Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Sarapan Pagi

​Minggu pertama proyek terasa seperti perpaduan antara sauna dan balapan maraton. Panas terik Jakarta menyengat, debu berputar-putar tak henti, dan tuntutan deadline terasa seperti cambukan di punggung. Sebagai arsitek di lapangan, aku harus memastikan setiap detail dari gambar desainku diterjemahkan dengan sempurna. Hal ini berarti aku harus berada di lokasi hampir dari fajar menyingsing hingga matahari terbenam.

​Di tengah semua kekacauan itu, ada satu kehadiran yang mulai menjadi jangkar kecil ketenangan: Rio.

​Interaksi kami di hari pertama ternyata bukan kebetulan sekali. Karena layout yang kompleks, seringkali aku harus berdiskusi langsung dengan pekerja yang melakukan pengerjaan detail, dan kebetulan Rio sering ditugaskan di area yang memerlukan presisi tinggi, seperti pemasangan frame jendela atau ducting untuk ventilasi.

​Suatu siang, saat matahari berada tepat di atas kepala dan semua orang mencari perlindungan untuk makan siang, aku duduk sendirian di sudut yang belum dibongkar habis, mencoba memeriksa bill of quantity (BOQ) di laptopku. Keringat membasahi tengkukku, dan rasanya mood ku sudah seburuk kualitas beberapa material yang baru datang.

​Tiba-tiba, sebuah gelas plastik berisi cairan berwarna cokelat yang masih mengepul diletakkan di meja lipat darurat di depanku.

​"Kopi susu dingin, Mbak Laras. Tapi ini panas. Kopi hitam dengan sedikit susu kental manis," kata suara itu.

​Aku mendongak. Itu Rio. Kausnya basah oleh keringat, topinya sedikit miring, tapi matanya memancarkan kehangatan yang kontras dengan suasana yang gerah.

​"Astaga, Rio. Terima kasih," kataku, benar-benar terkejut. "Tapi... kenapa kopi panas? Bukannya harusnya dingin?"

​Rio tersenyum tipis sambil menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan. "Di bawah terik begini, minum yang dingin justru bikin cepat haus lagi, Laras. Kalau yang panas, minumnya pelan-pelan, jadi lebih nendang ke badan. Itu kata Bapak saya. Filosofi kuli."

​Aku tertawa. Filosofi yang unik, tapi entah mengapa terasa masuk akal. "Baiklah, saya akan coba filosofi kuli ini."

​Rio lalu duduk di stack kayu yang jaraknya tidak terlalu jauh dariku. Kami makan siang dalam diam beberapa saat. Aku menyeruput kopiku, rasanya pahit, manis, dan kuat, persis seperti suasana proyek ini.

​"Bagaimana dengan BOQ itu, Laras?" tanya Rio, memecah keheningan. "Terlihat rumit sekali."

​"Lumayan. Ada revisi sedikit di bagian finishing kamar mandi VIP. Desainnya harus diubah total karena keramik yang kami pesan ternyata sold out," jelasku, menghela napas lelah.

​"Keramik terrazzo biru yang kamu tunjukkan ke Pak Budi itu, ya?" tanyanya.

​Aku terkejut. "Kok kamu tahu?"

​"Kemarin malam saya ikut bantu Pak Budi menyortir data material masuk. Saya lihat spesifikasi keramiknya. Itu memang keramik impor yang cukup langka di sini," jelas Rio dengan nada biasa saja.

​Aku menatapnya dengan rasa ingin tahu yang semakin besar. Ini bukan sekadar percakapan teknis antara pekerja dan arsitek. Kebanyakan pekerja lain hanya peduli pada tugas harian mereka. Rio tidak. Dia memperhatikan detail desain dan logistik material.

​"Kamu punya latar belakang arsitektur juga, Rio?" tanyaku spontan.

​Rio hanya tersenyum samar, tidak menjawab langsung. Ia mengambil sebatang rokok, tapi tidak menyalakannya. Hanya memutar-mutarnya di antara jari. "Saya hanya suka mengamati, Laras. Desainmu bagus sekali. Saya suka cara kamu memanfaatkan cahaya alami di area counter," katanya, mengalihkan pembicaraan dengan pujian yang tulus dan spesifik.

​Aku merasakan pipiku sedikit menghangat, mungkin karena panas atau mungkin karena pujiannya. "Terima kasih. Itu memang tantangan terbesar, memaksakan cahaya masuk ke bangunan lama," kataku.

​"Setiap bangunan punya roh, Laras. Tugasmu sebagai arsitek bukan sekadar membuat cantik, tapi menemukan roh itu dan membangunkannya lagi," ujar Rio, matanya menatap ke kejauhan, ke arah dinding bata yang baru setengah jadi.

​Kata-katanya membuatku terdiam. Aku, sebagai lulusan terbaik di angkatanku, selalu menganggap arsitektur sebagai ilmu teknis, estetika, dan fungsionalitas. Tapi 'roh'? Itu adalah konsep yang lebih filosofis, yang biasanya dibahas oleh dosen-dosen tua di kampus.

​"Dari mana kamu belajar hal seperti itu, Rio?" tanyaku, kali ini benar-benar penasaran.

​Rio tersenyum lagi. Senyum misteriusnya. "Dari proyek ke proyek, Laras. Dari melihat orang-orang yang membangun dan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Saya belajar bahwa rumah bukan hanya atap dan dinding."

​Kami terus mengobrol selama sisa jam makan siang. Kami bicara tentang kemacetan Jakarta, tentang mie ayam langganan di dekat kos, hingga tentang musik. Rio ternyata penggemar musik folk lama, sementara aku lebih suka jazz. Diskusi itu ringan, tapi terasa dalam. Tidak ada lagi jarak antara 'arsitek' dan 'kuli bangunan'; yang ada hanya dua orang yang berbagi jeda dan secangkir kopi panas di bawah terik matahari.

​Sejak hari itu, interaksi kami berubah. Rio tidak lagi hanya sekadar pekerja. Dia menjadi rekan diskusi di lapangan, penanya kritis yang membantuku melihat potensi masalah sebelum terjadi, dan yang paling penting, dia adalah pembawa mood baik.

​Jika aku terlihat stres, Rio akan muncul dengan tebakan lelucon ala bapak-bapak yang garing tapi entah kenapa lucu. Jika aku bingung menentukan detail ketinggian, ia akan memberiku perspektif praktis dari sudut pandang tukang yang membuat solusiku lebih realistis.

​Suatu sore, aku harus pulang larut karena ada revisi mendadak. Hanya ada beberapa pekerja yang lembur, termasuk Rio yang sedang membersihkan sisa-sisa kayu.

​"Malam sekali pulang, Laras," sapanya saat melihatku mengunci pintu proyek.

​"Iya, Rio. Perubahan last minute dari klien. Biasa lah," kataku sambil menggeleng pasrah.

​"Hati-hati di jalan. Jalanan di sini kalau malam agak gelap," pesannya.

​"Kamu juga hati-hati. Sampai besok," balasku.

​Aku berjalan menjauh, tapi tiba-tiba Rio memanggilku lagi.

​"Laras!"

​Aku menoleh.

​"Jangan lupa tidur yang cukup. Besok kita perlu kekuatan penuh untuk mengangkat balok baja itu. Berat lho," katanya, setengah bercanda.

​Aku tertawa. "Siap, Bos Rio. Saya tidur cukup biar besok bisa mengawasi kalian dengan mata elang."

​Rio mengacungkan jempolnya sambil tersenyum. Senyum yang membuatku berjalan pulang dengan langkah yang terasa lebih ringan, meskipun bahuku membawa beban seharian penuh.

​Malam itu, saat berbaring di kamar kos, aku menyadari satu hal. Rio tidak pernah berusaha menjadi orang lain. Dia bangga dengan pekerjaannya sebagai kuli bangunan. Dia tulus, cerdas, dan yang paling utama, dia membuatku merasa aman dan dihargai di lokasi yang keras itu.

​Rasa nyaman yang kurasakan di dekatnya adalah sesuatu yang baru. Sebuah kenyamanan yang bukan datang dari kemewahan atau status sosial, melainkan dari kejujuran dan ketenangan seorang pria yang tangannya kasar karena bekerja keras.

​Dan aku mulai menyadari, bahwa kopi panas di siang bolong yang ia berikan, bukan hanya filosofi kuli, tapi juga penanda awal dari sesuatu yang perlahan-lahan mulai tumbuh di antara debu dan semen. Aku tidak lagi hanya mengawasi proyek. Aku juga mulai mengawasi Rio.

​Lanjutan Cerita:

​Bab 3 akan berfokus pada munculnya konflik besar dalam proyek dan bagaimana Rio menjadi supporting system tak terduga bagi Laras, yang semakin memperdalam hubungan profesional dan personal mereka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel