Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Salah Paham

​Setelah insiden kebocoran pipa, hubungan Laras dan Rio memasuki fase yang lebih mendalam dan personal. Peristiwa itu tidak hanya membuktikan keahlian teknis Rio, tetapi juga memperlihatkan integritas dan kesetiaannya sebagai rekan kerja. Sejak saat itu, mereka sering menghabiskan jam istirahat bersama, tidak hanya membahas revisi desain, tetapi juga berbagi cerita tentang kehidupan, ambisi, dan bahkan ketakutan.

​Laras mendapati dirinya selalu menanti kehadiran Rio. Senyumnya di pagi hari, nasihat praktisnya di siang hari, dan bahkan tegurannya yang lembut jika Laras terlihat terlalu keras pada dirinya sendiri—semuanya terasa menenangkan. Rio adalah jangkar di tengah badai proyek yang tak pernah reda.

​Namun, di balik rasa nyaman yang kian membesar, ada kegelisahan yang mengganggu pikiran Laras: Siapa sebenarnya Rio?

​Wawasannya terlalu luas untuk seorang kuli bangunan biasa. Dia bisa mengutip filosofi Romawi saat membahas kekuatan struktur, dia tahu tentang seni minimalis Jepang saat mendiskusikan finishing interior, dan yang paling aneh, aksen bicaranya, meskipun ramah, terdengar sangat terdidik, jauh dari logat pekerja kasar yang ia temui di lokasi.

​Suatu sore, Laras dan Rio sedang memeriksa pemasangan parquet di lantai utama. Rio berlutut, mengukur jarak antar sambungan dengan cermat.

​"Rio," panggil Laras pelan.

​"Ya, Laras?" jawabnya, tanpa mengalihkan pandangan dari lantai.

​"Tanganmu," kata Laras, menunjuk ke tangan Rio yang dipenuhi kapalan dan goresan. "Pernahkah kamu... melakukan pekerjaan lain sebelum ini? Yang tidak membuat tanganmu sekasar ini?"

​Rio berhenti mengukur. Dia duduk bersila di lantai, menatap telapak tangannya sendiri. Ada jeda panjang yang dipenuhi suara palu dari kejauhan.

​"Semua pekerjaan meninggalkan jejak, Laras," kata Rio, suaranya pelan. "Jejak di tangan, di pikiran, atau di hati. Saya pernah melakukan banyak hal. Saya pernah bekerja di kantor ber-AC, memakai dasi, menghadiri rapat yang membosankan. Tangan saya bersih, tapi pikiran saya kotor."

​Laras merasakan jantungnya berdebar kencang. "Pekerjaan apa itu?"

​Rio menghela napas. Dia menatap Laras, matanya yang teduh kini memancarkan sedikit beban masa lalu. "Saya pernah menjadi... manajer proyek. Di perusahaan kontraktor besar. Saya punya tim, mobil kantor, dan gaji yang lumayan."

​Laras terhenyak. Manajer proyek? Itu berarti Rio adalah seorang profesional yang seharusnya berada di meja rapat bersamanya, bukan berlutut memasang lantai.

​"Lalu, kenapa kamu meninggalkan semua itu? Kenapa kamu memilih menjadi kuli bangunan?" tanya Laras, nadanya terdengar antara penasaran dan sedikit kecewa karena merasa dibohongi.

​Rio tersenyum, senyum yang kali ini lebih terasa pahit. "Karena saya lelah dengan kepalsuan. Di sana, yang penting bukan kualitas, tapi kecepatan dan untung. Setiap detail yang kamu desain dengan susah payah, Laras, akan dibabat habis demi efisiensi biaya. Saya lelah berbohong kepada klien tentang kualitas material, saya lelah menekan gaji tukang demi laporan keuangan yang indah."

​Dia berdiri, mengibaskan debu dari celana kerjanya. "Tangan saya memang kasar sekarang, Laras. Tapi hati saya jauh lebih nyaman. Di sini, di proyek ini, saya bisa memegang kayu yang saya pasang, saya bisa memastikan pipa yang saya sambung tidak bocor. Saya membangun dengan hati, Laras. Bukan dengan Excel dan PowerPoint."

​Laras terdiam. Ternyata, sosok Rio tidak hanya misterius, tapi juga memiliki idealisme yang kuat. Idealismenya yang radikal telah membuatnya meninggalkan posisi bergengsi dan memilih hidup sederhana sebagai pekerja lapangan.

​"Aku mengerti," bisik Laras. Dia memang selalu kesal dengan pemotongan desain demi budget. "Tapi kenapa kamu tidak bilang dari awal? Kenapa kamu menyembunyikannya?"

​"Apakah itu penting, Laras? Apakah itu mengubah cara saya memasang keramik, atau cara saya memastikan duct AC terpasang lurus?" tantang Rio, nadanya lembut namun tegas. "Saya hanya ingin dilihat sebagai Rio yang bekerja keras, bukan Rio mantan manajer yang gagal. Dan yang paling penting... Saya takut kamu akan menjaga jarak jika tahu masa lalu saya."

​Kata-kata terakhir Rio menyentuh hati Laras. Itu adalah pengakuan yang samar tentang perasaannya. Dia tidak ingin perbedaan status menghalangi kedekatan mereka.

​"Aku tidak peduli kamu mantan manajer atau bukan," kata Laras, memberanikan diri. "Aku hanya peduli kamu orang yang jujur dan baik. Dan kamu... membuatku nyaman."

​Senyum Rio kembali merekah, senyum yang Laras kenali dan cintai—nyaman dan tulus.

​Namun, pengungkapan ini menciptakan dilema baru bagi Laras. Ia adalah seorang arsitek muda dengan masa depan cerah, didukung penuh oleh keluarga high class di Jakarta. Bagaimana jika suatu saat ia harus memperkenalkan Rio, si kuli bangunan (mantan manajer proyek) yang idealis, kepada orang tuanya? Laras tahu, ibunya akan menilainya dari pekerjaan saat ini, bukan dari kejujuran hatinya.

​Pada malam yang sama, saat Laras sedang video call dengan ibunya, dilema itu menjadi kenyataan.

​"Proyekmu bagaimana, Sayang? Lancar? Kamu jangan terlalu lama di lapangan. Jaga kulitmu," kata sang Ibu dari layar.

​"Lancar, Ma. Sebentar lagi finishing," jawab Laras.

​"Bagus. Cepat selesai, supaya kamu bisa fokus pada karier. Mama dengar anak Pak Hadi, si Bram, sekarang jadi manajer di firma besar. Dia tampan, mapan, dan sangat tertarik padamu. Mama sudah atur makan malam minggu depan," kata ibunya dengan nada penuh harap.

​Laras merasakan perutnya mual. Bram. Lulusan luar negeri, well-dressed, tapi membosankan.

​"Ma, aku sibuk. Aku tidak mau dijodohkan," protes Laras.

​"Laras, ini bukan perjodohan. Ini adalah networking yang cerdas. Kamu harus bergaul dengan orang-orang yang selevel. Jangan buang waktu dengan orang-orang yang tidak jelas masa depannya," tegas ibunya.

​Laras mematikan telepon dengan perasaan hampa. Kata-kata ibunya terus terngiang: orang-orang yang tidak jelas masa depannya. Di mata ibunya, Rio, si kuli bangunan idealis, pasti masuk kategori itu.

​Ia melihat ke cermin. Dirinya, seorang arsitek sukses dengan masa depan terjamin, dan Rio, seorang mantan manajer yang memilih hidup dari gaji harian demi idealisme. Jurang sosial dan harapan keluarga kini membentang lebar di antara mereka.

​Laras mencintai kenyamanan dan kejujuran yang diberikan Rio. Tapi apakah cinta itu cukup kuat untuk melawan ekspektasi sosial dan keinginan ibunya?

​Ia menyentuh ponselnya. Ingin sekali ia menelepon Rio, mendengar suara tenang itu, dan menceritakan semua kerisauannya. Namun, ia tahu. Jika ia melangkah lebih jauh, tidak ada jalan kembali.

​Hubungan mereka kini telah melewati batas profesional. Ini bukan lagi tentang denah dan semen, tetapi tentang hati dan masa depan. Dan untuk pertama kalinya, kenyamanan yang diberikan Rio terasa seperti tantangan yang mendebarkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel