Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Berurat Dan Panjang - 1

******

Cahaya lampu jalan akhirnya menyingkap wajah pemuda itu saat ia berusaha bangkit perlahan. Juna berdiri tegak di hadapannya, tubuhnya menjulang dan nyaris menutupi cahaya dari belakang—membuat sosok di depannya tampak semakin kecil dan terintimidasi.

Pemuda itu—mungkin tak lebih dari 166 cm tingginya, dengan tubuh ramping dan mungil jika dibandingkan Juna. Bahunya sempit, perutnya rata dan kencang, namun jauh dari kesan kekar. Kulitnya halus dengan rona muda alami. Rambutnya hitam dan lembut, belah tengah sedikit berantakan karena benturan, menambah kesan polos pada wajah manisnya. Garis wajahnya halus, dagu kecil, mata besar dan bulat yang memancarkan campuran panik dan takut. Bibirnya tipis dan merah alami, sedikit terbuka, seperti ingin bicara tapi tertahan oleh tekanan yang luar biasa dari pria tinggi di hadapannya.

Napasnya terengah, tapi ia memaksakan diri untuk bicara. Suaranya pelan, gemetar, hampir seperti bisikan yang tertahan oleh rasa takut.

“M-maaf, saya nggak sengaja...”

“Saya... saya ganti rugi... sumpah.”

Ia menunduk dalam, tak berani menatap mata Juna yang tajam dan berat. Tangannya sedikit gemetar, lututnya terlihat kotor karena jatuh. Meski tubuhnya jelas lebih muda dan segar, kini terlihat seperti seekor anak rusa yang masuk ke kandang singa.

Juna tak berkata apa-apa untuk beberapa detik. Hanya menatap, mengamati dari ujung rambut sampai kaki. Tatapan yang lebih mirip menilai barang, bukan manusia.

Udara terasa menegang, seperti dunia menahan napas.

Tatapan Juna turun ke wajah pucat di hadapannya. Masih tak berkedip. Lalu, dengan suara berat yang dalam dan tenang—namun menyimpan ancaman dingin di baliknya, ia mengucap:

"KTP-mu."

Bukan permintaan. Perintah. Tegas, datar, dan memotong malam yang hening. Pemuda itu buru-buru merogoh saku hoodie-nya dengan jari-jari gemetar, menarik dompet kecil dan menyodorkan kartu tanda penduduk dengan tangan yang nyaris tak stabil.

Juna menerimanya, matanya menyapu cepat isi kartu itu.

Nama: Reyhan Mahesa Adiputra

Usia: 19 tahun

Hening sejenak. Tatapan Juna tetap tajam, namun ada kilasan aneh di matanya—samar, sesaat, seperti bayangan masa lalu yang menerobos pertahanannya.

Sekilas, bibirnya melengkung tipis. Senyum yang getir, bukan karena Reyhan—tapi karena ingatannya sendiri.

Usia 19.

Usia ketika ia masih tinggal di rumah kecil penuh teriakan dan caci maki. Ayah yang mabuk, ibu yang pasrah, meja makan yang lebih sering kosong daripada terisi. Usia ketika ia berpikir hidup tak punya arah, hanya penuh luka dan malam-malam tanpa tidur. Orang tuanya kini bahkan tak tahu apakah ia masih hidup... dan ia pun tak lagi mencari tahu.

Senyum itu menghilang secepat ia muncul. Rahangnya kembali mengeras.

KTP dikembalikan dengan satu tangan. Sementara mata Juna kembali memaku Reyhan yang masih menunduk dalam seperti pesakitan.

"Umurmu masih 19. Tapi bikin masalah seperti bocah tiga belas."

Suara itu dalam, tenang—tapi Reyhan bisa merasakannya menusuk lebih dari sekadar teguran.

Juna masih berdiri tegak di hadapan Reyhan, tubuhnya yang besar dan atletis seperti menutupi cahaya lampu jalan. Reyhan tetap menunduk, kedua tangannya mengepal di sisi celana lusuhnya, napasnya cepat dan dalam. Wajahnya tak berani diangkat, apalagi menatap mata tajam yang berdiri di hadapannya.

Juna memutar sedikit lehernya, suara otot yang mengencang terdengar jelas. Ia mengambil satu langkah maju, cukup dekat hingga Reyhan bisa mencium samar wangi parfum Bleu de Chanel yang mahal dan maskulin.

Dengan nada datar namun jelas mengintimidasi, Juna berkata:

"Aku nggak butuh uangmu."

"Yang kubutuhin cuma satu… tanggung jawab."

Reyhan mengangguk cepat, nyaris tidak bersuara. Tapi Juna menatapnya dengan lebih tajam.

"Kamu pikir cukup dengan minta maaf dan angguk-angguk kayak boneka? Kalau memang niat bertanggung jawab, datang ke sini."

Juna merogoh kantong jaketnya dan melemparkan sebuah kartu nama ke dada Reyhan. Kartu itu jatuh ke aspal, terpantul sedikit sebelum berhenti di dekat kaki Reyhan.

"Jangan kabur. Jangan kekanakan. Bersikaplah dewasa."

Reyhan hanya menunduk lebih dalam, memungut kartu nama itu dengan hati-hati seolah itu benda suci. Ia mengangguk lagi pelan, bibirnya bergerak lirih:

"I-iya, Pak... maaf..."

Juna menatap pemuda itu sesaat. Ada sesuatu di balik tubuh kurus dan pakaian lusuh itu yang membuatnya teringat dirinya sendiri, sebelas tahun yang lalu. Sama-sama muda, sama-sama tenggelam dalam hidup yang tak memberikan banyak pilihan.

Tapi bukan Juna namanya kalau ia menunjukkan simpati secara terang-terangan. Maka yang keluar dari mulutnya hanyalah gumaman dingin, nyaris seperti bisikan:

"Jangan jadi pecundang."

Ia berbalik, langkahnya tegas meninggalkan Reyhan yang masih membatu di tempat. Tapi dalam hati, monolog itu muncul begitu saja, membelah sepi malam:

"Kalau bocah itu seceroboh ini di jalan, aku nggak yakin dia bisa bertahan lama di dunia yang lebih kejam dari aspal. Tapi… entah kenapa, aku pengen tahu sampai sejauh mana dia bisa jalan."

Deru motor Vario Juna semakin menjauh, suara mesinnya tenggelam perlahan di antara dinginnya udara malam Kota Batu. Reyhan masih berdiri terpaku di pinggir jalan, satu tangannya menggenggam erat kartu nama, yang kini sedikit lembap oleh keringat telapak tangannya sendiri.

Perlahan, dia mendongak. Napasnya tertahan sejenak, seperti paru-parunya baru saja dikembalikan setelah dicengkeram ketegangan terlalu lama. Matanya mengikuti siluet terakhir motor itu, menghilang di tikungan jalan yang sepi. Baru setelah itu, dadanya mengempis dalam satu embusan napas panjang.

"Astaga..."

Reyhan mengusap wajahnya yang sedikit lecet akibat terguling, lalu menyentuh keningnya sendiri dengan gemetar. Kedua lututnya lemas, nyaris membuatnya terduduk di trotoar.

"Tadi... itu apa?"

"Gila, itu orang siapa sih? Badannya gede banget, auranya ngeri banget… matanya... tajamnya kayak mau makan orang."

Dia menatap kartu nama di tangannya. Jari-jarinya mengusap pelan tulisan elegan di atasnya. Nama dan jabatan Juna tertera jelas, terlihat mahal bahkan hanya dari kertasnya saja.

"Tapi dia nggak minta uang... nggak marah-marah berlebihan… bahkan…"

Reyhan menunduk. Matanya mulai memerah. Campuran lega, takut, dan malu membuncah jadi satu.

"Aku goblok... goblok banget! Kenapa juga tadi maksa keluar padahal udah ngantuk. Tadi kalau dia jatuh gimana? Kalau dia kenapa-kenapa gimana? Aku bisa masuk penjara, Han!"

Tangannya menggenggam rambutnya sendiri.

"Tapi… dia… dia cuma minta aku tanggung jawab. Nggak bentak, nggak hina, nggak nyuruh bayar. Bahkan kasih kartu nama. Siapa sih orang kayak gitu? Orang kaya biasanya males ngurus beginian kan…?"

Reyhan perlahan duduk di pinggir trotoar, menatap jalan kosong yang tadi dilalui Juna.

"Tapi tatapannya… gila… bikin merinding. Tapi... keren. Serem tapi keren. Kayak singa di jas mahal."

Ia menoleh lagi ke kartu nama di tangannya.

"Reyhan... kamu harus nemuin dia. Kamu harus tanggung jawab. Kalau enggak… kamu sama aja kayak semua orang yang kamu benci. Lari dari masalah. Jangan kekanakan… katanya bersikap dewasa…"

Perlahan Reyhan berdiri lagi, napasnya mulai stabil. Langkahnya masih gemetar, tapi hatinya mulai bulat.

"Aku akan ke tempat itu… entah dia beneran serius atau cuma main-main. Tapi aku harus hadapi."

Dan malam itu, meski langit gelap dan udara dingin menampar kulit, ada sedikit kehangatan di dada Reyhan — bukan karena keselamatan dirinya, tapi karena untuk pertama kalinya… ada seseorang yang memperlakukannya seperti manusia, bahkan setelah ia melakukan kesalahan.

Baru saja Reyhan hendak berjalan, tubuhnya tersentak ringan.

"Hik."

Ia mendongak sejenak ke langit, mendesah kesal.

"Ya ampun… cegukan lagi."

Cegukan yang muncul tiba-tiba seolah menjadi alarm tubuhnya sendiri — tanda kalau Reyhan baru saja melewati tekanan berat, entah karena emosi, ketakutan, atau kegugupan berlebih. Ia sudah terbiasa. Sejak kecil, tubuhnya seperti punya cara sendiri menumpahkan rasa yang tak sanggup ia keluarkan lewat kata-kata.

"Cuma aku kayaknya yang begitu. Baru juga lega, malah jadi kayak balon bocor."

"Sial. Malu banget kalau tadi aku cegukan pas di depan dia."

Ia buru-buru berdiri tegak, menarik napas dalam-dalam. Cegukannya masih tersisa, satu-dua hentakan kecil pada tenggorokannya. Ia tahan napas selama mungkin, hingga wajahnya mulai memerah. Lalu hembus perlahan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel