1. Ustazku Hyper
Seorang gadis yang memakai hijab baru berusia dua puluh tahun tengah mencari kamar sahabatnya yang lagi menginap di sebuah . Gadis itu bernama Nayla Az Zahra. Nayla bertubuh mungil, mata indah, bulu mata lentik, hidung mancung, pipi chubby, bibir tipis merah alami dan dagu lancip namun memiliki belahan di tengah.
"Mungkin ini kamarnya. Assalamualaikum," ucap Nayla sembari mengetuk pintu.
"Luna," panggilnya kala Luna sang sahabat tidak menjawab salamnya dan tidak membuka pintu kamar.
"Apa Luna lagi mandi? Lun, gue masuk ya?" Nayla memutar gagang pintu. Setelah pintu terbuka Nayla pun masuk.
"Lun, lho dimana?"
Nayla mencari sahabatnya itu di kamar mandi kala tidak mendapati Luna di tempat tidur. Namun, baru sampai di depan pintu kamar mandi, seorang laki-laki membuka pintu kamar mandi.
"Astagfirullah!" Nayla segera membalikkan badan membelakangi laki-laki itu.
Nayla sangat kaget karena laki-laki itu hanya menggunakan handuk yang melingkar di bagian pinggangnya. Apalagi Nayla sempat melihat tubuh atletis laki-laki itu.
"Lho siapa?" tanya Nayla.
"Kamu yang siapa? Dan kenapa kamu bisa ada di sini?" Laki-laki itu bertanya balik.
"Dimana sahabat gue, Luna?" Nayla kembali bertanya.
"Pertanyaan macem apa itu? Saya saja tidak kenal dengan kamu apalagi sahabat kamu itu."
"Jangan bohong lho! Lho pasti sudah melakukan yang tidak-tidak pada sahabat gue! Cepat katakan dimana sahabat gue?"
"Astagfirullah. Memang kamu pikir saya laki-laki apaan sehingga kamu menuduh saya tanpa ada bukti."
Laki-laki itu melangkah. "Heehh! Mau ngapain lho? Lho jangan macem-macem!" Nayla merasa ketakutan. Nayla pikir laki-laki yang hanya menggunakan handuk itu akan berbuat macem-macem pada dirinya. Padahal, laki-laki itu ingin mengambil bajunya yang ada di lemari. Nayla yang salah sangka pun berteriak meminta tolong.
"Tolong! Tolong!"
"Heeehh! Apa yang kamu lakukan? Kalau orang-orang sampai datang dan salah paham melihat kita dalam satu kamar gimana?"
Tanpa menggubris ucapan laki-laki itu, Nayla tetap saja berteriak meminta tolong.
"Tolong! Tolong!"
Tiga orang laki-laki yang ada di kamar Hotel tersebut pun berhamburan menuju sumber suara. Saat ketigaorang itu sampai di sana, mereka melihat seorang gadis dan laki-laki dalam satu kamar. Apalagi mereka melihat laki-laki itu yang hanya memakai handuk saja, sehingga mereka pada salah paham. Mereka mengira laki-laki itu ingin melakukan yang tidak-tidak apa Nayla. Laki-laki itu segera mengambil baju dan sarung lalu memakainya.
"Apa yang kamu akan lakukan pada gadis ini?"
"Tidak Pak! Ini salah paham."
"Salah paham gimana? Sudah jelas kamu ingin mel**ehkan gadis ini."
"Tidak, Pak! Ini tidak seperti yang kalian lihat."
Laki-laki itu membela dirinya karena memang benar laki-laki itu tidak ingin me**cehkan Nayla. Niat saja tidak ada sedikit pun dalam hatinya, apalagi ingin melakukan hal sangat terlarang itu.
"Sudah bawa saja ke kantor polisi."
"Iya bawa saja, Pak. Dia mau me**cehkan saya," ucap Nayla.
"Kamu jangan asal fitnah! Apa kamu tidak tahu, fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan!"
Luna yang baru saja kembali dari luar langsung kesana melihat ada keramain di kamar 111.
"Nayla! Lho ngapain di sini?"
"Luna! ... bukankah ini kamar lho?"
"Astaga, Nay. Maafin gue, gue lupa kasih tau no kamar gue."
Saat Luna menyuruh Nayla kesana, Luna hanya kasih tau nama hotelnya saja.
"Jadi, ini bukan kamar lho?"
"Bukan, kamar gue 115."
"Lho gimana sih, Lun?"
"Sorry."
"Lalu ini gimana? Bisa-bisa kena perkara gue," bisik Nayla pada Luna.
"Ya maaf, gue juga gak tahu harus gimana?"
"Mmm ... semuanya mohon maaf ya. Ini tidak seperti yang kalian lihat, ini hanya salah paham aja," ujar Nayla.
"Tidak bisa begitu, tadi kamu bilang, kamu mau dile*ehkan."
"Tidak-tidak! Laki-laki ini tidak mau me**cehkan saya. Sayanya aja yang salah masuk kamar. Maaf."
Beruntung setelah mendengar pengakuan Nayla, ketiga orang itu pun pergi kembali ke kamar masing-masing.
"Maafin sahabat saya ya."
"Lain kali kalau mau masuk kamar orang itu lihat-lihat atau ucap salam terlebih dahulu!" Suara laki-laki itu terdengar dingin.
"Dan satu lagi, jangan asal nuduh dan fitnah!" tambahnya.
***
Nayla dan Luna pergi meninggalkan kamar laki-laki itu. Kini sekarang mereka berdua sudah berada di kamar 115 kamar Luna.
"Gara-gara lho, gue jadi salah masuk kamar!" Nayla kesal pada Luna.
"Sorry, Nay! Gue lupa kasih tau lho no kamar gue." Luna merasa bersalah.
"Sorry-sorry! Apa lho tau? Gue sampai nuduh dan fitnah tuh orang!"
"Ya sorry Nay, namanya juga gue lupa. Mau 'kan lho maafin gue?" Luna memelas.
Nayla menghela nafas. "Oke, gue maafin."
*****
Siang harinya, Nayla dan Luna berangkat bareng ke kampus. Karena siang ini mereka berdua ada jam ngampus. Sampai di kampus mereka langsung menuju kelas, mereka mendaratkan bokong di tempat duduk mereka. Beberapa dari teman kelas mereka sedang bergosip tentang Dosen baru yang akan mengajar di kampus mereka.
"Eh, apa kalian sudah tahu, ada Dosen baru. Kata orang-orang Dosen itu masih muda dan sangat tampan," ucap salah satu dari mereka.
"Iya, gue juga dengarnya begitu," timpal satunya lagi.
Tak lama kemudian Dosen yang mereka bicarakan tadi datang.
"Assalamualaikum, selamat siang."
"Wa'alaikum salam, siang juga, Pak."
Nayla sangat kaget melihat sosok orang tersebut.
'Itu 'kan orang yang tadi pagi. Jadi dia Dosen baru itu,' batin Nayla.
Wajah Nayla seketika pucat. Orang yang ia tuduh dan fitnah adalah Dosennya.
"Nay, lho baik-baik aja 'kan?" tanya Luna yang melihat wajah Nayla pucat.
"Iya, gue baik."
"Baiklah, sebelum kita mulai materi pelajarannya, saya mau memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya Muhammad Ilham Ibrahim. Saya Dosen baru di sini, saya lulusan dari Mesir. Walau usia saya dan kalian beda-beda tipis, saya harap kalian sedikit bisa bersikap sopan. Dan saya tidak akan menolerir kalau ada dari kalian yang datang terlambat di jam saya. Apa kalian paham?" tegas Ilham.
"Paham, Pak."
"Ada yang perlu di tanyakan?"
"Tidak ada, Pak."
"Kamu yang di tengah, ada pertanyaan?" tanya Ilham pada Nayla. Karena Ilham melihat Nayla sepertinya tidak pokus.
"Sa--saya maksud, Bapak?"
"Iya, siapa lagi kalau bukan kamu? Apa kamu sudah paham yang saya katakan tadi?"
"Sa--saya paham, Pak."
"Baiklah, kalau begitu mari kita mulaikan pelajarannya."
Ilham mulai menjelaskan materi pelajaran dengan singkat padat dan jelas.
"Ada pertanyaan?"
"Tidak ada, Pak."
"Kalau begitu besok kita lanjutkan lagi. Assalamualaikum"
"Wa'alaikum salam."
"Huuuufff! Akhirnya selesai juga." Nayla merasa sangat lega dengan berakhrinya jam mengajarnya Ilham.
"Nay, lho kenapa? Kok wajah lho terlihat pucat tadi?"
"Gak kenapa-napa kok, Lun. Mungkin karena gue belum makan siang, kantin yok, gue laper nih."
"Ya udah, ayok."
Sampai di kantin, Nayla dan Luna duduk di bangku yang kosong.
"Nay, lho mau pesen apa?"
"Yang biasa aja Lun."
"Oke, tunggu sebentar ya, gue pesen dulu."
Tak lama kemudian, Luna membawa dua mangkok bakso serta dua es teh manis. Nayla suka sekali makan bakso. Bakso apa saja yang terpenting bakso, bisa di bilang bakso adalah makanan favorit Nayla.
Saat tengah menikmati baksonya, ada seorang mahasiswi menghampiri Nayla.
"Nay, lho di panggil Pak Ilham."
Nayla langsung tersedak mendengar ucapan mahasiwi itu.
Uhuk! Uhuk!
Nayla mengambil es teh manisnya lalu meminumnya.
"Nay, lho tidak apa-apa 'kan?" tanya Luna.
"Tidak apa-apa, Lun." Nayla mengusap dadanya yang terasa panas.
'Apa Pak Ilham manggil gue karena hal tadi pagi,' batin Nayla.
"Terimakasih ya."
"Iya, sama-sama."
***
"Ada apa Pak Ilham manggil lho, Nay?"
"Gue juga gak tau, Lun."
"Ya udah, ayo gue temanin lho kesana."
"Biarkan saja udah."
"Kenapa? Siapa tahu penting."
"Malas gue."
Nayla pun tidak pergi menemui Ilham. Bukan tanpa sebab Nayla tidak mau pergi, Nayla pikir nanti kalau dirinya pergi ke sana, Pak Ilham membahas soal kejadian tadi pagi itu, dan kalau semua teman kampusnya tahu, mau di taruh dimana mukanya. Pasti dirinya akan sangat malu sekali.
*****
"Hiiisstt! Kenapa gue terus mikirin tuh Dosen sih!" Nayla sangat kesal pada dirinya sendiri, pasalnya bukan karena mempunyai rasa suka pada Ilham, tapi karena dia waktu itu sempat melihat tubuh atletis Ilham.
"Pergi! Pergi!" Nayla memukul pelan otaknya, mengusir bayangan tubuh Ilham dari pikirannya.
Nayla membaringkan tubuh mungilnya lalu menutup wajahnya dengan selimut. Tak lama, Nayla membuka kembali selimut yang menutupi wajahnya.
"Kira-kira besok dia marah gak ya karena gua gak menemuinya tadi siang? ... ah bodo amat!"
Nayla kembali menutup wajahnya dengan selimut.
Sementara di kamar hotel seorang laki-laki yang baru selesai membersihkan dirinya. Saat hendak memakai pakaiannya, ia teringat pada gadis yang pernah menuduhnya yang tidak-tidak. Siapa lagi laki-laki itu kalau bukan Ilham.
