Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Nikmat Banget

Abah Hasan melihat ke Ilham lalu melihat ke Azzam. Abah Hasan tidak pernah habis pikir dengan ucapan Azzam. Bagaimana bisa Azzam mengatakan itu di depan kakaknya sendiri. Azzam sama sekali tidak memikirkan perasaan kakaknya.

"Zam, kakak kamu Ilham, akan tetap menikah dengan Nayla. Dan itu sudah keputusan Abah," tekan Abah Hasan.

"Bah, tidak bisa gitu dong."

"Sudahlah, Zam. Terima keputusan Abah, kamu. Lagian kedua orang tua Nayla sudah setuju kalau Nayla menikah dengan Ilham."

"Ummi dan Abah tidak pernah mengerti perasaan Azzam!" Azzam pergi dengan kesal.

Abah Hasan dan Ummi Aminah geleng-geleng kepala.

*****

Ilham sudah memulaikan kelas dari beberapa menit yang lalu, tapi Nayla belum juga datang. Luna juga bingung kenapa Nayla belum juga datang. Apa dia tidak masuk kuliah? Tapi, kalau Nayla tidak masuk kuliah, pasti akan menghubungi dirinya dan menyuruhnya untuk memintakan izin. Namun, ini tidak.

Sedangkan di jalan, Nayla kena macet dalam taksi. Beberapa kali Nayla melirik jam yang bertengger manis di pergelangan tangannya. Kali ini, ia sangat terlambat dari sebelumnya, soalnya kelas Ilham hari ini sangat pagi sekali.

"Pak, apa gak ada celah untuk nyelip? Kalau bisa terbang gitu, Pak."

Nayla ada-ada saja, memang dia pikir tuh taksi punya sayap.

Sopir taksi itu hanya geleng-geleng kepala, "Sepertinya tidak bisa, Nona," ucapnya lalu.

Beberapa saat kemudian, taksi yang Nayla tumpangi melaju.

"Pak, cepatan dikit dong, Pak."

"Ini sudah sangat cepat, Nona."

"Ngebut, Pak."

Sopir taksi itu baru saja mau ngebut, tiba-tiba taksinya mogok.

"Pak, kenapa malah berhenti?"

"Sebentar, Nona." Sopir taksi itu mencoba menyalakan lagi namun, tidak bisa.

"Maaf, Nona. Sepertinya mogok."

"Ya elaaahh, Pak. Kenapa pakai mogok segala sih?"

"Nona, naik ojek saja."

"Ya sudah."

Nayla turun dari taksi. Beruntung tempat mogoknya taksi yang di tumpanginya di pangkalan ojek. Jadi Nayla langsung memesan ojek tanpa menunggu lama.

Tak lama kemudian, Nayla sampai di kampus. Karena sangat buru-buru, Nayla langsung masuk ke dalam tanpa membayar ojek tersebut terlebih dahulu.

"Eehh, bayar dulu," ucap tukang ojek itu.

Nayla seolah tuli, ia tidak mendengar ucapan tukang ojek itu dan terus berlari menuju kelasnya.

"Assalamualaikum, Pak," ucap Nayla dengan nafas yang ngos-ngosan.

Ilham menoleh ke sumber suara, "Wa'alaikum salam."

'Semoga hari ini jin baik masuk ke dalam tubuh Pak Ilham, agar gue di kasih masuk,' batin Nayla.

Ilham melangkah ke arah Nayla yang di luar lalu berdiri di ambang pintu, "Kenapa terlambat lagi?"

"Jadi ceritanya gini, Pak. Saya bangun jam lima dan berangkat setengah enam. Karena motor saya masih di bengkel jadi saya naik taksi, tapi di tengah jalan malah kena macet, pas taksi yang saya tumpangi sudah bebas dari kemacetan, tiba-tiba taksi itu mogok. Jadinya saya naik o--- Nayla menjeda ucapannya karena teringat sesuatu. "Astagaaaa, gue lupa bayar tuh ojek, gimana ini, Pak?" Nayla malah bingung sendiri.

Ilham mengerutkan keningnya bingung dengan tingkah Nayla. Orang dia yang naik ojek, malah bawa-bawa dirinya? Aneh nih orang, pikir Ilham.

