gadis pujaannya yang secara tiba-tiba itu dan dia makin tidak percaya lagi ketika Hawke malah minta di peluk. Tentu saja hal yang aneh karena selama mereka bersama, jangankan memeluk, janus bahkan tidak pernah memegang tangannya.

Hawke gadis yang begitu mulia. Dia menjadi dambaan semua pria karena kesempurnaan yang dimilikinya. Kedudukan keluarganya yang tinggi di muka masyarakat waktu itu.

Dia tidak hanya cantik, kulitnya sangat bersih karena perawatan yang paripurna. Tidak hanya itu, hidup Hawke juga syarat dengan segala aturan keluarganya, dia selalu menjaga jarak dengan temannya, baik laki maupun perempuan. Apalagi kalau orang itu kumel dan dekil, dia pasti tidak mau dekat-dekat.

Tidak heran jika hanya bisa duduk bareng dan ngobrol dengan gadis ini, janus sudah seperti dalam mimpi. Bidadari pujaannya itu sangat steril dari semua benda di sekitarnya.

Ratu perpect, begitu teman-teman sekolahnya menyebut Hawke yang begitu sempurna ini.

Tapi?

Janus masih terpaku dengan Hawke yang memandangnya penuh keharuan. Dia bukan terpesona oleh penampilan gadis itu, tapi?

Dia merasakan sesuatu yang berbeda. Apa yang dia lihat sekarang ini, ternyata jauh dari ekspetasinya selama ini. Apa yang membuat dia kecewa, Janus sendiri belum yakin dengan perasaannya.

Janus bengong. Dia sudah seperti patung hidup dan penampilannya itu membuat Hawke jadi tersanjung.

“Janus! Kok diem aja, sih? Apa kau tidak senang aku datang ke sini?” Suara Hawke membuat Janus tersadar dari lamunannya dan membuat pria itu gugup dan suasana di ruangan yang dingin itu menjadi sedikit canggung.

“Eh…duduklah,” dia akhirnya bisa mengatakan itu setelah kebingungan harus bilang apa menghadapi pertemuan yang tidak pernah dia duga ini.

Wanita yang sudah tidak terdengar lagi kabar beritanya selama tiga tahun ini tiba-tiba menelponnya dan yang membuat janus bahagia, dia mencarinya.

Sekarang dia bisa melihat, tidak banyak yang berubah dari penampilan Hawke. Dia tetap cantik, modis, dan berkelas. Tapi entah kenapa, Janus merasa ada sesuatu yang membuat dia seperti bukan melihat Hawke-nya yang dulu.

Hawke tidak menolak tawaran itu, dia langsung duduk tanpa memalingkan pandangannya sedikit pun. Dia terus memandangi Janus dengan mata yang berbinar-binar.

“Katakan padaku. Apa yang terjadi padamu selama ini? Kenapa kau tiba-tiba hilang dan kini malah mencari aku?” tanya Janus. Dia masih belum bisa menghilangkan kecanggungannya.

“Siapa yang menghilang?” sahut Hawke dengan entengnya. Dia bahkan merasa geli dengan ekpresi janus yang terlihat mengkhawatirkannya.

“Mungkin kau tahu kalau keluargaku kena musibah tiga tahun yang lalu, kan? Usaha Papa nyaris gulung tikar dan banyak para rekanan yang datang minta modal mereka dan ada yang mau memenjaarakan Papa. Papa kena tipu dan harus bertanggung jawab atas apa yang tidak pernah dia nikmati hasilnya,”

Janus mengangguk.

Mereka tinggal di kota yang sama. Yang dia tahu, Hawke adalah anak salah satu pengusaha terkenal pada saat itu. Hawke sendiri selalu di jemput sopir pribadi saat ke sekolah. Semua orang tidak meragukan bagaimana kayanya keluarga Buana, pengusaha tambang batu bara yang membuka beberapa perusahaan di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

“Iya, aku mendengarnya,”

“Aku diungsikan oleh Papa karena ada salah satu teman bisnisnya yang minta aku sebagai jaminan hutangnya. Papa terpaksa merekayasa cerita kalau aku dan Mama juga kakak-kakakku meninggalkan dirinya ketika dia bangkurut,”

Janus kembali mengangguk. Dia membenarkan cerita itu karena saat dia mencari keberadaan Hawke, dia mendapatkan cerita dari tetangganya kalau Pak Buana mengalami depresi karena ditinggal oleh anak dan istrinya.

Bahkan Janus sempat berpikir kalau Hawke anak yang kejam. Makanya dia putus asa dan ingin melupakan gadis itu. Dia menanggapi perhatian Fey yang selalu ada untuknya dan mereka menikah dengan diam-diam dengan harapan dia bisa melupakan cinta pertamanya itu.

“Jadi bagaimana Papamu sekarang?”

“Papa ada di Kalimantan bersama Mama. Setelah semua masalah selesai, Papa fokus mengembangkan bisnis di sana. Alhamdulilah, sekarang kami tidak perlu hidup dalam ketakutan lagi. Semua sudah membaik walaupun usaha Papa tidak sebesar dulu lagi,”

Janus percaya dengan kata-katanya karena dia tahu kalau perusahaan Pak Buana yang ada di Sumatera memang sudah pindah tangan. Bahkan dia membeli salah satunya karena dia ingin punya kenangan dengan Hawke.

Suasana yang awalnya canggung, lambat laun menjadi hangat karena masing-masing menceritakan apa yang terjadi pada kehidupannya selama tiga tahun terakhir.

“Janus, aku kembali untuk membantu Papa mengambil apa yang seharusnya menjadi haknya. Aku melamar kerja di perusahaan tambang yang ada di jalan Sudirman,”

“Kau akan menetap di sini lagi?”

“Iya. Aku tidak punya siapa-siapa. Saat keluarga kami jatuh, semua orang sepertinya berbahagia. Tidak sedikit yang mencemooh kami. Mereka dengan kejam bilang kalau apa yang menimpa Papa adalah karma karena keluarga kami sombong,”

“Tidak….mana ada yang bilang begitu. Jujur saja, saat kau menghilang, aku mencarimu sampai ke rumah dan aku mendapat cerita dari tetangga. Aku juga mengikuti sosmed kamu dan juga Papamu. Kalau ada yang sinis, itu jumlahnya cuma beberapa saja, aku yakin kalau mereka itu pasti orang-orang yang minta haknya,”

Hawke tersenyum hambar.

“Terima kasih.”

“Kenapa harus berterima kasih? Kita kan berteman baik,”

“Teman?” Hawke bertanya dengan nada kecewa.

Janus tidak tahu harus menjawab apa. Dia memang mencintai wanita ini. Mereka cukup dekat, bahkan Janus satu-satunya pria yang beruntung yang bisa mendapatkan perhatian khusus dari gadis idaman sejuta umat ini.

Tapi dia tidak berani mengatakan kalau Hawke itu kekasihnya karena mereka belum pernah jadian. Kedekatan mereka terjadi begitu saja. Mengalir seperti air.

“Jadi kau hanya menganggap aku sebagai teman? Jadi salah dong aku menjadikan kamu sebagai orang yang pertama aku hubungi ketika aku mendapat ijin menampakkan diri lagi?”

“Tidak….tidak begitu. Maksud aku…..,”

Janus baru akan menjelaskan tapi suaranya tertahan di tenggorokan karena mendengar suara ketukan pintu, di susul munculnya Caelum.

“Ada apa?” tanya Janus tidak ramah. Dia kesal karena asistennya itu menganggu pertemuannya dengan Hawke.

“Di luar ada Fey, dia menunggu Bos di lobby,”

“Fey!” Hawke terkaget.

“Janus, apa dia bekerja di sini. Bagaimana dengan dia sekarang, apa dia kuliah?” tanyanya begitu bersemangat.

“Atau sudah lulus? Otaknya kan encer banget, dia pasti bisa selesai lebih dulu, ya?”

“Suruh tunggu sebentar. Bilang kalau aku sedang ada tamu,” kata Janus, dia menghiraukan pertanyaan Hawke yang bertubi-tubi itu. Dalam hatinya dia menggerutu. “Kenapa Fey sampai ke sini?”

“Apa yang direncanakannya? Bukankah semuanya sudah aku jelaskan semalam?”

“Kenapa kau tidak menyuruhnya masuk. Kita bisa ngobrol. Lama ga ketemu, pasti aku pangling kalau ketemu dia di luaran,”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel