1. Awal Mula
Mengandung adegan dewasa 21++
“Ach, sayang masukin lagi enak banget,” desah wanita yang sedang berada di ranjang bersama kuli bangunan.
“Mantap sayang, jepitanmu nikmat. Mas gak tahan sayang, mau keluar nih,” sahut lelaki perkasa 24Cm itu lagi.
Ckop … ckop … ckop …
Mantap sayang, enak terus.
Mentari pagi di Jakarta selalu punya caranya sendiri untuk membangunkan penduduknya. Bukan dengan kehangatan lembut, melainkan sengatan yang menembus jendela kamar kosku yang tidak seberapa kedap suara. Jam menunjukkan pukul enam pagi, tapi hiruk-pikuk kota sudah seperti orkestra yang dimulai sejak subuh. Klakson kendaraan, deru mesin motor, dan teriakan pedagang sayur langganan Ibu Kos—semua berpadu menciptakan simfoni khas ibu kota. Aku menggeliat, mencoba meraih sisa-sisa mimpi yang masih enggan pergi, namun percuma. Hari baru telah tiba, dan dengan itu, proyek baru di depan mata.
Namaku Laras. Dua puluh tujuh tahun, seorang arsitek muda yang sedang merintis karier di salah satu firma desain interior cukup ternama di Jakarta. Proyek terbaruku adalah renovasi total sebuah kafe estetik di kawasan Kemang. Sebuah tantangan sekaligus kesempatan besar untuk membuktikan diri. Lokasi proyek tak jauh dari kosku, cukup berjalan kaki sekitar sepuluh menit. Sejak kemarin, tim kontraktor sudah mulai bekerja, membongkar beberapa bagian bangunan lama. Suara palu, gerinda, dan teriakan instruksi sudah menjadi musik latar baru di pagi hariku.
Setelah ritual mandi kilat dan sarapan seadanya—roti tawar dengan selai kacang—aku bersiap berangkat. Kemeja rapi, celana bahan, dan sepatu loafers kesayanganku sudah siap menemaniku menaklukkan hari. Kaca mata bertengger manis di hidung, menambah kesan profesional yang kuharapkan. Dengan tas kerja berisi sketchbook, laptop mini, dan tape measure andalanku, aku melangkah keluar.
Begitu sampai di lokasi, suasana sudah ramai. Beberapa tukang bangunan lalu-lalang, membawa material, mengukur, atau sekadar beristirahat sejenak sambil menyeruput kopi. Debu beterbangan di mana-mana, menciptakan lapisan tipis di udara yang membuatku harus sedikit menyipitkan mata. Aroma semen basah, kayu gergajian, dan keringat bercampur jadi satu, menciptakan bau khas lokasi konstruksi yang sudah sangat familiar bagiku.
Aku segera mencari Pak Budi, mandor proyek yang sudah sering bekerja sama dengan firmaku. Beliau adalah sosok yang sigap, bertanggung jawab, dan selalu bisa diandalkan. Aku menemukannya sedang mengawasi beberapa pekerja yang sedang memindahkan tumpukan bata merah.
"Pagi, Pak Budi!" sapaku, sedikit mengeraskan suara agar terdengar di tengah kebisingan.
Pak Budi menoleh, senyum ramah langsung merekah di wajahnya yang sedikit kusam. "Eh, Mbak Laras! Pagi juga. Wah, rajin sekali sudah datang sepagi ini."
"Harus dong, Pak. Kan proyek penting," balasku sambil tertawa kecil. "Bagaimana progres hari ini, Pak? Sudah bisa kita diskusikan layout untuk area dapur?"
"Bisa, bisa. Tapi nanti ya, Mbak. Ini masih ada beberapa penyesuaian di bagian depan. Oya, itu nanti ada tambahan tim, Mbak. Anak-anak baru, tapi sudah berpengalaman kok," jelas Pak Budi sambil menunjuk ke arah sekelompok pekerja di pojok.
Aku mengangguk, mencatat informasi itu dalam benak. Sambil menunggu Pak Budi menyelesaikan tugasnya, aku berkeliling, memeriksa detail-detail kecil yang mungkin terlewat. Mataku menelusuri dinding-dinding yang baru dirobohkan, fondasi yang mulai diperkuat, dan tumpukan material yang tertata rapi.
Saat aku sedang fokus memeriksa kualitas papan gypsum yang baru datang, tiba-tiba sebuah suara berat tapi lembut menyapaku dari belakang.
"Permisi, Mbak. Hati-hati, ya. Ada paku di dekat situ."
Aku sedikit terkejut, berbalik dengan cepat. Di depanku, berdiri seorang pria. Tingginya sekitar 175 cm, kulitnya sawo matang terbakar matahari, dan otot-otot di lengannya terlihat jelas tersembunyi di balik kaus lusuh berwarna gelap yang ia kenakan. Wajahnya dihiasi oleh beberapa guratan debu dan keringat, namun yang paling menarik perhatianku adalah sepasang mata cokelatnya yang teduh dan senyum tipis yang tersungging di bibirnya. Senyum itu entah mengapa terasa ... nyaman.
"Eh, iya. Terima kasih," kataku sedikit terbata. Aku baru sadar betapa dekatnya kakiku dengan sebuah paku berkarat yang menancap di sebilah kayu. Nyaris saja.
Pria itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah paku itu. "Di lokasi bangunan memang harus ekstra hati-hati, Mbak. Banyak ranjau tak terlihat." Suaranya ramah, tanpa kesan menggoda atau tak sopan seperti yang kadang kutemui pada beberapa pekerja lain.
"Iya, saya agak lengah tadi," aku mengakui. "Kamu pekerja baru, ya? Belum pernah lihat sebelumnya."
Pria itu tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar, dan entah mengapa, senyum itu membuat debu dan keringat di wajahnya terlihat seperti hiasan. "Betul, Mbak. Saya baru mulai hari ini. Nama saya Rio." Ia mengulurkan tangan kanannya yang besar, penuh kapalan, namun gerakannya halus.
Aku menyambut uluran tangannya. Telapak tangannya terasa kasar, tapi genggamannya mantap. "Laras. Arsitek yang bertanggung jawab atas desain proyek ini."
"Oh, Mbak Laras. Pak Budi sudah cerita. Senang bisa bekerja di bawah arahan Mbak Laras," kata Rio, menarik tangannya kembali. "Kalau ada yang bisa saya bantu, bilang saja, Mbak."
"Terima kasih, Rio. Tapi tolong jangan terlalu formal," kataku sambil tertawa kecil. "Panggil Laras saja."
Rio ikut tertawa. Suaranya cukup renyah. "Baik, Laras."
Aku menatapnya sejenak. Ada sesuatu yang berbeda dari Rio. Sikapnya yang tenang, sopan, dan sorot matanya yang jujur. Di tengah hiruk-pikuk dan kerasnya dunia konstruksi, senyumnya dan kesantunannya seperti oase kecil. Membuatku merasa... nyaman.
"Kalau begitu, saya lanjut kerja dulu, Laras. Banyak yang harus dibereskan," kata Rio, pamit undur diri.
"Oke, Rio. Semangat!" balasku.
Rio mengangguk, lalu berbalik dan kembali bergabung dengan rekan-rekannya, mengangkat material dengan cekatan. Aku memperhatikan punggungnya sejenak, entah mengapa merasa sedikit aneh. Biasanya aku tidak begitu memperhatikan pekerja di lokasi, kecuali jika ada masalah teknis. Namun, Rio... dia berbeda.
Aku kembali fokus pada tugasku, mencoba mengenyahkan pikiran aneh tentang kuli bangunan bernama Rio itu. Ini hanya hari pertama. Masih banyak hal yang harus kuperhatikan. Tapi, senyum dan suaranya tadi, seolah tertanam di benakku, menciptakan sebuah rasa penasaran yang tak terduga. Rasa nyaman yang datang di tengah debu dan bisingnya lokasi konstruksi.
Sepertinya, proyek renovasi kafe ini akan jauh lebih menarik dari yang kuduga.
