Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Makan Malam

​Tiga minggu berlalu, dan proyek renovasi kafe memasuki fase paling krusial sekaligus paling rentan masalah: instalasi mekanikal dan elektrikal (ME). Fase ini membutuhkan koordinasi yang sangat presisi, karena kesalahan sedikit saja bisa berakibat fatal, mulai dari korsleting hingga biaya pembongkaran ulang yang sangat mahal.

​Ketegangan di lokasi proyek mulai terasa. Pak Budi, mandor proyek, terlihat semakin sering menggaruk kepalanya. Aku sendiri, sering kali hanya tidur empat jam semalam, menghabiskan waktu di kamar kos untuk memeriksa ulang diagram kabel dan pipa. Wajahku mulai dihiasi lingkaran hitam, dan mood-ku semakin sensitif.

​Di tengah tekanan ini, Rio, entah bagaimana, tetap menjadi sosok yang stabil. Dia diandalkan di hampir semua lini. Saat teknisi listrik kebingungan dengan letak outlet khusus di bawah bar counter, Rio yang mengusulkan solusi praktis agar duct kabel bisa disembunyikan tanpa mengganggu struktur baja yang baru dipasang. Saat terjadi tumpukan material yang menghalangi jalur evakuasi, Rio dengan sigap mengatur ulang penempatan barang.

​Kedekatan kami pun semakin terasa. Tidak lagi hanya sekadar bertukar sapa di jam istirahat. Rio kini secara otomatis menjadi asisten lapanganku yang tidak terdaftar.

​"Laras, perhatikan, ini pipa air bersih ukuran tiga per empat inci. Pastikan sambungannya kuat. Tukang sebelah agak terburu-buru, takutnya ada rembesan," bisiknya suatu pagi, saat aku sedang memeriksa instalasi pipa di area dapur.

​"Terima kasih, Rio. Sudah kuingatkan mereka, tapi mereka bilang sudah sesuai standar," balasku dengan nada lelah.

​"Standar itu fleksibel kalau sudah di lapangan. Standar yang paling aman adalah yang kamu lihat dengan matamu sendiri," jawabnya sambil tersenyum meyakinkanku.

​Malam harinya, kekhawatiran Rio terbukti.

​Kami baru saja menyelesaikan monitoring instalasi listrik area langit-langit. Aku sudah bersiap pulang, ketika tiba-tiba kudengar suara gemericik air yang tidak seharusnya ada. Aku dan Pak Budi langsung menuju sumber suara, area yang tadi pagi diperiksa Rio.

​Air memancur deras dari sambungan pipa baru di atas plafon yang belum tertutup. Bocor!

​"Aduh! Sialan! Siapa yang kerjakan ini tadi?!" teriak Pak Budi panik. Air itu langsung membasahi beberapa gulungan kabel listrik yang baru saja dipasang.

​Kepalaku langsung pusing tujuh keliling. Jika kabel itu rusak parah, kami harus memesan ulang yang artinya penundaan minimal seminggu.

​"Cepat matikan keran utama, Pak Budi! Rio, tolong ambil kain terpal! Tutup semua kabel yang masih kering!" perintahku, berusaha tetap tenang meskipun suara gemuruh di telingaku terasa memekakkan.

​Rio sudah bergerak sebelum aku selesai bicara. Dengan sigap, ia berlari mengambil terpal dan beberapa ember. Sementara Pak Budi sibuk mematikan keran air, Rio dengan lincah memanjat scaffolding yang masih terpasang dan, tanpa peduli bajunya basah kuyup oleh air yang memancar, ia menahan kebocoran itu dengan tangan kanannya yang kuat sambil menunggu Pak Budi kembali.

​"Cepat, Laras! Pindahkan gulungan kabel yang sudah basah ke tempat yang lebih kering!" teriak Rio dari atas.

​Selama hampir satu jam, kami bekerja bak tim penyelamat. Air berhasil dikendalikan, kerusakan material diminimalisir, tapi kekacauan sudah terjadi. Lantai basah, beberapa kabel terendam, dan mood semua orang hancur.

​Setelah semua reda, aku duduk di stool kayu, wajahku kusut. "Bagaimana ini, Pak Budi? Kita harus lapor klien. Deadline pasti mundur," kataku dengan nada putus asa.

​Pak Budi menghela napas berat. "Bocor ini salah saya, Mbak. Saya kurang mengawasi tim pipa. Saya akan coba hubungi suplier kabel malam ini juga."

​Rio, yang sudah turun dari scaffolding dengan kaus yang menempel basah di tubuhnya, menghampiriku. Wajahnya serius.

​"Laras, jangan terlalu khawatir soal kabel. Kemungkinan besar tidak semua rusak," katanya. "Tapi kita harus segera membongkar sambungan pipa itu sebelum airnya merembes ke dinding yang baru diplester."

​"Ya, aku tahu," kataku, memijat pelipis. "Tapi siapa yang mau kerja malam-malam begini? Tukang pipa yang tadi sudah pulang."

​"Saya bisa kerjakan," kata Rio, tanpa ragu.

​Aku menatapnya, bingung. "Kamu tukang pipa juga, Rio?"

​Rio mengambil kunci pas dari kotak peralatannya. "Saya bisa memperbaiki apa saja. Saya akan bongkar sambungannya, bersihkan, lalu pasang yang baru dengan sealant yang benar. Pak Budi, bisa pinjam sealant anti air cadangan Anda?"

​Pak Budi, yang melihat kesigapan Rio, mengangguk cepat. "Tentu, Rio! Di kotak merah. Saya bantu mengeringkan kabel yang basah dulu."

​Malam itu, Rio benar-benar membuktikan dirinya. Dalam temaram lampu darurat proyek, dia dengan hati-hati membongkar sambungan pipa yang bermasalah. Gerakannya efisien, teliti, dan cepat. Jauh dari kesan "kuli bangunan" yang hanya bekerja kasar. Ia tahu betul tekanan pada pipa, jenis lem yang tepat, dan teknik penyambungan yang efektif.

​Aku hanya duduk mengawasinya, terpesona. Di balik kemeja basahnya, ia terlihat seperti seorang ahli, seorang master dalam pekerjaannya.

​"Kamu lulusan teknik sipil, Rio?" tanyaku, tidak tahan lagi menahan rasa penasaran.

​Rio tidak menoleh. Matanya fokus pada sambungan pipa di tangannya. "Kalau saya bilang iya, apakah itu akan mengubah cara kamu melihat saya, Laras?"

​Pertanyaan itu menohokku.

​"Tidak. Tentu saja tidak," kataku, mungkin sedikit terlalu cepat. "Aku hanya... penasaran. Cara kerjamu, wawasanmu tentang material, dan bahkan caramu bicara tentang 'roh' bangunan. Itu tidak seperti pekerja konstruksi biasa yang pernah kutemui."

​Rio akhirnya selesai memasang pipa yang sudah diperbaiki. Dia memutar keran test sedikit, memastikan tidak ada kebocoran. "Semua orang punya latar belakang, Laras. Ada yang memilih memamerkannya, ada yang memilih menyimpannya." Ia turun, membersihkan sisa lem di tangannya.

​"Saya memilih bekerja sebagai kuli bangunan karena saya suka prosesnya, Laras. Saya suka melihat sesuatu yang tadinya berantakan menjadi teratur. Dan saya suka membangun dengan tangan saya sendiri. Itu terasa lebih jujur," jelasnya, tatapannya kini lurus ke mataku.

​Kejujuran dalam tatapan matanya, di tengah kelelahan dan stress proyek, memberikan semacam ketenangan yang aneh. Seolah, selama ada Rio, semua masalah ini bisa diatasi.

​"Terima kasih, Rio. Kamu menyelamatkan proyek ini," kataku tulus. "Aku berutang banyak padamu."

​"Jangan bicara utang. Kita tim, Laras," jawabnya sambil tersenyum, senyum tulus yang langsung menghilangkan kesan lelahnya. "Kamu yang desain, saya yang membangun. Sudah seharusnya kita saling bantu."

​Setelah memastikan semuanya aman, Rio pamit. Malam itu, aku pulang lebih larut dari biasanya, namun dengan hati yang jauh lebih tenang. Badai di proyek memang membuatku stres, tetapi badai itu juga mengungkap sisi lain dari Rio: sisi yang bertanggung jawab, cerdas, dan yang paling penting, sisi yang selalu siap menjadi pelindung.

​Saat aku berjalan di bawah cahaya bulan menuju kos, aku menyadari bahwa rasa nyaman itu kini sudah berubah menjadi rasa percaya. Aku percaya pada Rio, pada keterampilannya, dan pada integritasnya. Rasa percaya yang semakin mendekatkan kami, di luar batas profesi dan status sosial.

​Kini, di benakku bukan lagi pertanyaan tentang siapa Rio di masa lalu, melainkan siapa dia untukku di masa depan.

​Lanjutan Cerita:

​Bab 4 akan menggali lebih dalam tentang perasaan Laras pada Rio dan mencoba mengungkap rahasia di balik sosok Rio, yang mungkin akan menimbulkan dilema baru.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel