Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1. Sebesar Gagang Cangkul

******

Di sebuah rumah besar bergaya modern, yang di dalamnya juga berfungsi sebagai kantor pusat perusahaan ekspor-impor ternama Belati International, Arjuna Belati—atau Juna, bagi sedikit orang yang cukup berani menyebut namanya begitu—duduk di balik meja marmer hitamnya.

Cahaya matahari sore menyelinap masuk melalui kaca besar di sisi kiri ruangan, menyinari wajah Juna yang sedang bertumpu pada satu tangan. Kemeja putihnya terlipat rapi hingga siku, dasi hitam longgar menggantung seperti enggan menyentuh kulit lehernya yang berkeringat dingin. Wajahnya tegang, bukan karena laporan buruk—karena tidak ada. Bisnis berjalan sempurna. Namun matanya tampak kosong. Lelah. Bosan.

Juna (dalam hati): "Uang masuk. Proyek jalan. Semua lancar. Tapi kenapa rasanya kayak hidup ini cuma muter di tempat? Gak ada rasa. Gak ada tantangan..."

Di ujung ruangan, Cassandra Mirella berdiri dengan tablet di tangannya. Ia memantau jadwal, mencatat email, dan diam-diam mengamati sang bos.

Cass tampil seperti biasa—rambut diikat elegan, blus putih ketat, rok hitam pensil dan sepatu hak tinggi. Tapi matanya selalu curi-curi pandang ke arah Juna. Ia tahu mood bosnya sedang tidak baik. Dan saat Juna terlihat seperti ini, tak ada satu pun staf yang berani bicara lebih dari satu kalimat.

Cass menggigit bibir pelan, lalu kembali menunduk. Dalam hati ia berpikir:

Cass (dalam hati): "Kenapa dia terlihat... kosong, ya? Padahal semua orang iri sama hidupnya. Kaya, berkuasa... ganteng juga. Tapi sepi. Dan galak. Serem sih, tapi entah kenapa tetep bikin penasaran..."

Tiba-tiba, Juna berdiri. Kursi kulit mahalnya bergeser mundur dengan bunyi berat. Cass kaget, tapi tetap diam.

Juna (datar, tanpa menatap Cass): “Batalkan semua jadwal malam ini. Aku nggak butuh rapat. Aku butuh udara.”

Cass hanya mengangguk cepat. “Baik, Bos.”

Juna meraih jas hitamnya dan berjalan keluar. Langkahnya cepat, tak meninggalkan ruang untuk tanya. Namun sebelum ia menghilang dari pintu, ia menoleh sekilas.

Juna: “Dan jangan ganggu aku... kecuali langit runtuh.”

***

Rumah besar milik Arjuna Belati berdiri megah di pinggiran kota Malang, di sebuah kawasan berketinggian yang sejuk dan tenang. Dari balkon lantai atas, lanskap kota Malang tampak seperti lukisan hidup—kelap-kelip lampu kota, kabut tipis menyelimuti perbukitan, dan angin malam yang menusuk tapi menyegarkan.

Di mata publik, Juna adalah pengusaha muda yang luar biasa sukses. Perusahaannya, Belati International, dikenal sebagai pemain besar di dunia ekspor-impor Asia Tenggara. Ia sering muncul di media bisnis, diundang ke berbagai forum elite, dan menjadi panutan banyak pebisnis muda.

Namun di balik citra cemerlang itu, ada sisi gelap yang hanya segelintir orang tahu. Juna hampir selalu menolak undangan makan malam, gala dinner, dan pertemuan bisnis jika menurutnya tidak menguntungkan. Bagi banyak orang, ini membuatnya tampak angkuh dan misterius. Tapi kenyataannya, semua itu adalah bentuk perlindungan. Ia menolak bukan karena sombong, tapi karena terlalu banyak mata dan telinga di luar sana yang bisa mencium aroma busuk dari bisnis gelapnya—bisnis yang bahkan hukum pun enggan menyentuh.

Di rumah itu, yang juga berfungsi sebagai markas perusahaannya, Juna mengatur segalanya. Tapi akhir-akhir ini, kekuasaan dan uang tak lagi memberi rasa. Ia mulai merasa hampa. Rutinitas membosankan. Perdagangan legal dan rapat-rapat formal tak lagi menggairahkan.

Dan itulah alasan kenapa malam ini, Juna ingin keluar. Bukan untuk relaksasi, tapi untuk sesuatu yang lebih... liar. Sesuatu yang bisa membakar jiwanya kembali.

***

Pukul sembilan malam. Kota Malang mulai meredup, lampu-lampu jalan berpendar dalam kabut tipis yang turun perlahan. Di garasi rumah besar itu, deretan mobil mewah terparkir rapi—BMW 7 Series, Maserati Ghibli, bahkan motor BMW R1200GS berwarna hitam pekat yang jarang disentuh. Tapi bukan itu yang dipilih Juna malam ini.

Dengan tenang, ia menarik jaket kulit hitamnya, lalu mengambil kunci Honda Vario warna abu metalik. Motor itu tidak mencolok, nyaris tak mencerminkan siapa pengendaranya. Dan itu alasan dia menyukainya.

Ia mengenakan helm full face hitam mengilap, menyelipkan earphone ke telinga—musik elektronik pelan mengalun, menyatu dengan degup jantungnya. Sebelum menyalakan mesin, ia menyemprotkan sedikit parfum favoritnya ke leher: Bleu de Chanel. Wangi segar, dalam, dan tajam—seperti dirinya.

Mesin motor menyala lembut. Ia keluar dari gerbang rumah, lalu melaju pelan ke arah barat, menuju dinginnya kota Batu. Angin malam memukul jaketnya, membawa aroma tanah basah dan pepohonan pinus yang tumbuh di sepanjang jalur menanjak.

Dan di balik helm, Juna bermonolog, suara beratnya tenggelam di antara musik dan desir angin.

Juna (dalam hati): “Lucu ya... Di jalan begini, semua orang setara. Nggak ada yang tahu siapa yang bawa motor ini. Nggak ada yang peduli berapa nol di rekeningku, atau berapa banyak orang yang pernah aku habisi.”

“Mereka cuma lihat satu hal—pengendara biasa. Dan kadang, itu lebih menenangkan daripada jadi raja di atas takhta emas.”

“Hidup ini absurd. Dulu aku kejar kekuasaan karena merasa itu satu-satunya yang bisa lindungi aku. Tapi sekarang, semua itu malah jadi jeruji. Sukses tuh... kesepian juga ternyata.”

“Mungkin malam ini aku butuh sesuatu yang lain. Yang nggak biasa. Yang bisa buat aku ngerasa hidup lagi…”

Motor terus melaju. Lampu jalanan menipis. Suasana makin sunyi dan dingin. Di depannya, kota Batu menunggu—gelap, sejuk, dan penuh kemungkinan.

Juna memelankan laju motornya begitu tiba di sebuah area sepi di pinggiran Batu—jalan menanjak yang sunyi, hanya diterangi lampu jalan redup yang jaraknya berjauhan. Pepohonan di sisi kanan kiri bergoyang tertiup angin malam, menciptakan bayangan gelap yang bergoyang perlahan.

Ia baru saja menikmati ketenangan itu, saat tiba-tiba—

BRAKK!

Sebuah benturan dari belakang mengejutkannya. Motornya oleng sedikit, tapi tak sampai tumbang. Juna cepat menahan stang dan berhenti di pinggir jalan. Di belakangnya, sesosok tubuh sudah terguling di aspal, jaket lusuhnya terseret, helmnya terpental ke samping.

Juna turun dari motornya, mengangkat helmnya sedikit, lalu menatap sosok itu dengan wajah kesal dan penuh kuasa. Tubuhnya yang tinggi (185 cm), bidang, dengan postur tegap bak bayangan gelap di bawah cahaya lampu jalan. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras.

Langkahnya mendekat pelan tapi pasti. Sepatunya menapak keras di aspal. Sosok yang menabraknya menggeliat pelan, masih belum sepenuhnya sadar—atau mungkin terlalu takut untuk bicara. Meski perawakannya seperti pria, wajahnya masih tersembunyi dalam bayang-bayang.

Juna (dingin dan mengintimidasi): “Kamu tahu siapa yang kamu tabrak barusan?”

Tak ada jawaban.

Juna (lebih dekat, suaranya berat): “Kalau kamu pikir aku bakal bantu kamu bangun, kamu salah tempat. Yang tabrak, yang minta maaf.”

Ia menunduk sedikit, cukup dekat hingga napasnya terdengar jelas oleh si penabrak.

Juna (matanya tajam menusuk): “Buka mulutmu, atau aku bantu kamu buka... pakai cara yang nggak kamu suka.”

Tapi sosok itu tetap diam. Gemetar. Ketakutan.

Juna berdiri tegak, mendengus pelan. Dari sorot matanya, jelas dia lebih terganggu karena ketenangannya diganggu—bukan karena luka, bukan karena marah. Tapi karena malam yang seharusnya menjadi pelarian, kini berubah jadi interupsi tak terduga.

Juna (pelan, hampir seperti mengancam): “Kalau kamu diam terus, mungkin kamu cocoknya dibungkus, bukan dibantu.”

___________________________

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel