Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Ampun Pak

"Sa--saya ... saya boleh ngomong berdua dulu sebentar dengan Mamah, saya?"

"Silahkan," ucap Ummi Aminah.

"Permisi sebentar ya," ucap Mamah Dita.

Mamah Dita dan Nayla pergi ke dapur.

"Ada apa sih, Nayla?"

"Mah, Nayla tidak mau menikah dengan Pak Ilham, Nayla sukanya sama Azzam, Mah."

"Astgafirullah, Nayla! ... Nay, Tante Aminah dan Om Hasan sudah sepakat menjodohkan putra kedua mereka dengan kamu."

"Kenapa harus Dosen kulkas itu? Kenapa tidak Azzam aja yang di jodohkan dengan Nayla?"

"Nayla, memang apa salahnya? Ilham itu orangnya tampan, Dosen pula."

"Tapi dia itu sikapnya dingin, Mah. Berbeda dengan Azzam, Azzam orangnya baik, lembah lembut dan Nayla suka dengan sikap Azzam yang seperti itu, Nayla merasa nyaman."

Mamah Dita memegang kedua bahu Nayla, "Nayla, dengar Mamah. Walau sikap Ilham dingin sekarang, mungkin setelah menikah denganmu, Ilham akan berubah."

"Pokoknya Nayla gak mau, Mah. Nayla gak cinta sama dia."

"Nayla, cinta akan tumbuh setelah kalian menikah."

"Gak mau! Nayla tetap gak mau apa pun itu alasannya!"

"Oke! Kalau kamu tidak mau, kamu bilang tidak mau pada mereka, tapi Mamah tidak bisa membayangkan, Papah kamu pasti akan sangat malu dan kecewa. Ya sudah, ayo."

Mamah Dita pergi dengan di ikuti Nayla dari belakang.

"Maaf ya lama." Mamah Dita duduk dan di susul Nayla.

Nayla melihat Azzam, pandangan mereka berdua bertemu. Setelah seperkian detik, Nayla memutuskan kontak mata dengan Azzam.

"Sa--saya .... Nayla meremas jari jemarinya. "Saya menerima perjodohan ini."

Azzam memejamkan matanya, dadanya terasa sesak mendengar ucapan Nayla. Hatinya hancur berkeping-berkeping, cinta yang selama ini ia pendam lenyap seketika sebelum ia memulainya. Namun, ia tidak bisa melakukan apa pun, ini sudah keputusan Nayla, ia hanya bisa bersabar dan ikhlas menerima kenyataan.

"Alhamdulillah," ucap kedua orang tua mereka.

Setelah Nayla setuju, pernikahannya dengan Ilham pun di tetapkan tinggal satu minggu lagi. Sebenarnya, hati Nayla ingin menolak karena pernikahannya tiggal satu minggu lagi, tapi bibirnya begitu kelu sehingga ia hanya bisa pasrah dengan keputusan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Ilham. Lain halnya dengan Ilham, Ilham biasa-biasa saja, apa pun itu keputusan kedua orang tuanya, itu adalah yang terbaik bagi dirinya.

Selesai muswarah pernikahan Nayla dan Ilham, mereka menuju meja makan untuk makan malam. Setelahnya, Ilham, Azzam dan kedua orang tuanya pamit untuk pulang.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam."

Nayla langsung ke atas menuju kamarnya, Nayla membuang dirinya di atas tempat tidur dan menangis.

Nayla tidak mau menikah dengan Ilham, tapi karena tidak ingin membuat kedua orang tuanya merasa malu dan kecewa, Nayla terpaksa menerimanya.

Lalu bagaimana dengan cintanya pada Azzam?

Apa Nayla bisa mencintai Ilham sementara hatinya untuk Azzam?

Enathalah, hanya waktu yang bisa menjawab semua itu.

*****

Pagi menyapa, Nayla masih terlelap dari tidurnya. Karena semalam Nayla tidur jam satu dini hari, itu pun karena dirinya tidak tahu kalau dirinya tertidur. Selesai sholat subuh tadi, Nayla kembali tidur karena ia masih sangat ngantuk.

"Nayla, bangun! Apa kamu tidak kuliah?" Mamah Dita menguncang tubuh Nayla pelan.

"Kuliah, Mah," ucap Nayla dengan mata yang masih terpejam.

"Bangun kalau begitu!"

"Bentar, Mah. Lima menit lagi."

"Nayla, ini sudah jam delapan, ayo bangun!"

Nayla merubah posisinya menjadi duduk dan menguap lalu mengucek-ngucek kedua matanya.

"Mandi sana!"

"Iya, Mah." Nayla turun dari tempat tidur lalu melangkah ke kamar mandi.

"Anak itu, sebentar lagi mau nikah tapi masih aja bangun kesiangan," dumel Mamah Dita.

Selesai mandi, Nayla bersiap-siap untuk pergi kuliah, pagi ini Nayla masuk jam sembilan, jadi tidak terlalu buru-buru.

Selesai bersiap-siap, Nayla turun ke bawah untuk sarapan.

"Papah, sudah berangkat ke kantor, Mah?"

"Iya, sayang."

Nayla memakan sarapannya.

Selesai sarapan, Nayla berpamitan pada Mamah Dita.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam."

Nayla langsung masuk ke dalam taksi yang sudah ia pesan sebelumnya lewat online. Nayla naik taksi karena motornya masih di bengkel.

Selang beberapa menit, Nayla sampai di kampus, Nayla langsung menuju kelasnya. Nayla mendaratkan bokongnya di tempat duduknya.

"Lesu amat neng? Ada apa?"

"Entahlah, Lun. Gue rasanya tidak semangat hari ini untuk kuliah."

"Kalau tidak semangat, kenapa masuk?"

Nayla tidak menanggapi ucapan Luna. Nayla melipat kedua tangannya di atas meja lalau menenggelamkan wajanya di lipatan kedua tangannya.

"Assalamualaikum," ucap Ilham.

"Wa'alaikum salam," jawab mereka semua, kecuali Nayla.

Entah gadis cantik itu tertidur atau sedang apa sehingga tidak menjawab salam dari Ilham.

"Suutt, Nayla," panggil Luna pelan.

Nayla tidak menjawab.

"Nayla," panggil Luna lagi.

Tetap Nayla tidak menjawab.

'Tamatlah riwayat lho, Nay,' batin Luna, karena Ilham melangkah ke arah tempat duduk Nayla.

"Ehem!" Ilham berdehem.

Nayla tidak mengangkat kepalanya juga. Mungkin gadis itu tertidur sehingga tidak mendengarnya.

Ilham menyentuh lengan Nayla menggunakan bolpoin.

"Apaan sih, ganggu aja dech lho, Lun!" ucap Nayla masih dengan posisinya.

Ilham menyentuh lagi lengan Nayla dengan bolpoin.

"Luna, jangan jahil dech! Gue ngantuk!" Nayla enggan untuk bangun.

Ilham lagi-lagi menyentuh lengan Nayla. Dan kali ini Nayla sangat kesal, karena mengira Luna telah mengusik tidurnya.

"Lho! A--- Nayla tidak menerus kata-katanya kala melihat Ilham yang berdiri di dekat mejanya.

Ilham menatap Nayla dengan tatapan tajam, "Keluar!"

"Tapi, Pak. Saya 'kan tidak terlambat."

"Keluar!"

Nayla dengan kesal pun mengambil tasnya lalu keluar. Nayla lupa kalau dirinya tidak di perbolehkan mengikuti jam pelajaran Ilham.

"Iiihhh!! Rasanya pengen gue santet tuh Dosen kulkas! Awas aja kalau nanti kita sudah nikah, gue tidak akan kasih haknya! ... Dosen yang kayak gitu, enaknya di apain ya?" Nayla berpikir.

"Ahaaa," ucap Nayla sembari menjentikkan jarinya.

Nayla pergi ke ruang pribadi Ilham, sampai di sana Nayla membuka pintu dan masuk lalu menutup pintu kembali. Nayla mengeluarkan lem dari dalam tasnya lalu mengoleskan lem tersebut di kursi Ilham. Dari luar terdengar ada suara kaki, Nayla panik dan melihat tempat untuk bersembunyi. Nayla bersembunyi di balik gorden.

Cekleeeekk!

Melihat ada hal yang aneh dari balik gorden, Ilham mengerutkan keningnya. Ilham melangkah perlahan mendekati gorden tersebut. Di balik gorden, Nayla sangat takut Ilham mengetahui dirinya di sana.

'Mampus gue kalau Dosen kulkas itu tahu gue di sini,' batin Nayla.

Ilham membuka gorden tersebut dan melihat Nayla yang berdiri di sana. Nayla cengengesan.

