2. Berurat Dan Panjang - 2
Hening.
"...Akhirnya."
Reyhan melangkah ke arah motornya yang masih tergeletak miring di pinggir jalan, sedikit lecet di bodi samping, tapi untungnya tidak rusak parah. Ia membetulkannya dengan usaha kecil — tubuhnya mungil dibanding kebanyakan lelaki, tapi terbiasa mandiri membuatnya tak kesulitan.
Motor menyala. Deru mesinnya jadi penghibur setelah keheningan panjang dan rasa malu yang baru saja ia kunyah habis. Ia tancap gas pelan, melaju menuruni jalan berliku, menuju Landungsari — tempat ia menyebut “pulang” sejak dua tahun lalu.
Malang sudah seperti rumah kedua baginya. Kota sejuk ini menyambutnya dengan keramahan sekaligus tantangan. Dua tahun lalu, Reyhan datang sendirian, membawa tas besar dan harapan yang bahkan ia sendiri tak yakin bisa digenggam lama. Tak ada sanak saudara. Hanya tekad, dan motor butut yang ia bawa dari kampung halaman di Blitar.
Sejak hari pertama di kota ini, ia bekerja di sebuah kafe yang cukup terkenal milik salah satu hotel bintang lima di Kota Batu. Bukan tempat yang mewah, tapi cukup untuk bertahan hidup. Ia mengaduk kopi, menyusun gelas, melayani pelanggan dari pagi hingga malam — senyumnya tipis, tapi tulus. Setahun terakhir, ia memberanikan diri untuk kuliah di sebuah kampus swasta ternama, mengambil jurusan Teknik Sipil. Bukan pilihan yang populer di kalangan anak muda trendi, tapi Reyhan menyukai logika, perhitungan, dan struktur. Ia percaya bangunan yang kokoh hanya bisa berdiri di atas pondasi yang kuat — seperti hidupnya yang ia coba bangun dari bawah, pelan-pelan.
Sebagai mahasiswa, Reyhan biasa-biasa saja. Nilainya rata-rata. Ia bukan si paling pintar, tapi juga bukan yang terakhir. Ia tidak menonjol, tapi rajin. Tidak populer, tapi disukai karena sopan. Ia jarang bicara banyak, apalagi di kelas. Tapi ia selalu tepat waktu, dan tidak pernah mengeluh saat diberi tugas kelompok.
Malam itu, motor Reyhan melaju menyusuri jalan basah oleh embun. Lampu-lampu jalanan menyala redup, membentuk jejak cahaya di spionnya. Tubuhnya masih sedikit nyeri, tapi jiwanya mulai tenang.
Di kepalanya, sosok Juna masih terpatri jelas. Bukan hanya karena postur atau suaranya yang berat dan mengintimidasi, tapi karena sorot matanya yang... aneh. Menakutkan, tapi dalam. Seperti menyimpan seribu cerita yang tak pernah ia bagi ke siapa pun.
Reyhan menarik napas panjang.
"Mungkin... aku akan ketemu dia lagi."
Dan entah kenapa, di balik rasa takut dan trauma yang masih samar, ada bagian kecil dari dirinya… yang menantikan hal itu.
***
Reyhan membuka pintu kostnya pelan. Ruangan sempit berukuran 3x3 meter itu menyambutnya dengan keheningan yang nyaris menyayat. Sebuah kasur tipis terhampar di lantai, di sampingnya ada meja lipat kecil yang dipenuhi buku kuliah, charger berserakan, dan termos air panas. Di pojok ruangan, kipas angin tua berdiri seperti prajurit lelah yang siap roboh kapan saja.
Ia melepas jaket, melempar tas ke atas kasur, lalu merebahkan diri tanpa banyak suara. Tapi pikirannya tidak bisa langsung tenang.
Tubuhnya lelah — dari pagi kuliah, siangnya lanjut kerja di kafe hotel, malamnya dihantam kejadian absurd dengan pria bernama Juna yang entah kenapa masih terus terbayang di kepalanya. Tapi di balik semua itu, yang paling membuat pikirannya tak bisa diam... adalah ingatan pada seseorang: adik perempuannya.
Namanya Kirana.
Usianya baru 14 tahun, duduk di kelas dua SMP. Gadis kecil itu adalah satu-satunya alasan Reyhan masih bisa bertahan di tengah kesibukan dan tekanan hidup yang tak kenal ampun.
Kirana tinggal di desa kecil di Blitar, bersama Pak Dhe dan Bu Dhe mereka. Sejak kedua orang tua mereka pergi ke luar negeri — katanya untuk bekerja — Kirana masih bayi. Usia dua tahun. Sejak saat itu, tak pernah ada kabar. Tidak surat, tidak telepon, bahkan tidak ada kiriman uang. Seakan bumi menelan keduanya.
Reyhan pernah marah. Sangat marah. Tapi seiring waktu, amarah itu berubah jadi tanggung jawab. Ia sadar, tidak akan ada yang menjaga Kirana kecuali dirinya. Maka sejak bisa bekerja, ia mulai mengirim uang — sedikit demi sedikit. Kadang untuk bayar SPP, kadang untuk beli buku, kadang hanya agar Kirana bisa jajan seperti teman-temannya.
Ia mengeluarkan ponselnya. Membuka galeri. Melihat foto Kirana yang dikirim Budhe minggu lalu. Gadis itu tersenyum malu-malu, berdiri di depan papan tulis, mengenakan seragam SMP kebanggaan. Pipinya tirus, tapi matanya bulat dan cerah. Reyhan tahu, adiknya sedang menahan diri agar tak membebani. Sama seperti dirinya.
"Kirana… tunggu kakak ya. Kakak nggak tahu ini semua cukup atau nggak, tapi kakak bakal terus usaha. Sampai kamu nggak perlu lagi takut soal uang sekolah, sampai kamu bisa milih jalanmu sendiri nanti."
Air matanya tak jatuh, tapi matanya basah. Dia sudah terlalu terbiasa menahan segalanya sendiri.
Ia menatap langit-langit kost. Dindingnya kusam, sedikit rembesan air hujan masih terlihat samar. Tapi malam ini, ruangan kecil itu terasa seperti ruang dalam pikirannya sendiri — padat, pengap, tapi penuh janji diam-diam pada masa depan.
"Besok... mulai lagi."
Lalu ia memejamkan mata. Badannya menjerit minta istirahat, tapi hatinya masih berjalan, menyusuri beban-beban yang tak pernah ia minta… tapi harus ia pikul.
Reyhan membalikkan badan. Tidur masih jauh dari genggaman. Pikiran yang semula hanya berputar di sekitar tugas kuliah, jam kerja yang melelahkan, dan beban hidup bersama Kirana... kini perlahan tertarik ke arah yang berbeda. Lebih lembut. Lebih samar. Tapi tetap mengusik.
Inez.
Nama itu muncul tiba-tiba seperti angin malam yang menyusup celah jendela kost. Tak ada suara, tapi terasa. Gadis itu… wanita, lebih tepatnya, punya cara aneh mengisi ruang pikirannya. Usianya 22 tahun, dua tahun lebih tua dari Reyhan. Mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri paling bergengsi di kota ini. Pintar, mandiri, dan... cantik. Sangat cantik. Tapi bukan hanya cantik — Inez punya pesona yang tajam. Seksi tanpa perlu usaha, kuat tapi juga penuh gaya.
Reyhan membuka galeri lagi. Jari-jarinya dengan kebiasaan diam-diam membuka folder tersembunyi di ponselnya. Foto itu muncul — candid yang diambil diam-diam saat mereka duduk bareng di taman kampus minggu lalu. Inez sedang tersenyum, memegang gelas kopi, kacamata hitam tergantung di leher kemejanya yang longgar. Wajahnya begitu hidup. Kulitnya bersih, rambutnya panjang, dan gaya bicaranya... selalu santai tapi berkelas.
Reyhan tersenyum kecil. Bahkan ketika tubuhnya lelah luar biasa, bahkan ketika dunia seperti menghimpit dari segala arah, kehadiran Inez — meski hanya dalam bentuk foto — seolah menyisakan ruang bernapas.
"Inez… aku yakin bisa dapetin kamu."
Ia membatin tanpa suara. Bukan sok percaya diri, tapi Reyhan tahu dia punya modal. Wajahnya manis, sorot matanya lembut — banyak yang bilang dia punya aura yang bikin nyaman. Walau tubuhnya kecil, dia punya daya tarik sendiri. Dan dia tahu, Inez memperhatikannya juga, meski belum jelas sejauh apa.
Sudah tiga bulan sejak mereka pertama kenal — lewat pelanggan di kafe yang kemudian kebetulan salah satu teman Inez satu organisasi kampus denan Reyhan. Semakin sering ngobrol, semakin banyak alasan Reyhan untuk menaruh harap. Tapi malam ini, dia terlalu letih. Bahkan untuk sekadar mengirim pesan.
"Besok aja aku chat... Inez pasti juga capek."
Ia menatap foto itu sebentar, lalu mengunci layar. Dunia boleh kejam, tapi punya seseorang seperti Inez di dalam pikiran... membuat semuanya terasa sedikit lebih ringan. Meski belum jadi miliknya.
Lalu ia menarik napas panjang, mematikan lampu, dan memejamkan mata.
Dalam gelap itu, hanya satu hal yang membuat bibirnya masih menyisakan senyum samar: bayangan tentang Inez — dan harapan kecil bahwa esok mungkin membawa kesempatan baru.
____________________________________
Bersambung
