Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Kawin Yuk!

Setelah kepergian Azzam, Nayla pun meninggalkan taman. Nayla menuju kelas, karena kelas segera akan di mulai.

"Nay, Azzam bicara apa saja sama, lho?" tanya Luna, saat Nayla sudah duduk di bangkunya.

"Azzam, ngajak gue kawin lari, Lun."

Luna menganga karena kaget dengan ucapan Nayl, "Lalu? Apa lho mau?"

Nayla menggeleng, "Tidak, Lun. Bagaimana bisa gue lakukan itu di saat pernikahan gue dengan Pak Ilham sebentar lagi."

Luna terdiam, memang berada di posisi Nayla saat ini sangat sulit. Di sisi lain, ia harus mengubur dalam-dalam cintanya dengan Azzam. Di sisi lain juga, sebagai baktinya kepada kedua orang tuanya, dia harus lapang dada melanjutkan pernikahannya dengan Ilham, walau pun terpaksa.

Setelah kelas usai, Nayla dan Luna langsung meninggalkan kelas.

"Nay, gue duluan ya."

"Iya, hati-hati."

"Iya."

Nayla menunggu taksi di depan gerbang kampus. Tak lama kemudian, mobil Ilham berhenti di dekat Nayla.

"Ayo naik!"

"Saya, Pak?" Nayla menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, siapa lagi kalau bukan kamu. Buruan!"

"Tidak usah, Pak. Saya sudah pesan taksi."

"Kamu bisa batalin."

"Maaf, Pak. Ini taksinya sudah datang. Saya pulang pakai taksi saja."

Ilham menghela nafas, "Jangan keras kepala, cepat naik!"

"Ta---

"Apa perlu saya membantumu naik?" Ilham sudah gemes dengan Nayla.

"Tidak perlu, Pak."

"Makanya buruan naik!"

"Lalu, saya bayar taksinya gimana?"

Ilham mengeluarkan uang dua ratus ribu lalu menyodorkannya pada Nayla.

"Nih."

Nayla dengan ragu mengambil uang tersebut dari tangan Ilham, lalu memberikannya pada sopir taksi itu. Setelah itu, Nayla pun membuka pintu mobil dan naik. Ilham menjalankan mobil setelah Nayla duduk dengan aman.

Nayla melihat Ilahm, dalam hatinya bertanya-tanya. Tumben banget nawarin tumpangan? Sebelumnya tidak pernah seperti ini? Apa Pak Ilham lagi kesurupan?

Ilham melirik Nayla sekilas, "Kenapa kamu lihat saya seperti itu? Naksir? Ya, saya akui, memang saya tampan."

'Haaaahh! Apa gue gak salah dengar? Gue naksir sama Dosen kulkas ini? Oh no, bukan tipe gue. Selain nyebelin dan resek, Dosen kulkas ini juga tingkat kepedeannya tinggi juga,' batin Nayla.

"Kenapa diam? Sariawan?"

"Tidak, Pak."

"Kalau begitu, kenapa diam saja?"

'Selain nyebelin, resek dan kepedean, Dosen kulkas ini juga sangat bawel. Ini mah, benar-benar kesurupan jin tomang kayanya, pengin cepat-cepat di rukiyah nih,' batin Nayla kesal.

Setelah sampai, Nayla turun, "Terimakasih, Pak."

"Mmm. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam."

Ilham melajukan mobilnya meninggalkan perkarangan rumah Nayla. Nayla pun masuk setelah kepergian Ilham.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam."

Nayla menyalami Mamah Dita lalu mendaratkan bokongnya di sofa dekat Mamah Dita.

"Papah belum pulang, Mah?"

"Belum, sayang. Pulang naik apa?"

"Di anter Pak Ilham."

"Oh ya? Kok tidak di suruh masuk dulu."

"Sudah pulang. Lagian ngapain di suruh masuk?"

"Ngopi atau apa kek."

"Mamah jangan terlalu berlebihan sama dia."

"Berlebihan bagaimana? Orang cuma nawarin kopi kalau dia masuk. Dia 'kan tamu, jadi harus di hormati. Tamu itu seperti raja, walau tidak suka pada dia, tapi tetap harus di hormati."

"Serah Mamah dech."

Nayla beranjak lalu naik ke atas.

"Dia, kenapa? Memangnya saya salah ngomong? ... Nay, nanti malam keluarga Ilham akan datang," teriak Mamah Dita.

"Masa bodo," teriak Nayla.

Mamah Dita geleng-geleng kepala dengan jawaban Nayla.

*****

Malam harinya, seperti yang di katakan Mamah Dita, keluarga Ilham datang bersama Ilham dan juga Azzam.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam."

Mereka semua masuk lalu duduk detelah di persilahkan. Kebetulan Nayla baru turun dan hendak pergi ke dapur untuk mengambil minum.

"Nayla, duduk sini nak."

"Bentar, Mah. Nayla mau ambil minum dulu."

"Ya sudah, sekalian buatin kopi untuk kami semua ya."

Nayla mengangguk lalu pergi ke dapur.

"Mau nagapain mereka kesini lagi? Bukankah pernikahannya sudah di tetapkan?" ucap Nayla, sembari membuatkan kopi.

Setelah selesai, Nayla membawanya ke ruang tamu lalu menaruhnya di atas meja. Setelah itu, duduk di samping Mamah Dita.

"Jadi kedatangan kami kesini lagi, ingin membahas mengenai pernikahan Nayla dan Ilham. Ilham memilih agar pernikahan mereka di rahasiakan," jelas Kiai Hasan.

"Memangnya kenapa harus di rahasiakan?" tanya Papah Daniel.

"Ilham, tidak ingin Nayla merasa tidak nyaman saat di kampus. Apa lagi, Ilham 'kan Dosennya Nayla."

Papah Daniel mangut-mangut ngerti.

'Baguslah kalau begitu, setidaknya hanya Luna dan Azzam yang tahu,' batin Nayla.

"Gimana, nak Nayla? Apa kamu setuju?" tanya Kiai Hasan.

Nayla mengangguk.

*****

Waktu begitu berjalan dengan cepat, hingga tibalah pernikahan mereka. Seperti yang sudah di sepakati sebelumnya, pernikahan Nayla dan Ilham di rahasiakan dan hanya di saksikan oleh keluarga dan kerabat terdekat saja. Sebagai sahabat yang baik, Nayla tak lupa mengundang Luna. Luna sedang berada di kamar Nayla saat ini untuk menemani Nayla yang tengah di dandani.

Walau pun hari yang sangat bahagia dan di tunggu-tunggu banyak orang momen ini, Nayla terlihat tidak bahagia dan tidak semangat. Wajahnya memperlihatkan kesedihan.

"Nay, seharusnya lho bahagia di hari bahagia ini."

Nayla menghela nafas, "Gimana caranya, Lun? Lho 'kan sudah tau kalau gue terpaksa menerima pernikahan ini."

"Iya, gue tahu. Tapi setidaknya senyumlah sedikit. Jangan memperlihatkan pada orang-orang kalau lho tidak bahagia. Apalagi di depan kedua orang tua lho dan kedua orang tua Pak Ilham."

"Gue gak ahli dalam hal itu, Lun. Pura-pura bahagia di depan semua orang, tapi nyatanya tidak."

Luna menghela nafas, "Memang sulit sih. Gue ngerti perasaan lho, Nay. Menikah dengan orang yang tidak kita cintai sangat sakit. Apalagi orang yang kita cintai menyaksikan pernikahan kita sendiri."

Kayak pernah alami aja, atau memang si Luna sudah pernah mengalami hal itu?

"Waahh, Nayla. Lho sangat cantik."

"Percuma cantik, kalau tidak bahagia."

"Udah, ah. Ayo turun. Jangan lupa senyum."

Luna menuntun Nayla turun ke bawah. Saat melihat Nayla turun, Ilham tidak mengedipkan matanya. Begitu juga dengan Azzam, Nayla sangat terlihat cantik di matanya.

'Kamu sangat cantik, Nayla. Coba saja, aku yang berada di posisi Bang Ilham, pasti aku akan sangat bahagia sekali,' batin Azzam.

Tanpa ia sadari, air matanya menitik. Azzam segera mengusap bekas air matanya.

Nayla kini sudah duduk di samping sebelah kiri Ilham. Jantung Ilham tiba-tiba berdebar kencang. Entah itu karena merasa gugup, atau karena Nayla yang berada di dekatnya. Sebelumnya, Ilham tidak pernah merasakan seperti itu, tapi saat ini entahlah, Ilham tidak tahu.

!!

Nayla menitikkan air mata setelah mendengar kata itu. Sekarang, Nayla sudah resmi jadi istri dari , yang sekarang ia harus mengemban tugas baru sebagai seorang istri, melayani Ilham dan mematuhi semua ucapan Ilham.

Ilham memasangkan cincin di jari manis Nayla. Setelah itu, Nayla menyalimi tangan Ilham dan mencium punggungnya dengan takzim. Lalu kemudian, Nayla yang memasangkan cincin ke jari manis Ilham. Setelahnya, Ilham mencium kening Nayla.

Semua orang yang menyaksikan itu terlihat bahagia, kecuali Azzam. Azzam justru menangis, karena cintanya dengan Nayla sudah berakhir. Bahkan sebelum mereka memulainya.

"Semoga kamu bahagia, Nay." Azzam menyeka air matanya.

Nayla menatap Azzam yang sedang mengusap air matanya, 'Maafin gue, Zam,' batinnya.

Air mata Nayla juga sudah tergenang di pelupuk mata indahnya. Karena tidak bisa menahanya lagi, air matanya lolos begitu saja. Namun, sebelum orang-orang melihatnya, Nayla segera mengusapnya. Tetapi Ilham, memperhatikan itu semua bahkan Ilham menyaksikan tatapan Azzam dan Nayla yang saling menangisi.

Setelah acara selesai, semua orang pun pulang, kecuali keluarga Ilham. Sebelum pulang, Azzam ingin bicara dengan Nayla. Mungkin Azzam ingin mengucapkan selamat pada Nayla atas pernikahannya dengan Ilham, kakaknya. Tadi Azzam, tidak sempat memberi selamat, karena tidak sanggup mengucap itu di depan kakaknya dan juga depan banyak orang.

Saat ini, Nayla dan Azzam berada di taman samping rumah Nayla.

"Nayla, selamat ya. Semoga kamu dan Bang Ilham bahagia."

Sebenarnya, Azzam tidak rela walau waktu itu dia bilang akan berusaha untuk ikhlas. Sebab, mengikhlaskan orang yang kita cintai menikah dengan orang lain itu sangat menyakitkan, apalagi ini dengan kakaknya sendiri, lebih menyakitkan. Apalagi dia akan sering melihat Nayla dan Ilham berduaan nanti. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Takdir tidak ingin mempersatukan mereka.

"Zam, maafin gue. Gue benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan cinta kita." Nayla menangis.

Azzam mengangguk pelan.

"Gue benar-benar terpaksa, Zam."

Untuk yang kedua kalinya, Ilham mendengar kata itu.

"Iya, Nay. Aku ngerti, kita sama-sama tidak berdaya." Azzam pun menangis.

Memang sakit sih melihat orang yang barus beberapa menit menjadi istri kita saling menangisi dan mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain. Tapi, bagiamana pun juga, Ilham membiarkan Azzam dan Nayla mencurahkan perasaan mereka. Mungkin setelah ini, mereka sadar akan status di antara mereka.

Saat Azzam dan Nayla akan masuk, Ilham segara masuk.

"Nayla, sayang. Kami pulang dulu," ucap Ummi Aminah.

Nayla mengangguk.

Setelah berpamitan pada besannya, mereka pun pulang.

"Kalian berdua istirahatlah," titah Mamah Dita.

"Iya, Mah," jawab Ilham.

Nayla dan Ilham pun naik ke atas menuju kamar Nayla. Nayla membuka pintu kamarnya.

"Silahkan masuk," ucapnya.

"Terimakasih," ucap Ilham.

Ilham masuk, sedangkan Nayla masih berdiri di sana sembari memegang daun pintu.

"Apa kamu mau berdiri terus di sana?"

"A--aku---

"Kamu tenang saja, aku tidak bakalan gigit, kok."

Nayla pun dengan ragu menutup pintu. Tapi Ilham segera menutupnya lalu menguncinya. Seketika, tubuh Nayla gemetar, jantungnya pun bedetak kencang karena merasa takut.

'Apa dia mau mengambil haknya malam ini juga,' batinya.

"Kamu tidak jangan takut gitu, aku 'kan sudah bilang, aku gak bakalan gigit kamu."

Nayla hanya diam saja.

"Baiklah, kamu tidur di kasur. Biar aku tidur di sofa ... apa aku boleh meminjam satu bantal dan juga selimut?"

Nayla mengangguk, lalu mencari selimut di dalam lemari dan memberikannya pada Ilham.

"Terimakasih."

Ilham menaruh bantal di sofa lalu membaringkan tubuhnya di sana. Sedangkan Nayla membaringkan tubuh mungilnya di tempat tidur yang sudah di penuhi oleh kelopak mawar merah.

Sepi sunyi, itulah yang ada di kamar pengantin yang baru menikah beberapa menit yang lalu. Setelah pembicaraan yang tadi, tidak ada di antara mereka berdua yang membuka suara. Lebih tepatnya, hanya Ilham yang bicara, sedangkan Nayla hanya menganggukkan kepala saja.

Nayla mau pun Ilham tidak memejamkan mata. Nayla sibuk dengan pikirannya, begitu pun dengan Ilham.

'Apa saat gue tidur nanti, dia akan mengambil haknya?' batin Nayla.

'Gue tidak boleh sampai tertidur,' lanjutnya.

Hingga, pukul satu dini hari, mereka berdua baru memejamkan mata. Itu pun mereka tidak sadar kalau mereka tertidur.

Pukul tiga, Ilham terjaga untuk melaksanakan sholat malam. Ilham pergi ke kamar mandi untuk berwudhu. Selesai berwudhu, melihat Nayla yang tertidur pulas, karena merasa tidak enak untuk membangunkannya, Ilham akhirnya sholat sendiri.

Selesai sholat, Ilham mengambil mushab lalu mulai membacanya sembari menunggu azan subuh. Sebagai seorang Ustadz, Ilham sudah terbiasa melakukan itu. Azan subuh pun berkumandang dan Ilham menyudahinya.

"Sudaqollahul'azim."

Ilham menutup mushab tersebut lalu menaruhhnya di tempat semula. Ilham mendekati tempat tidur lalu memvangunkan Nayla untuk sholat subuh.

"Nay, Nayla, bangun." Ilham mengguncang pelan tubuh Nayla.

"Hmm." Nayla malah menutup dirinya dengan selimut.

"Nayla, ini sudah subuh, ayo bangun!"

"Iya, bentar," ucapnya dari balik selimut.

"Bentar kapan? Nanti subuhnya keburu habis, ayo bangun."

"Bawel banget sih! Aku ngantuk tau!"

"Astagfirullah!"

Ilham geleng-geleng kepala. Sepertinya Nayla sangat sulit sekali di bangunkan, ini adalah tugas baru untuk Ilham harus ekstra sabar membangunkan Nayla.

"Nay, nanti tidur lagi. Ayo buruan bangun!"

"Iyaa! Bawel dech ah!"

Nayla membuka selimut lalu merubah posisinya menjadi duduk, tapi kedua matanya masih terpejam.

"Buruan sana!"

"Ini juga mau pergi." Nayla membuka matanya lalu turun dari tempat tidur.

"Buruan, aku tungguin."

Nayla tidak menjawab, ia berlalu masuk ke kamar mandi.

Satu menit ... satu menit tiga puluh detik ... dua menit, Nayla masih belum keluar.

"Nay, buruan nanti subuhnya keburu habis." Ilham sedikit teriak.

Tiga menit sudah berlalu, tapi Nayla belum juga keluar dari kamar mandi. Ilham yang tadinya duduk di atas sajadah menunggu Nayla, ia pun beranjak lalu memasuki kamar mandi. Saat di sana, Ilham sangat kaget melihat Nayla.

"Astagfirullah, Nayla!"

....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel