3. Dimasukin Predator Ganas - 1
******
Malam sudah larut ketika Juna tiba di rumahnya — sebuah bangunan megah yang berdiri angkuh di kawasan ketinggian, memunggungi kota Malang. Rumah itu bukan hanya tempat tinggal, tapi juga markas bisnisnya. Dinding kaca dan logam gelap memantulkan cahaya lampu taman yang hangat, memancarkan kesan dingin namun elegan. Sebuah rumah yang menunjukkan: pemiliknya bukan orang sembarangan.
Motor Vario abu-abunya melaju pelan memasuki garasi, bersebelahan dengan mobil-mobil mewah yang terparkir rapi. Beberapa goresan di bodi motor membuat salah satu satpam rumahnya — pria paruh baya yang sudah mengabdi bertahun-tahun — terdiam, menatap penuh kekhawatiran.
Juna turun, melepas helm. Wajahnya datar, mata tajamnya melirik si satpam sekilas, cukup untuk membuat pria itu mengalihkan pandangan.
“Aku baik-baik saja,” ucapnya singkat, suara berat dan dingin, lalu berjalan masuk tanpa menunggu reaksi.
Ia melangkah perlahan melewati lorong kaca yang menghubungkan garasi dengan ruang utama. Lantai marmer mengkilap memantulkan bayangannya sendiri. Dinding dihiasi lukisan abstrak bernilai tinggi, cahaya lampu gantung temaram membuat segalanya terasa sunyi dan berkelas. Tapi keindahan itu... hampa.
Tangga spiral logam membawanya ke lantai dua — ke kamarnya yang luas dan minimalis. Di dalam, jendela besar menghadap langsung ke lanskap malam Kota Malang yang berkelip, bagaikan lautan cahaya yang tenang dari kejauhan.
Ia berdiri sejenak di depan jendela, membuka kemeja hitamnya perlahan. Otot-otot tubuhnya yang terlatih terekspos dalam remang cahaya, tinggi 187 cm dengan berat 88 kg yang proporsional. Ia mengambil dumbel dari rak dan melakukan latihan ringan — push-up, shoulder press, dan core rotation — cukup untuk menjaga stamina, bukan untuk pamer. Ia tak pernah membentuk tubuh demi dilihat. Ia melakukannya... untuk kekuatan.
Setelah itu, mandi air hangat menjadi ritualnya. Air menghantam kulit, membersihkan sisa malam — tapi tak pernah benar-benar membersihkan isi kepalanya.
Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, ia duduk di pinggir ranjang. Sunyi. Tapi nyaman. Dan di tengah keheningan itu, pikirannya melayang... pada kejadian petang tadi.
Senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Sekilas. Lalu lenyap. Tapi maknanya dalam.
"Anak itu... takut setengah mati. Dan aku suka itu."
Bukan karena sadis. Tapi karena kuasa.
Ia menyukai dominasi. Menyukai ketika orang-orang tidak berani membantahnya, ketika tatapannya membuat mereka bungkam. Baik itu pesaing bisnis, bawahan, hingga seseorang seperti Reyhan — pemuda kecil dengan mata cemas yang tak sanggup menatap balik.
"Orang-orang sepertiku memang dilahirkan untuk diikuti... bukan didampingi."
Ia tahu betul, senyumnya bukan senyum tulus. Itu senyum yang ia bentuk sejak belasan tahun lalu — ketika hidup menghajarnya tanpa ampun. Senyum kemenangan. Senyum ancaman. Senyum yang membuat lawan tahu: mereka salah jika berpikir bisa mengalahkannya.
"Topeng ini... sudah terlalu melekat."
Usianya kini 30 tahun. Lajang. Tampan, karismatik, berduit, punya segalanya. Ia bisa memilih siapa pun untuk menghangatkan malam-malamnya — lelaki ataupun perempuan — dan mereka akan datang tanpa perlu dijemput. Tapi untuk cinta... ia tak punya ruang.
"Cinta tidak memberi untung. Cinta membuatmu lemah."
Tangannya meraih kotak kayu kecil dari dalam lemari. Di dalamnya, puluhan kartu nama tertata rapi. Ia mengambil satu dan melemparkannya ke meja kerja — kartu yang tadi ia berikan ke Reyhan.
Tatapannya menajam. Lagi.
"Anak itu akan datang. Atau tidak. Tapi jika datang... dia harus siap menghadapi permainan yang berbeda."
Juna berdiri lagi, menatap bayangannya di kaca jendela.
Di luar, Kota Malang tertidur.
Tapi ia tidak. Ia terjaga — bersama ambisi, hasrat, dan sisi gelap yang ia pelihara seperti sahabat karib.
Juna menatap jam dinding besar berbentuk lingkaran yang tergantung di sisi kamar, desainnya modern dengan dominasi warna hitam dan emas. Jarumnya baru saja melewati angka dua belas. Malam masih muda. Tubuhnya terasa berat, bukan karena kelelahan semata, tapi karena pikiran-pikiran yang menumpuk seperti lemari besi yang tak bisa dibuka.
Dengan suara berat dan datar, ia meraih ponsel di meja kayu di samping ranjang. Hanya ada satu nama yang muncul di layar panggilan: Cass. Ia menekannya tanpa ragu.
Telepon terhubung cepat.
"Viola, di mana?" tanyanya langsung, suaranya tenang tapi penuh tekanan, seperti biasa — tanpa basa-basi, to the point, dingin namun jelas tak bisa ditawar.
Suara Cass di seberang terdengar sedikit panik namun mencoba tenang. "S-sudah dalam perjalanan, Bos. Tadi dia bilang butuh waktu tiga puluh menit dari tempatnya."
Hening sebentar. Nafas Juna terdengar pelan tapi mengandung nada jenuh.
"Jangan buat saya menunggu."
Klik. Telepon ditutup sepihak.
Cass hanya bisa menghela napas dalam diam, seperti biasa — ia tahu betul, jika Juna sudah bersuara seperti itu, maka tak ada ruang untuk pembenaran.
Juna meletakkan ponselnya, lalu berjalan santai menuju balkon kamar lantai duanya. Angin malam yang dingin dari perbukitan seolah menyapa kulitnya yang hanya dilapisi kaos tanpa lengan warna hitam, menonjolkan otot-otot kekarnya yang terawat. Di bawah sana, lanskap Kota Malang terlihat cantik, lampu-lampu kota berpendar seperti bintang jatuh yang tersebar di tanah. Tapi keindahan itu tak menyentuhnya.
Ia kembali masuk ke dalam, duduk di pinggiran ranjang besar berwarna abu-abu gelap dengan sprei linen mewah. Parfum favoritnya, aroma kayu manis bercampur cedar dan sedikit vanila, baru saja ia semprotkan — bukan karena ingin mengesankan siapa pun, tapi karena ia suka aroma itu menyatu dengan tubuhnya sendiri.
“Aku punya segalanya… uang, kekuasaan, tubuh yang kuat, rumah megah, bisnis yang tak bisa disentuh hukum. Tapi tetap saja, ada malam-malam seperti ini. Malam yang terasa kosong. Menyebalkan. Mungkin ini harga dari dominasi. Aku membangun dinding terlalu tinggi, bahkan untuk diriku sendiri.”
Ia mendesah pelan, menatap bayangannya sendiri di cermin besar di depan tempat tidur. Sorot matanya tajam, tapi dalam tatapan itu ada kehampaan yang tak ia akui — bahkan pada dirinya sendiri.
Viola.
Nama itu bukan tentang cinta, bukan tentang gairah yang dalam. Hanya bentuk pelarian. Sebuah kontrak tak tertulis. Saling tahu, saling paham. Uang dan tubuh. Tak lebih.
Juna bukan pria yang tega merusak gadis baik-baik. Dia tahu batasnya. Maka ia selalu memilih mereka yang sudah memilih jalannya sendiri, kupu-kupu malam yang menyadari permainan ini sejak awal.
“Cinta bukan untuk orang sepertiku,” pikir Juna, berdiri perlahan, meregangkan otot-otot lengannya, “Aku tak butuh tatapan tulus. Aku butuh pelampiasan. Sesuatu yang bisa membuatku tidur lebih tenang malam ini.”
Ia melangkah pelan ke arah meja bar kecil di sudut kamar, menuang sedikit bourbon ke dalam gelas kristal. Satu teguk. Hangat membakar tenggorokannya. Matanya kembali menatap jam.
12.17.
Viola akan tiba sebentar lagi.
Dan malam ini, seperti malam-malam sebelumnya… hanya akan menjadi bagian dari rutinitas gelap yang sudah biasa ia jalani. Tanpa keterikatan. Tanpa hati.
Jam menunjukkan 12.28 saat deru mobil kecil berwarna putih berhenti di depan gerbang rumah megah Juna. Lampu-lampu taman menyala tenang, memperlihatkan siluet perempuan muda yang turun dengan langkah mantap tapi anggun. Sosoknya mungil, ramping, dan berkelas. Sekilas saja, orang bisa tahu: dia bukan wanita murahan.
Viola—usia dua puluh dua, jika ingatan Juna masih benar. Seingatnya, ia kuliah di fakultas hukum, atau mungkin jurusan lain yang entah apa—Juna tak benar-benar peduli. Baginya, latar belakang wanita-wanita yang ia undang bukanlah sesuatu yang menarik, selama mereka tahu peran mereka, dan memahami batas.
Gaun pendek yang dikenakan Viola malam itu berwarna hitam pekat, berbahan satin lembut, mengikuti lekuk tubuhnya yang mungil (165/47), sedikit terbuka di bagian dada namun tetap sopan. Tidak ada kesan murahan—Viola berpakaian sesuai permintaan Juna di pertemuan pertama mereka: seksi, elegan, dan berkelas.
Juna sudah berdiri di depan pintu gerbang, mengenakan kaos ketat tanpa lengan dan celana pendek navy yang menonjolkan tubuh atletisnya. Tubuhnya berdiri tegap seperti patung Yunani modern, aura dinginnya menyatu sempurna dengan hawa malam yang menusuk tulang.
Satpam yang berjaga malam itu dengan sigap membuka pintu gerbang. Tak ada sapa, tak ada tatap. Mereka sudah terbiasa, tahu betul bahwa urusan di rumah besar ini tak semua perlu dimengerti—cukup dijalankan.