"Lancang sekali kamu sudah masuk ke ruang pribadi, saya!" Wajah Ilham terlihat menyeramkan, Nayla pun menelan ludahnya.

"Sedang apa kamu di sini, haahh?"

Nayla diam dan menunduk.

"Jawab!!"

Nayla sangat kaget.

"Sa--saya ....

"Jangan karena kamu calon istri saya, kamu seenaknya main masuk ke ruang pribadi, saya!"

"Ma--maaf, Pak. Sa--saya ... saya cuma ---

"Cuma apa?" bentak Ilham.

Lagi-lagi Nayla kaget.

"Atau kamu sedang melakukan sesuatu untuk mengerjai, saya? Benar begitu?"

Nayla terdiam.

"Jawab!!"

"Iya, Pak," jawab Nayla cepat.

Ilham melihat tangan Nayla yang menggenggam sebuah benda.

"Tunjukkan apa di tangan kamu itu?"

"I--ini, bukan apa-apa, Pak."

"Tunjukkan!!"

Nayla memperlihat lem yang ada di tangannya tanpa melihat Ilham. Nayla sangat takut melihat wajah serem Ilham.

Ilham mengambil lem dari tangan Nayla dan memperhatikannya.

"Lem? Untuk apa lem ini, haahh?"

"Ma--maaf, Pak. Sa--saya mengolesnya di kursi Bapak. Ma--maafkan saya, Pak."

"Kamu duduk di sana!"

Nayla mengangkat wajahnya dan menatap Ilham, "Ta-tapi, Pak."

"Duduk!!"

Dengan pelan Nayla melangkah ke arah kursi Ilham, Nayla dengan ragu mendaratkan bokongnya di sana.

Nayla salah sudah ngerjain Ilham, bukan Ilham yang di kerjain, malah dia sendiri yang ngerjain dirinya sendiri. Itu ibarat senjata makan tuan. Rok Nayla pun sudah menempel dan kalau ia bangun, roknya akan sobek. Lalu bagaimana dia bisa pulang? Dan kalau Ilham pulang gimana? Tidak mungkin dia terus berada di ruangan itu sendirian. Belum lagi dapat hukuman dari Ilham karena sudah berniat ngerjain Ilham. Oohh tidaakk! Seharusnya sebelum berbuat, di pikirin dulu resikonya jangan karena kesal dan marah, lalu melakukan sesuatu yang menjadi masalah pada diri sendiri dan orang lain.

Ilham duduk di sofa dengan memainkan laptopnya, entah apa yang pria tampan itu kerjakan. Hingga sudah tiba waktu zuhur, Ilham pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Selesai berwudhu, Ilham masuk ke kamar pribadi yang ada di ruangannya untuk melaksanakan sholat zuhur.

"Gue harus apa? Gak mungkin gue bangun, bisa-bisa rok gue sobek. Udah gitu gue gak bawa jaket lagi untuk nutupinnya. Matilah lho, Nayla," gumamnya.

"Seharusnya, gue mikir-mikir dulu sebelum melakukan ini, lho memang bodoh, Nayla. Sekarang lho malah terperangkap di jebakan lho sendiri," lanjutnya.

Ilham ke luar dari kamar pribadinya.

"Kamu tidak sholat?" Nada bicara Ilham terdengar biasa.

"Sholat, Pak. Tapi ini ....

"Makanya, sebelum ngerjain orang itu pikir-pikir dulu, kena sendiri 'kan imbasnya."

"Iya, Pak. Maaf ... lalu saya harus gimana, Pak?"

"Ya tidak gimana-mana? Duduk aja terus, itu pun kalau kamu mau nginap di sini."

"Nginap?" Nayla kaget.

Tidak mungkin Nayla tidur di sana, apalagi dengan cara duduk seperti itu.

"Iya."

"Lalu, Bapak?"

"Saya, akan pulang."

"Sudah sana, bangun dan pergi sholat!"

"Tapi ini, gimana? Kalau saya bangun, rok saya akan sobek, Pak."

"Tutup dengan jaket, kamu."

"Saya tidak bawa jaket, Pak."

Ilham menghela nafas, "Pakai jaket saya itu."

Nayla mengangguk. Nayla pun berdiri dengan perlahan dan terdengar suara sobekan roknya.

Sreeeekkk!!

Ilham menahan tawanya, sedangkan Nayla tersenyum kikuk. Malu? Tidak usah di tanyakan lagi, jelas Nayla sangat malu sekali. Apalagi suara sobekan roknya terdengar oleh Ilham, calon suaminya. Dan Ilham juga terlihat sedang menahan tawanya.

Nayla dengan cepat meraih jaket Ilham yang ada di atas meja lalu mengikatnya di pinggang.

"Terimakasih, Pak. Dan saya minta maaf sekali lagi."

"Ya sudah, sana!"

"Iya, Pak. Saya permisi, Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam."

Setelah kepergian Nayla, Ilham tersenyum sembari geleng-geleng kepala.

"Ada-ada saja dia, tapi kasihan sekali tadi aku bentak-bentak dia," gumamnya.

Selesai sholat, Nayla duduk di undak-undakan musholla.

"Tadi itu benar Pak Ilham atau bukan sih? Kok beda sekali dengan sebelumnya," gumamnya tidak percaya.

"Ah, bodo amat. Bukan urusan gue," lanjutnya kemudian.

Nayla bangkit dan pergi dari musholla. Nayla mau ke kantin untuk makan siang. Sampai di kantin, Nayla melihat sudah ada Luna di sana.

"Dari mana aja lho, Nay?"

"Ceritanya panjang, Lun. Dan pasti lho gak akan percaya kalau gue cerita."

"Memangnya ada apa?"

"Nanti dech gue cerita, gue mau makan dulu, laper." Nayla memesan makanan dan minuman.

Tak lama, pesanan datang.

"Terimakasih, Bik."

"Iya, neng."

Luna tidak sengaja melihat jaket yang di duduki Nayla.

"Jaket siapa tuh, Nay? Azzam, ya?"

Nayla menggeleng, "Bukan, jaket Pak Ilham," ucap sambil memasukkan bakso ke dalam mulutnya.

Luna langsung menyemprotkan makanan yang ada di dalam mulutnya karena kaget.

"Yang benar aja? Gimana ceritanya jaket Pak Ilham ada di lho?"

"Makan dulu, Luna. Gue laper."

"Iya sudah, cepat habiskan lalu cerita sama, gue." Luna tidak sabar ingin segara tahu.

"Alhamdulillah," ucap Nayla setelah kenyang.

"Sekarang cerita, ayo."

"Bentar dululah, Lun. Gue turunin bakso yang gue makan tadi. Lagian lho penasaran banget sih."

"Gimana gue gak penasaran, tiba-tiba jaket Pak Ilham ada sama, lho."

"Ya sudah, kita cari tempat yang sepi, disini gak enak di dengar orang."

Luna dan Nayla meninggalkan kantin dan pergi ke tempat yang sepi. Sampai di sana, kedua gadis cantik itu duduk di kursi yang sudah tersedia di sana.

"Gimana?"

"Sabarlah, gak sabaran banget sih lho jadi orang!"

Nayla melihat sekeliling setelah semua di rasa aman, Nayla menceritakan semuanya.

"Hahahahahahahaa, makanya jangan jahil, kena sendiri kan imbasnya."

"Iya, gue juga nyesal banget sudah lakukan itu, dan gue sangat malu banget sama Pak Ilham."

"Tapi-tapi, kok Pak Ilham bisa baik begitu sama, lho? Udah gitu ngomongnya juga tidak seperti biasanya."

"Gue juga bingung, Lun. Mungkin aja Pak Ilham kemasukan jin baik setelah sholat, makanya bisa bicara baik."

"Mungkin juga."

Luna menoleh ke arah Nayla yang terlihat lesu, "Ada apa,Nay?"

Nayla menghela nafas, "Gue ... gue akan segera nikah, Lun."

"What? Nikah? ... dengan siapa?"

"Pak Ilham."

"Haaahh!! Pak Ilham? Yang benar aja, lho?"

Nayla mengangguk tidak semangat.

"Gimana ceritanya?"

"Gue di jodohkan dengan Pak Ilham."

"Lalu, gimana dengan Azzam?"

"Entahlah, Azzam juga semalam ikut ke rumah gue dan menyaksikan perjodohan gue dengan Ilham, dan apa lho tahu, Azzam adiknya Pak Ilham?"

"Apa? ... Azzam adiknya Pak Ilham?"

Nayla mengangguk.

"Terus apa lho terima perjodohan itu?"

Nayla mengangguk lagi.

"Kenapa lho terima?"

"Gue, terpaksa."

Mereka berdua tidak sadar kalau ternyata pembicaraan mereka berdua terdengar oleh seseorang yang berada tak jauh dari sana.

....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel