3. Dimasukin Predator Ganas - 2
Viola tersenyum cerah begitu melihat sosok Juna yang menjulang tinggi. Ada kekaguman dan rasa bangga di matanya. Seolah malam ini ia menjadi ratu yang ditunggu oleh rajanya. Tapi Juna hanya menanggapi dengan satu senyum tipis—palsu, seperti biasanya. Senyum itu sekadar formalitas.
“Viola.” Suara Juna terdengar datar, berat, namun tetap memikat. "Kamu cantik malam ini."
Hanya basa-basi, tapi dengan nada yang bisa membuat siapa pun meleleh. "Apa kabar?"
Viola menjawab lembut, matanya berbinar. “Baik, bos. Semakin baik sekarang.”
Tanpa banyak kata, Juna mendekat. Ia mengecup singkat kening Viola, gerakan yang tampak romantis, tapi baginya hanya bagian dari skenario. Satu bentuk “kehangatan” yang sudah dipelajari, dirancang, dan diulang ratusan kali. Ia menggenggam tangan Viola, dingin dan mantap, lalu mengajaknya masuk. Seolah sang tamu kehormatan baru saja melewati gerbang istana.
“Wanita seperti ini mudah dibuat nyaman. Sentuhan ringan, sedikit kata-kata manis, satu-dua perlakuan lembut—cukup. Tapi jangan sampai mereka merasa lebih dari sekadar tamu satu malam. Semua harus terkontrol.”
Viola tampak senang, bahkan tersipu saat berjalan menyusuri jalan batu yang mengarah ke pintu utama rumah besar itu. Tangannya menggantung manja di lengan Juna yang kekar, melangkah pelan, seolah-olah ini adalah mimpi yang menjadi nyata.
“Lihatlah dia… merasa jadi ratu. Dunia ini memang memberi mimpi, lalu mencabutnya diam-diam. Tapi malam ini, biarlah dia hidup dalam fantasinya. Aku hanya butuh tubuh, bukan hatinya,” pikir Juna dalam hati, tatapannya lurus ke depan.
Sesampainya di pintu rumah, Juna membukakan pintu dengan satu tangan dan mempersilakan Viola masuk terlebih dulu.
“Kamu haus? Mau minum dulu atau langsung naik?” Nada suaranya tetap datar, tak terlalu peduli pada jawaban.
Viola mengangguk, sedikit ragu. “Apa pun yang bos Juna mau,” jawabnya manja.
Juna tersenyum—lagi-lagi palsu, seperti topeng yang ia kenakan sejak bertahun-tahun lalu. Lalu ia mengunci pintu, dan dunia luar pun perlahan memudar. Malam pun dimulai, sesuai skenario yang selalu Juna atur sendiri.
Dan seperti biasa… tak ada cinta di dalamnya.
Hanya tubuh, transaksi, dan sedikit ilusi.
---
Kamar Juna di lantai dua itu tidak hanya luas, tapi juga megah—dindingnya berbalut panel kayu gelap, lampu gantung kristal menggantung anggun dari langit-langit tinggi, dan aroma parfumnya yang khas masih menggantung di udara. Viola melangkah masuk, masih bergelayut manja di lengan Juna. Tumitnya mengetuk lantai marmer, gemetar kecil tapi berusaha tampil percaya diri.
"Silakan duduk, Viola," ucap Juna datar, sambil melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja kecil di dekat tempat tidur. Ia memalingkan wajahnya sedikit dan melemparkan pandangan sekilas ke arah Viola, pandangan tajam yang bisa membuat siapa pun diam tak berkutik. Viola langsung duduk di sisi ranjang, menyilangkan kakinya, membenarkan letak dress-nya yang nyaris terlalu sempurna.
“Kamu terlihat sesuai pesanan malam ini,” ucap Juna sambil membuk4 k4osnya perlahan, menampakkan dada dan lengan kekarnya yang penuh garis otot. Dia bukan hanya terbiasa dengan olahraga, tapi membentuk tubuhnya adalah bagian dari karismanya—dominasi fisik dan mental yang selalu ia jaga.
Viola tersenyum, agak malu, namun tatapannya terang—ia senang dipuji meskipun tahu pujian itu hanya setengah hati.
"Terima kasih, Bos Juna. Aku memang ingin tampil m3mu4sk4n," jawab Viola lembut, hampir seperti bisikan.
Juna berjalan pelan mendekat, langkahnya tenang namun mantap. Ia duduk di sisi ranjang, membelai rambut Viola perlahan. Bukan dengan kelembutan sejati, tapi dengan gaya kepemilikan. Viola menutup mata, membiarkan dirinya larut dalam perlakuan itu.
“Jangan pernah berpikir ini cinta, Viola. Aku hanya butuh malam yang tenang,” bisik Juna di dekat telinganya. Kalimat itu membuat napas Viola tercekat sejenak, tapi ia mengangguk pelan.
“Aku tahu, Bos,” jawabnya pelan. “Aku hanya ingin menjadi alasan ketenangan itu... meski hanya malam ini.”
Juna menatapnya sejenak. Pandangannya menusuk, namun di balik itu ada satu detik ketulusan yang langsung ia tepis sendiri. Ia tak boleh larut. Ini bukan tentang perasaan.
“Mereka datang dan pergi. Semua seperti ini. Mereka semua kagum, semua ingin merasa spesial. Tapi tidak ada yang benar-benar tinggal. Dan mungkin aku memang tidak pernah berniat membuat siapa pun tinggal. Dunia ini terlalu kotor, terlalu tajam. Kalau aku membuka pintu itu—aku sendiri yang akan terluka. Tidak, ini cukup. Seperti ini. Terukur. Aman.”
Ia menunduk, mengecup b!b!r Viola sebentar, bukan dengan g4ir4h membara, tapi seperti seseorang yang mengambil haknya. Viola merespon dengan hangat, tangannya menyentuh bahu Juna, kemudian perlahan mem3luknya. Tapi Juna tetap menjaga kendali—dia tidak terbawa emosi.
Mereka melanjutkan malam dengan ke!nt!man yang lebih sebagai bentuk pelampiasan, bukan p3luk4n kasih sayang. Juna memimpin semua langkah. Viola mengikuti, dengan takzim dan rasa tunduk. Tidak ada kata-kata manis, hanya bisikan lemah, 3r4ng4n tertahan, dan tatapan dominan Juna yang tidak pernah lepas dari sosok di hadapannya.
Setelah semuanya berakhir, Juna duduk di sisi ranjang, kembali memasang jam tangannya, dan meraih rokok yang biasa ia simpan di laci kecil dekat tempat tidur. Ia tidak menyalakannya, hanya memutarnya di jari, berpikir. Viola masih berbaring, membenamkan wajah di bantal, dengan nafas teratur.
“Besok, seperti biasa. Pulang sebelum subuh,” kata Juna pelan namun tegas.
Viola hanya mengangguk. Ia sudah terbiasa.
“Kebebasan. Itu yang kupikir dulu akan datang ketika aku punya semuanya. Uang, kekuasaan, pengaruh. Tapi kenapa rasanya seperti ruang kosong yang makin luas, makin dingin?”
Dan malam itu pun bergulir tanpa rasa. Yang tertinggal hanya aroma tubuh dan bayangan samar dari pria yang terlalu kuat untuk mencintai, dan wanita yang terlalu lelah untuk berharap.
Kamar itu sunyi. Hanya suara detak jam dan embusan angin malam dari jendela yang sedikit terbuka menemani dua manusia yang terbaring dalam diam.
Juna duduk di sofa dekat jendela, masih dengan tubuh setengah basah oleh keringat yang belum benar-benar kering. Celana pendek abu-abunya sedikit longgar, menggantung malas di pinggang atletisnya. Sebatang rokok terselip di antara jarinya, perlahan habis dihisap tanpa buru-buru. Satu botol bourbon kini kosong di meja kecil di sampingnya. Satu lagi rokok masih mengepul, asapnya menari di udara, membaur dengan aroma parfum maskulin yang tajam dan khas. Parfum itu adalah bagian dari dirinya—sebagaimana rokok, bourbon, dan kesepian.
Matanya tak berkedip menatap ranjang. Di sana, Viola berbaring terlentang, separuh tubuhnya terbungkus selimut putih, sisa pakaiannya berhamburan di lantai kayu. Dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya sesekali menatap layar ponselnya, mungkin membuka pesan, mungkin hanya pura-pura sibuk. Wajahnya letih, tapi masih menyimpan senyum tipis yang entah untuk siapa.
Juna tidak menanyakan apa pun. Tidak butuh tahu. Tidak peduli.
"Aku puas. Itu yang terpenting," pikir Juna, membuang asap rokok ke langit-langit. "Dia dibayar, aku terhibur. Tidak perlu ada rasa. Tidak perlu ada kelanjutan."
Viola sesekali mencuri pandang. Tatapan Juna terlalu tajam untuk dihadapi, seperti bilah belati yang bisa menusuk hanya dengan tatapan. Ia pernah ditatap banyak pria, tapi tak pernah ada yang semengerikan dan seberkarisma Juna.
"Bos Juna..." suaranya pelan, nyaris tak terdengar.
Juna tidak menjawab, hanya mengangkat alis sebentar, lalu berdiri. Tubuh kekarnya bergerak tenang menuju ranjang. Ia naik ke tempat tidur, menarik selimut, dan membaringkan diri membelakangi Viola.
"Nanti kalau pulang, bekas pengamannya dibawa. Buang jauh-jauh. Jangan tinggalin apa-apa di sini." Nada suaranya datar, pelan, dingin tapi penuh otoritas.
Viola mengangguk kecil. "Iya, Bos."
Tak ada ucapan terima kasih. Tak ada pelukan hangat. Hubungan ini seperti kontrak dingin. Tapi anehnya, Viola tak merasa dibuang—dia merasa dilibatkan dalam dunia yang terlalu asing, terlalu jauh untuk disentuh, tapi cukup menarik untuk dijalani walau sesaat.
Juna memejamkan mata. Ia tahu Cass pasti sudah mentransfer imbalan ke Viola. Semuanya berjalan sesuai rencana. Tidak ada yang meleset.
Dalam gelapnya kamar, Juna berkata dalam hati:
"Hidup ini panggung. Aku aktor utamanya. Mereka... hanya figuran."
Dan malam itu pun larut dalam keheningan.
________________________________
Bersambung