"Ada-ada saja," gumam Ilham melanjutkan memakai pakaiannya. "Tapi kenapa dia tidak menemui saya tadi siang? Awas aja kamu besok!"
Tiba-tiba suara ponsel Ilham berbunyi. Ilham mengambil ponselnya lalu mengangkatnya.
"Assalamualaikum, Ummi."
[ ..... ]
"In shaa Allah, besok sore setelah Ilham selesai ngajar, Ummi."
[ ..... ]
"Wa'alaikum salam."
Ilham meletakkan kembali ponselnya di atas tempat tidur lalu naik dan membaringkan tubuh kekarnya.
*****
Pagi harinya, Nayla bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Setelah rapi, Nayla mengambil tasnya lalu turun ke bawah untuk sarapan.
"Pagi, Mah, Pah." Nayla menarik kursi lalu mendaratkan bokong.
"Pagi, sayang."
Tak lama kemudian, mereka selesai sarapan. Nayla berpamitan pada kedua orang tuanya dan mencium tangan kedua orang tuanya secara bergatian.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Nayla menaiki motor meticnya dan melajukannya menuju kampus. Nayla berdecak pelan karena jalan raya yang ia lewati sangat macet.
"Harusnya gue tidak lewat jalan ini."
Sudah hampir setiap hari jalan yang Nayla lewati kena kemacetan tapi entah kenapa Nayla suka sekali melewati jalan tersebut. Sebenarnya kalau Nayla mau terbebas dari kemacetan, ada juga jalan yang lain, tapi jaraknya lumayan jauh dan rawan akan pembegalan di jalan tersebut karena jalan tersebut sangat sepi dan jarang sekali ada kendaraan yang lewat di sana. Sedangkan jalan yang ia lewati saat ini lumayan dekat, memakan waktu sekitar dua puluh lima menit, tapi sangat macet dan itu yang bisa memakan waktu lama.
"Kalau seperti ini, bisa-bisa gue terlambat."
Mau tidak mau, Nayla putar balik arah. Nayla akan melewati jalan yang satunya lagi. Nayla sangat ketakutan tapi ia tetap melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Ia berdoa dalam hati, semoga ia selamat sampai tujuan. Nayla merasa lega karena ia sampai kampus dengan selamat.
Setelah motor maticnya di parkirkan di tempat parkiran, Nayla bergegas menuju kelasnya. Ia tahu pasti dia sudah terlambat. Sampai di depan pintu kelas, Nayla mengucap salam.
"Assalamualaikum, Pak. Maaf saya terlambat." Nayla melangkah masuk dengan pelan.
"Siapa yang suruh kamu masuk?" Suara Ilham terdengar menyentak.
"Maaf, Pak. Tadi sa--- belum sempat Nayla menjelaskan alasan keterlambatannya, Ilham langsung memotong perkataan Nayla.
"Saya tidak mau tahu apa pun itu alasan kamu, bukankah saya sudah bilang sebelumnya, saya paling tidak suka ada mahasiwa atau pun mahasiswi yang terlambat di jam saya!"
"Ta---
"Kamu dengar apa tidak?!"
"Iya, Pak."
"Ya sudah, tunggu apa lagi? Keluar!"
"Pa---
"Keluar!"
Nayla pun keluar dengan wajah yang kesal. Nayla menyumpah serapah Ilham karena tidak mau menolerir sedikit saja keterlambatannya.
"Gue sumpahin dia tidak nikah-nikah selama hidupnya agar jadi perjaka tua! Dasar dosen nyebelin! Baru jadi Dosen aja sudah seenaknya saja!" Nayla sangat kesal.
Dalam kekesalannya, ada seseorang laki-laki yang menghampiri Nayla.
"Minum dulu agar tidak marah-marah gitu." Laki-laki itu menyodor air aqua pada Nayla.
Nayla menoleh, lalu mengambil air tersebut daril laki-laki itu. "Terimakasih." Nayla membuka tutup air itu lalu meminumnya.
"Ada apa? Kenapa kamu marah-marah gitu?"
"Gue lagi kesal aja sama Dosen baru itu."
"Oohh, Pak Ilham maksud kamu?"
"Iya."
"Belagu banget jadi Dosen! Apa lho tahu, dia tidak mau memberikan gue waktu sedikit pun untuk menjelaskan keterlambatan gue."
"Memang kamu terlambat kenapa?"
"Macet tadi di jalan."
"Oohh." Laki-laki itu hanya ber oh saja."
Nayla dan laki-laki itu mengobrol cukup lama, hingga jam istirahat Nayla dan laki-laki itu masih mengobrol.
"Nay, ternyata lho disini, gue cariin kemana-mana juga," ucap Luna yang baru datang.
"Ya sudah, aku pergi dulu ya, Nay."
"Iya, sekali lagi terimakasih airnya dan juga sudah menemani gue mengobrol."
"It's oke." Laki-laki itu pun pergi.
Luna duduk di samping Nayla. "Nay, lho ada hubungan apa dengan Azzam?"
"Tidak ada, hanya teman saja."
"Yakin lho tidak ada hubungan apa-apa?"
"Yakinlah, Lun. Tapi ngomong-ngomong Azzam itu sangat baik dan lemah lembut kalau bertutur kata."
"Ciieee! Suka ya sama Azzam?"
Laki-laki yang kasih Nayla air minum tadi itu adalah Azzam Saputra adik dari Ilham. Azzam berusia dua puluh satu tahun putra ketiga dari Ummi Aminah dan Kiyai Hasan. Sedangkan Ilham berusia dua puluh lima tahun anak kedua. Ilham dan Azzam mempunyai kakak perempuan bernama Aisyah Shafira anak pertama. Aisyah Shafira sudah menikah dan sudah memiliki satu anak yang bernama Ajwa Maharani. Suami Aisyah seorang Ustadz yang bernama Ustadz Zaki. Selain jadi Dosen, Ilham juga sebenarnya seorang Ustadz namun, hanya sedikit orang di kampus itu yang tahu kalau dia seorang Ustadz.
"Mungkin, tapi sedikit."
"Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Pepet aja terus si Azzam, kelihatannya Azzam juga menyukai lho."
"Jangan ngacau lho."
"Siapa yang ngacau, Nay. Lagian siapa yang tidak suak sama lho, lho itu cantik banget. Gue aja kalau jadi cowok, gue juga bakalan suka sama lho."
"Hahahaa, lho ini ada-ada saja. Lho juga cantik kali."
"Nayla, Pak Ilham nyuruh lho ke ruangannya," ucap mahasiswi itu.
"Ada apa?"
"Gak tahu, Pak Ilham hanya menyuruh saya bilang itu aja."
"Ya sudah, terima kasih."
"Sama-sama." Mahasiswi itu pergi.
"Lun, temani gue ayo."
"Gak-gak! Gue gak mau berurusan dengan Pak Ilham! Lihat wajahnya yang serem tadi itu aja gue sampai merinding. Iiii! Ngeri, Nay."
"Lho mah gak setia kawan."
"Bukan masalah itu, Nay. Tapi masalah yang satu ini beda, jadi sorry ya."
"Gak asik lho!"
Nayla bangkit dari duduknya dan melenggang pergi meninggalkan Luna.
"Kira-kira Dosen nyebelin itu mau apain gue ya?"
"Awas saja kalau dia sampai macem-macem, tak patahin tulang-tulangnya sampai lebur."
Tanpa Nayla sadari ada orang yang mendengar ucapannya.
"Oh iya? Memang kamu berani?"
"Gak sih sebenarnya."
"Lalu, kenapa kamu mau mematahkan tulang-tulangnya?"
"Gue kesal aja sama tuh Dosen nyebelin bin resek bin kulkas!"
"Ooohh, tapi kenapa kamu sampai memanggilnya seperti itu?"
"Karena dia, Dosen yang paling menyeramkan di kampus ini. Masak tanpa mendengar penjelasan gue, tuh Dosen main suruh gue keluar aja, keterlaluan sekali 'kan tuh Dosen."
"Ooh, jadi karena itu."
"Iya, memang tuh Dosen tidak pantas banget jadi Dosen, udah nyebelin, galak, wajahnya datar dan kalau dia ngomong, dingin banget kayak kulkas. Pantasnya di panggil Dosen kulkas. Gue juga sumpahin tuh Dosen agar tidak nikah-nikah seumur hidupnya, biar jadi perjaka tua!"
Ilham sangat kaget mendengar ucapan Nayla.
"Sudah ngomel-ngomelnya?" Wajah Ilham terlihat datar dan bicaranya terdengar dingin.
Nayla menoleh ke arah sumber suara yang sejak tadi mengobrol dengan dirinya. Nayla melebarkan kedua matanya dan menutup mulutnya dengan tangannya yang menganga.
Pasalnya ia sangat kaget karena sudah mencaci maki Ilham di hadapannya secara langsung.
"Se--sejak kapan Bapak di sini?" Nayla terlihat takut.
"Sejak kamu mencaci maki saya!"
'Mampus gue,' batin Nayla.
***
"Se--sejak kapan Bapak di sini?"
"Sejak kamu mencaci maki saya!"
'Mampus gue,' batin Nayla.
"Ada apa? Kenapa kamu diam?" sentak Ilham.
"Ayo lanjutkan mencaci maki saya!"
Nayla menunduk dengan memainkan ujung hijabnya. Nayla sangat takut untuk menatap wajah Ilham yang terlihat sangat menyeramkan.
"Ikut saya!" titah Ilham melangkah. Namun, baru beberapa langkah Ilham menghentikan langkahnya karena merasa Nayla tidak mengikuti dirinya. Ilham menoleh lalu menggelengkan kepala pelan melihat Nayla masih berdiri di tempat.
"Ngapain kamu masih di sana?"
Nayla dengan wajah yang masih tertunduk melangkah ke arah Ilham, Nayla menabrak Ilham yang masih berdiri di tempat.
Bruk!
"Ma--maaf, Pak."
"Kalau jalan itu lihat-lihat!"
"Ma-af, Pak."
Ilham melangkah di ikuti Nayla dari belakang, tapi di belakang Nayla ingin sekali mencakar Ilham bahkan ingin menendangnya. Kaki Nayla kesandung dengan kakinya sendiri sehingga Nayla terjatuh.
Braakk!!
"Aaaww!" ringisnya.
Itulah yang di namakan karma, karena bersikap kurang ajar pada Dosennya sendiri. Bahkan di bayar secara langsung.
Ilham menoleh ke belakang kala mendengar suara aneh.
"Kamu kenapa?" Ilham ingin sekali rasanya tertawa, tapi ia tahan dan mengunci mulutnya rapat-rapat dan kembali memasang wajah datarnya.
"Ti--tidak, Pak. Tadi tali sepatu saya lepas." Nayla berpura-pura memperbaiki sepatunya agar Ilham tidak curiga kalau dirinya terjatuh.
Ilham berbalik lalu melangkah, Nayla berusaha berdiri menahan rasa sakit di bokongnya dan melangkah mengikuti Ilham dari belakang dengan langkah yang sedikit aneh.
'Untung aja tidak ada orang selain Dosen kulkas itu, kalau ada pasti gue malu banget. Tapi Dosen kulkas itu lihat gak ya tadi? Kalau sampai lihat, aduuuhh malu banget gue,' batin Nayla.
Sampai di depan pintu ruangan pribadinya, Ilham membuka pintu lalu masuk dengan Nayla.
"Duduk!" titah Ilham seraya mendaratkan bokong di kursinya.
Setelah mendapat perintah dari Ilham, Nayla pun duduk di kursi yang di depan meja Ilham.
"Ada apa Bapak manggil saya kemari?"
"Kemarin kenapa kamu tidak menemui saya?"
"Ke--kemarin saya ... saya ....
Nayla bingung mau menjelaskan bagaimana, karena kemarin dirinya sengaja tidak menemui Ilham. Bukan tanpa alasan Nayla tidak menemui Ilham kemarin, karena Nayla takut masalah waktu di kamar hotel itu.
"Kenapa?"
"Saya ... saya ....
"Saya-saya aja dari tadi! Kamu kenapa?" Ilham mulai emosi.
Nayla terdiam dengan kepala yang menunduk.
"Baiklah, karena tadi pagi kamu datang terlambat, ditambah lagi kamu caci maki saya dan soal di hotel yang waktu itu yang tanpa bukti kamu nuduh dan fitnah saya, maka kamu saya hukum!"
Nayla mengangkat kepalanya dan melihat Ilham.
"Saya di hukum, Pak?"
"Iya, saya akan hukum kamu dengan memberikan kamu tugas!"
Ilham menyerahkan beberapa kertas soal pada Nayla sebagai hukumannya. Nayla menerimanya dengan sedikit kasar karena kesal. Nayla melotot melihat kertas soal itu yang tampak banyak sekali.
"Apa ini gak salah, Pak? Soal sebanyak ini?" Nayla tak habis pikir. Menurut Nayla Ilham sangat keterlaluan. Masak karena terlambat dan salah masuk kamar waktu itu harus di beri hukuman tugas sebanyak ini. Lagian siapa saja yang berada dalam posisi Nayla yang salah masuk kamar dan nuduh-nuduh Ilham, akan melakukan hal sama seperti yang Nayla lakukan. Siapa yang tidak takut waktu itu dengan Ilham yang hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. Dan siapa yang tidak akan menuduh yang tidak-tidak. Dan kalau soal mencaci maki, Ilham, fine. Nayla terima hukumannya. Tapi atas keterlambatan dan salah masuk kamar waktu itu, Nayla tidak bisa terima.
"Kenapa? Apa ada masalah?"
"Ini mah lebih dari masalah, Pak! Tugas sebanyak ini apa Bapak tidak waras?" Nayla sangat-sangat kesal.
Braaakk!!
Ilham menggeprak meja membuat Nayla terlonjak kaget.
"Astagfirullah!"
Perkataan Nayla tadi membuat Ilham marah, sebab Nayla secara langsung mengatai Ilham tidak waras. Seketika Nayla menciut kala melihat sekilas wajah tampan Ilham yang sangat menyeramkan.
Hening ....
Itulah yang terjadi saat ini di ruangan Ilham. Ilham menatap tajam Nayla yang menundukkan kepalanya tanpa berani melihat wajah tampan Ilham lagi.
"Kamu itu adalah mahasiswi satu-satunya yang paling berani membantah dan mengata-ngatai saya!" sentak Ilham.
Nayla hanya terdiam menunduk.
"Apa kamu mau saya kasih nilai kosong pada mata pelajaran saya?"
Nayla mengangkat kepalanya cepat dan menatap Ilham.
"Tidak, Pak. Jangan lakukan itu!"
"Kalau tidak mau, kerjakan semua tugas yang saya berikan dan harus kamu serahkan dua hari lagi! Tugas itu bukan karena keterlambatan kamu saja, tapi karena kemarin kamu tidak menemui saya! Kamu boleh pergi!"
Nayla masih duduk karena ingin protes sebab Ilham memberinya waktu hanya dua hari saja. Yang benar saja dua hari, apa Nayla sanggup menyelsaikan semuanya dalam waktu dua hari saja?
"Tunggu apa lagi? Pintu keluar ada di sana!" Ilham menunjuk ke arah pintu yang terbuka.
"Pak, apa saya boleh protes?" Nayla bertanya meminta izin untuk protes. Karena kalau Nayla protes langsung, Ilham pasti akan marah.
"Mau protes apa?"
"Soal sebanyak ini, apa saya mampu menyelesaikannya dalam dua hari? Kalau Bapak berkenan, berikan saya waktu satu minggu."
"Yang Dosen siapa? Saya apa kamu?"
"Bapak."
"Lalu, kenapa kamu memerintah saya? Sekarang kamu keluar!"
Mau tidak mau, Nayla akhirnya keluar dengan wajah yang sangat kesal pada Ilham.
"Emang tuh Dosen sudah gila, seenaknya saja ngasih tugas sebanyak ini! Apa dia pikir otak saya mesin apa yang tidak bisa pusing!" gerutu Nayla sembari melangkah.
Sampai di kelas, Nayla menaruh tugas dari Ilham dengan kasar di atas mejanya lalu mendaratkan bokong.
Luna melihat wajah Nayla yang kesal dan kusut bak baju yang belum di setrika.
"Ada apa, Nay?"
"Gue lagi kesal! Sumpah demi apa pun, gue sangat kesal dengan tuh Dosen kulkas. Apa lho tau?" Luna menggeleng dengan terus menatap wajah kesal Nayla. "Tuh Dosen kulkas seenak jidatnya kasih gue tugas sebanyak ini! Rasanya gue pengin bejek-bejek tuh Dosen! Gue pengen remes-remes, sekalian gue geprek biar jadi manusia geprek!" ucap Nayla menggebu-gebu.
"Sabar, Nay. Ini sudah nasib, lho." Luna mengelus bahu Nayla.
"Dan yang paling gue kesalin, tuh Dosen kulkas kasih gue waktu dua hari! Bayangkan Lun, hanya dua hari dengan tugas sebanyak ini! Ya Tuhan, memang tuh Dosen gak punya perasaan banget."
*****
Setelah pelajaran selesai, Nayla berniat ingin menemui Ilham lagi ke ruangannya. Nayla ingin meminta tambahan waktu. Karena bagi Nayla, waktu dua hari sangat singkat dan tidak mampu menyelesaikan tugas tersubut dalam dua hari.
Sebelum mengetuk pintu, Nayla menarik nafas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Saat Nayla mau mengetuk pintu, pintu terbuka.
"Ada apa kamu datang ke keruangan ku lagi?"
"Pak, apa saya boleh meminta tambahan hari? Saya rasa, saya tidak bisa menyelesaikan semuanya dalam dua hari, apa boleh Bapak kasih saya tiga atau empat hari?"
"Jadi kamu kesini untuk itu?"
Nayla mengangguk.
"Tidak! Kamu harus menyerahkannya dalam dua hari, dan harus selesai semuanya, saya tidak mau tau!"
Ilham menutup pintu ruangan pribadinya dan menguncinya lalu pergi. Nayla mengikuti Ilham dan terus merengek meminta tambahan waktu hingga sampai di parkiran.
"Saya 'kan sudah bilang, tidak bisa! Kamu harus menyerahkan semuanya dalam dua hari!"
"Tapi, Pak ....
"Tidak ada tapi-tapian." Ilham membuka pintu mobil lalu hendak masuk, tapi Nayla mencegahnya dengan Nayla menarik-narik pelan baju Ilham seperti anak yang sedang meminta sesuatu pada sang Ayah untuk dibelikan.
"Pak, saya mohon." Nayla memelas.
"Tetap tidak! Semakin kamu memaksa, saya akan kasih kamu waktu satu hari! Silahkan pilih, mau dua hari atau satu hari?"
Nayla pergi tanpa menggubris ucapan Ilham ke motor maticnya yang terparkir di parkiran. Nayla memakai helm lalu menghidupkan motornya namun tidak bisa. Nayla kembali menghidupkan motornya tetap saja tidak bisa.
"Nih motor kenapa lagi?" Nayla kembali mencoba menghidupkannya, tetap saja tidak bisa.
"Ya elah, kenapa pakai mogok segala sih!" Nayla memukul depan motornya.
"Terus gue pulang pakai apa? Lalu motor gue gimana? Masak gue tinggal! Nih motor ada-ada aja!"
Ilham yang baru datang melihat Nayla yang sedang duduk di atas motornya. Tadi Ilham kembali ke ruangannya untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di ruangannya. Tak lama, Nayla melangkah meninggalkan motornya di parkiran menuju pintu gerbang. Nayla menunggu taksi di sana. Saat Nayla mau memesan taksi online, ponselnya tiba-tiba mati sebelum ia sempat memesan taksi online.
Hari ini adalah hari paling tersial bagi Nayla, mulai dari ia terjatuh, di beri tugas banyak oleh Ilham, motornya mogok di tambah lagi ponselnya yang mati. Nayla benar-benar sial ataukah ini karma karena Nayla sudah mengata-ngatai dan mencaci maki Ilham.
Mobil Ilham keluar pintu gerbang dengan pelan. Ilahm menghentikan mobil melihat Nayla yang sepertinya sedang menunggu taksi.
Apa pedulinya, Ilham kembali melajukan mobil meninggalkan Nayla sendirian di sana.
"Dasar Dosen kulkas! Nawarin kek atau apa kek, ini malah pergi!"
"Nayla, sedang apa kamu di sini?"
"Gue lagi nunggu taksi, Zam."
"Memangnya motor kamu kenapa?"
"Mogok."
"Ya sudah, ayo aku anter kamu pulang."
"Memang boleh?"
"Bolehlah."
"Tapi apa gak ada yang marah nanti?"
Azzam tersenyum. "Siapa yang akan marah?"
"Pacar lho mungkin."
"Aku tidak punya pacar."
"Oohh." Nayla tersenyum kikuk.
Nayla pun naik.
"Sudah?"
"Sudah."
Azzam melajukan motor gedenya meninggalkan kampus. Azzam merasa sangat senang sekali karena bisa pulang bareng Nayla, ini pertama kalinya Azzam membonceng dan menganter Nayla pulang. Azzam sudah menyukai Nayla dari dulu, pertama masuk kuliah namun, Azzam memendam perasaannya itu tanpa berani mengutakannya pada Nayla. Azzam takut, Nayla akan menolaknya. Sebelum menganter Nayla pulang, Azzam berniat mengajak Nayla makan siang dulu di kafe.
Azzam menghentikan motor gedenya saat sampai di kafe.
"Zam, ngapain kita kesini?" tanya Nayla lalu turun dari motor Azzam.
"Makan dulu sebelum pulang, aku sudah laper banget, kamu tidak keberatan 'kan?"
Nayla mengangguk.
"Ayo masuk."
Nayla dan Azzam masuk ke dalam kafe dan duduk di kursi yang kosong.
"Kamu mau makan apa, Nay?"
"Spagetti aja."
"Minumnya?"
"Jus lemon."
"Dua spagetti dan dua jus lemon."
"Baik, Mas." Pelayan kafe pergi.
Tak lama kemudian, pesanan datang. Azzam dan Nayla memakan makanannya, Azzam sengaja memesan makanan yang sama karena Azzam ingin mencoba memakan apa yang dimakan oleh Nayla. Azzam sedang mencari tahu, apa makanan kesukaan dan yang tidak di sukai Nayla. Bukan tanpa sebab Azzam melakukan itu, Azzam lakukan itu sebab jika suatu hari nanti, kalau Azzam berjodoh dengan Nayla, Azzam bisa membuat Nayla merasa senang karena tahu kesukaan Nayla.
Selesai makan, Azzam dan Nayla meninggalkan kafe setelah membayar. Azzam melajukan motor menuju rumah Nayla. Sampai di depan rumah Nayla, Azzam memberhentikan motornya.
"Terimakasih ya, Zam."
"Iya, sama-sama."
"Gak mau masuk dulu?"
"Lain kali aja dech, Nay. Ya sudah, aku pamit pulang dulu, assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
***
Setelah Azzam pergi, Nayla pun masuk sembari mengucapkan salam.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Nayla menyalimi tangan kedua orang tuanya dengan takzim secara bergatian, setelah itu duduk di samping sang Mamah.
"Gimana kuliah kamu, Nay?" tanya sang Papah.
Nayla menghela nafas, "Sedikit membuat Nayla pusing, Pah," jawab Nayla.
"Apa ada masalah?" tanya sang Papah lagi.
"Ada, Pah. Apa Papah dan Mamah tau? Ada Dosen baru yang sangat menyebalkan, masak gara-gara Nayla terlambat dia tidak mau kasih izin Nayla untuk masuk! Dan yang paling Nayla benci sama tuh Dosen, dia tidak mau kasih Nayla waktu untuk menjelaskan keterlambatan Nayla, dan dia seenaknya saja kasih Nayla tugas banyak sebagai hukuman Nayla," jelas Nayla panjang lebar.
"Ya bagus dong hanya dikasih tugas, dari pada disuruh bersihkan seluruh kampus, mau kamu?"
"Jelas Nayla tidak maulah, Pah. Tapi masalahnya, tugas sebanyak itu Nayla dikasih waktu cuma dua hari, apa Nayla sanggup ngerjain semuanya?" Nayla terlihat tidak bersemangat.
"Kamu pasti bisa, sayang. Kamu 'kan anak Mamah dan Papah yang pintar, ya gak Pah?"
"Benar ucapan Mamah kamu, Nay. Jadi kamu harus harus semangat, jangan menyerah sebelum mulai."
"Iya, Pah, Mah. Nayla ke kamar dulu, Mah, Pah."
"Ya sudah, sayang."
Nayla naik ke atas menuju kamarnya, Nayla membuka pintu kamarnya lalu masuk dan meletakkan tasnya di atas meja.
"Huuuff." Nayla merebahkan tubuh mungilnya di atas tempat tidur.
Nayla tersenyum, "Azzam baik banget, udah baik, ganteng, sholeh lagi," ucap Nayla.
Di tempat lain, Ilham sedang berkemas. Sore ini Ilham akan pulang setelah dua malam menginap di hotel. Selesai berkemas, Ilham menarik kopernya keluar kamar hotel dan chak in dari sana.
Sekitar satu jam dalam perjalanan, Ilham sampai di rumahnya.
"Assalamualaikum," ucapnya.
"Wa'alaikum salam," jawab kedua orang tua Ilham.
"Ummi, Abah." Ilham menyalami kedua orang tuanya secara bergatian, setelah itu ia duduk.
Selesai melepas kerinduan pada kedua orang tua tercinta, Ilham pergi ke kamarnya. Kamar yang beberapa tahun tidak ia tempati. Namun, kamar itu tetap dalam semula tanpa ada yang berubah sama sekali selama Ilham pergi.
Ilham menaruh kopernya di samping tempat tidur lalu mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
♡︎♡︎♥︎♥︎♡︎♡︎♥︎♥︎♡︎♡︎
Sudah jam delapan pagi tapi Nayla belum juga bangun. Pasalnya itu karena semalam Nayla begadang mengerjakan tugas yang di berikan oleh Ilham. Nayla baru tidur setelah pukul dua dini hari dan bangun lagi setelah azan subuh lalu tidur kembali selesai sholat subuh.
"Mah, tumben Nayla belum turun jam segini? Apa dia belum bangun?"
"Mamah akan cek, Pah."
Mamah Dita naik ke atas untuk mengecek apa putri semata wayangnya itu belum bangun. Mamah Dita mengetuk pintu sembari memanggil sang anak.
"Nayla."
Tidak ada jawaban.
"Nayla."
Tidak ada jawaban juga.
"Nayla, apa kamu tidak kuliah?"
Lagi-lagi tidak ada jawaban juga.
Mamah Dita memutar gagang pintu ternyata tidak di kunci. Mamah Dita pun masuk dan mendapati Nayla masih tertidur pulas dengan memeluk gulingnya.
"Astagfirullah, Nayla! Jam segini kamu masih tidur! Nayla, bangun!" Mamah Dita menggoyang tubuh sang anak.
"Apa sih, Mah? Nayla masih naguntuk," ucapnya dengan kedua mata masih terpejam.
"Bangun, Nayla! Apa kamu tidak kuliah?"
"Kuliah, Mah."
"Kalau kuliah ayo bangun! Apa kamu tidak tahu ini sudah jam berapa?"
"Palingan baru jam enam, Mah. Lagian mana Dosen yang datang jam enam."
"Jam enam apanya, ini sudah jam delapan lewat dua puluh menit, Nay."
"Apa?" kaget Nayla sembari merubah posisinya menjadi duduk.
Nayla menoleh ke arah jam bakker yang ada di atas meja sebelah kanan dan, "Aaaaa!!" Nayla dengan cepat lompat dari tempat tidur lalu masuk ke kemar mandi.
Mamah Dita hanya geleng-geleng kepala melihat putri semata wayangnya itu.
"Nayla, Mamah tunggu di bawah ya!" Mamah Dita sedikit berteriak.
"Iya, Mah," jawab Nayla dari kamar mandi.
Sekitar tiga menit, Nayla akhirnya keluar dari kamar mandi. Biasanya Nayla akan mandi kurang lebih tiga puluh menit, tapi kali ini karena waktunya sangat terlambat, Nayla sebisa mungkin mandi cepat.
Setelah rapi, Nayla memasukkan buku-buku mata pelajarannya pagi ini ke dalam tas, lalu bergegas turun ke bawah.
"Mah, Nayla langsung berangkat ya." Nayla menyalami sang Mamah.
"Tidak sarapan dulu, Nay?"
"Nanti aja di kampus, Mah. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Nayla bergegas keluar, "Astagaaa, gue kuliah naik apa? Motor gue 'kan di kampus."
Nayla merogoh ponselnya di dalam tas lalu memesan taksi online. Tak menunggu lama, taksi yang di pesannya datang dan Nayla pun masuk.
Taksi tersebut berhenti di depan gerbang kampus. Nayla turun dan bergegas masuk dan langsung menuju kelas. Sudah sangat pasti Nayla terlambat lagi namun, Nayla tetap memilih untuk mencoba masuk semoga Ilham mau menolerir keterlamabatannya hari ini. Tidak ada salahnyakan mencoba.
"Assalamualaikum, Pak," ucapnya.
Ilham menoleh ke luar, "Wa'alaikum salam." Seperti biasa, suara Ilham terdengar dingin dan wajah yang datar.
"Pa---
"Kamu tidak boleh ikuti pelajaran saya!"
Lagi-lagi, Ilham tidak menolerir keterlambatan Nayla dan tidak memberi waktu untuk Nayla menjelaskan. Tapi Nayla tidak menyerah begitu saja kali ini, ia tetap memaksa agar bisa mengikuti pelajaran Ilham.
"Pak, kasih saya waktu untuk menjelaskan dulu, sedikit aja."
"Kamu inget yang sudah saya katakan sebelumnya?"
"Iya, Pak. Sayang ingat, ta---
"Tidak ada tapi-tapian!"
Tanpa perduli perkataan Ilham, Nayla main nerobos masuk aja dan duduk di tempat duduknya. Ilham sangat geram kepada Nayla yang sudah berani menentang perkataannya.
Ilham menghampiri Nayla ke tempat duduknya dengan wajah yang menyeramkan.
"Kelaur!"
"Tapi, Pak. Sa---
"Keluar!"
"Pak, sa---
"Keluar saya bilang!" teriak Ilham.
Braakk!!
Nayla menggebrak meja dengan cukup keras sehingga yang ada di dalam kelas tersebut kaget.
"Bapak gak punya perasaan banget sih! Tanpa kasih saya waktu sedikit aja untuk menjelaskan, Bapak seenaknya nyuruh saya keluar! Saya itu maksa masuk karena saya ingin mengikuti pelajaran, Bapak!"
"Saya tidak butuh mahasiwi yang seperti kamu! Tidak di siplin dan melawan Dosennya! Seluruh kampus pun tidak akan menerima mahasiswi kalau sifat dan sikapnya seperti kamu! Kalau tidak niat kuliah, mending kamu tidak usah kuliah! Sekarang keluar! Saya tidak mau jam saya terbuang sia-sia! Dan satu lagi, seterusnya kamu tidak usah ikut mata pelajaran saya lagi. Kamu, sayang coret dalam mata pelaran saya!"
Nayla salah telah melawan Ilham. Padahal dia sendiri tau kalau Ilham tidak main-main dengan ucapannya. Dan ini akibatnya sekarang, dia tidak dibolehkan mengikuti pelaran Ilham seterusnya.
Dengan mata yang berkaca-kaca, Nayla membawa tasnya keluar. Rasa kesal, marah, benci, sedih, malu, bercampur jadi satu. Ilham sungguh Dosen yang paling menyebalkan bagi Nayla.
Di tengah kesedihannya, ada seorang yang menyodorkan sapu tangan kepada Nayla. Nayla melihat pemilik tangan yang memegang sapu tangan tersebut dan ternyata Azzam.
Nayla mengambil sapu tangan tersebut dari tangan Azzam lalu mengelap air matanya.
"Ada apa?" tanya Azzam yang kini sudah duduk di sebelah Nayla namun, masih ada jarak diantara mereka berdua.
"Gue, benci sama Dosen kulkas itu," jawab Nayla dengan tatapan lurus ke depan.
Kening Azzam berkerut bingung dengan perkataan Nayla, "Dosen kulkas? Siapa?"
"Pak Ilham."
Azzam ingin sekali tertawa namun, ia tahan. Bagaimana bisa Nayla menyebut kakaknya Dosen kulkas? Apa sedingin itukah kakaknya? Padahal kalau di rumah, Ilham suka sekali bercanda.
♡︎♡︎♥︎♥︎♡︎♡︎♥︎♥︎♡︎♡︎
Malam harinya, walau Ilham bilang Nayla tidak boleh mengikuti pelarannya lagi, Nayla tetap mengerjakan tugas dari Ilham. Walau pun demikian dan Nayla benci sama Ilham, Nayla akan coba berbicara dengan Ilham agar Ilham tetap mengizinkannya mengikuti pelajarannya.
Sementara di ruang tamu, kedua orang tua Nayla sedang menunggu kedatangan tamu mereka. Tak lama kemudian, terdengar suara bel berbunyi.
Ting tong ....
Bik Siti selaku Asisten rumah tangga keluarga Nayla membuka pintu.
"Assalamualaikum," ucap ke empat orang itu.
"Wa'alaikum salam," jawab Mamah Dita dan Papah Daniel.
....