"Pak gimana, dong?"

"Mana saya tahu, 'kan kamu yang naik ojek, bukan saya."

"Iya, tapi masalahnya, tuh tukang ojek saya gak tahu orangnya."

Tak lama kemudian, tukang ojek itu menemukan Nayla setelah berkeliling mencarainya

"Tuh dia gadis itu." Tukang ojek itu menghampiri Nayla yang berdiri di depan pintu kelas.

"Nona, bayar dulu."

"Ah, iya. Maaf, Pak! Tadi saya buru-buru, jadinya lupa bayarnya. Sebentar ya, Pak."

Nayla mencari dompetnya di dalam tas namun, tidak menemukannya.

"Dompet gue, mana?"

Nayla bolak balik mencari dompetnya dalam tasnya tapi tidak ada juga.

'Kok gak ada sih,' batin Nayla, menggigit bibir bawahnya.

"Eee ... anu, Pak ... eee ... aaa." Nayla tidak tahu harus berkata apa.

'Kalau gini ceritanya, bisa malu gue,' batinnya.

"Buruan dong, Nona."

Nayla menggaruk kepalanya yang tidak gatel, "Pak, saya boleh ngutang dulu gak?" Nayla cengengesan.

"Gak bisa gitu dong, Nona. Nona adalah pelanggan pertama, saya. Masak pelanggan pertama mau ngutang."

"Tapi gimana, Pak? Saya lupa bawa dompet, dan uang saya ada di dompet, saya."

"Berapa?" tanya Ilham, tiba-tiba.

Nayla menoleh ke Ilham.

"Lima puluh ribu, Mas."

Ilham mengambil dompetnya dari kantong celana lalu mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikannya pada tukang ojek itu. Setelah itu, tukang ojek itu pun pergi.

"Terimakasih, Pak. Pak, apa saya boleh masuk?"

"Kali ini saya izinkan kamu masuk."

"Terimakasih, Pak."

Nayla masuk dan menuju tempat duduknya. Ilham pun mulai melanjutkan pelajaran yang tertunda tadi.

Tak lama kemudian, pelajaran usai. Ilham pun meninggalkan kelas.

"Pak Ilham kesambet apaan sampai tiba-tiba baik gitu? Bayar ojek lho dan kasih lho masuk."

"Gue guna-guna."

"Haaa! Serius, lho?"

"Ya gaklah, gue cuma bercanda kali. Tapi gue juga heran, kenapa Pak Ilham tiba-tiba baik gitu?"

"Lho aja bingung, apa lagi gue. Kantin ayo, Nay."

"Lho 'kan tahu sendiri gue lupa bawa dompet, Lun. Mau bayar pakai apa, gue?"

"Minta sama Pak Ilham lagi, gue yakin Pak Ilham akan kasih, bentar lagi 'kan lho jadi istrinya."

"Waaaahh! Gak benar nih ajaran lho! Tadi aja gue malunya setengah mati, sekarang lho nyuruh gue minta. Apa katanya nanti?"

"Ya udah, gue yang traktir. Tapi besok, lho."

"Ya udah, ayo. Gue juga udah laper nih."

Nayla dan Luna sudah berada di kantin dan sedang memakan baksonya. Namun, di tengah sedang menikmati baksonya, Azzam datang.

"Nay, aku mau ngomong sama kamu."

"Sekarang, Zam?"

"Iya, sekarang."

"Tapi, gue lagi makan."

"Buruan habisin!"

"Lun, gue tinggal dulu ya," ucap Nayla, setelah baksonya sudah habis.

"Iya."

"Ada apa, Zam?"

Saat ini, Nayla dan Azzam sedang berada di taman kampus.

"Nayla ... aku mencintaimu. Apa kamu juga mencintai diriku?"

Deeegg!

Nayla sangat kaget dengan ucapan Azzam. Namun, ia tidak bisa berkata apa-apa. Memang Nayla menyukai Azzam, tapi kenapa baru sekarang Azzam mengatakan kalau dirinya mencintainya? Setelah pernikahannya dengan Ilham sudah di tentukan.

"Jawab, Nayla. Apa kamu juga mencintai diriku?"

"Zam, kalau boleh jujur ... gue memang menyukai, lho. Tapi ....

"Tapi apa, Nay?"

"Kita tidak bisa akan bersatu, lho 'kan tahu sendiri, pernikahan gue dengan Pak Ilham tinggal sebentar lagi."

"Nayla, kita bisa kawin lari."

Nayla melebarkan kedua matanya, bola matanya seolah akan keluar dari tempatnya saking kagetnya dengan ucapan Azzam.

Apa Azzam sudah kehilangan akal sehatnya?

Bagiamana bisa mengajak dirinya kawin lari?Apa Azzam pikir, setelah mereka kawin lari, lalu semuanya akan beres?

Justru itu akan menimbulkan masalah besar. Bukan hanya masalah saja, tapi akan mempermalukan kedua orang tua mereka, terutama Ilham, gimana perasaan Ilham kalau calon istrinya kawin lari dengan adiknya sendiri? Apa Azzam tidak memikirkan itu semua?

"Zam, apa lho serius dengan ucapan, lho?" Nayla masih tidak percaya.

"Aku serius, Nay. Apa kamu bersedia?"

Nayla terdiam. Azzam memang benar-benar tidak waras. Namun, bagaimana pun juga, Nayla tidak mau melakukan ide gila Azzam. Bukan karena Nayla menyukai Ilham, tapi karena Nayla memikirkan kedua orang tuanya. Nayla setuju menikah dengan Ilham, itu juga karena Nayla tidak mau membuat kedua orang tuanya kecewa dan malu.

"Zam, memang gue menyukai, lho. Tapi tidak gitu juga caranya. Ini sama saja kita mempermalukan kedua orang tua kita."

"Lalu, gimana caranya, Nay? Cuma itu cara satu-satunya agar kita bisa bersatu."

"Zam, gue rasa, lho sedang tidak sehat dech."

"Iya, memang aku tidak sehat, Nay. Dan itu karena kamu! Aku sudah lama menyukaimu, semenjak beru pertama kita masuk kuliah."

"Tapi kenapa lho tidak mengatakan itu dari dulu, Zam? Kenapa sekarang, saat pernikahan gue sudah di tetapkan?"

"Itu kesalahan dan kebodohan gue, Nay. Gue takut, lho akan menolaknya, makanya gue pendem."

Nayla memejamkan matanya, setelah itu membukanya kembali, "Zam, mungkin ini adalah takdir kita tidak bisa bersama. Jadi gue harap, rasa yang ada pada diri kita, kita kubur dalam-dalam. Senekat apa pun kita ambil resiko kalau Tuhan tidak menginginkan kita untuk saaling memiliki, kita tidak akan pernah bisa bersama, Zam."

"Jadi, kamu tidak ingin memperjuangkan cinta kita, Nay?"

"Bukan begitu, Zam. Gue hanya tidak mau membuat kedua orang tua gue kecewa. Karena surga gue masih berada di bawah telapak kaki Mamah, gue. Gue tidak mau karena kita kawin lari, gue jadi durhaka sama kedua orang tua, gue."

Hening ....

Azzam tengah mecerna perkataan Nayla. Yang dibilang Nayla memang sangat benar, bagaimana bisa Azzam lupa akan hal itu? Iya, memang benar, kalau Tuhan tidak menghendaki mereka untuk bersama, maka mereka tidak akan pernah bisa bersama. Dan kawin lari bukan solusi yang terbaik, tapi akan menimbulkan masalah.

Mungkin Azzam terlalu terobsesi akan cintanya pada Nayla sehingga ia lupa akan Tuhan yang maha segalanya. Yang bisa membolak balikkan hati hambanya kapan pun juga dalam sekejap.

"Baiklah, Nay. Aku minta maaf. Aku akan berusaha mengikhlaskanmu dengan Bang Ilham. Kamu benar, kita tidak di takdirkan untuk bersama. Sekali lagi, aku minta maaf. Aku pergi dulu."

Nayla mengangguk.

'Maaf, Zam. Gue memang mencintai, lho. Tapi apa daya gue, cinta gue terhadap kedua orang tua gue yang buat gue tidak bisa memperjuangkan cinta kita,' batin Nayla, menatap kepergian Azzam.

....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel