Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Diusir karena Wanita Lain

Brakk..

Terdengar suara pintu dibuka dengan kasar, Sari beserta anak-anaknya yang sedang berkumpul di kamar pun terkejut mendengar suara keras daun pintu yang bertabrakan dengan dinding.

Degh

Jantung Sari berdetak lebih kencang sejenak ia termenung wajahnya berubah pias, ia bisa menerka yang datang itu pasti Roy.

Lia dan Baim saling pandang dengan wajah yang mulai memucat, mereka masih teringat kejadian tadi malam. Sedangkan Akbar, bayi kecil polos yang belum mengerti apapun hanya tertawa dan asik bermain sendiri. Ia belum mengerti masalah besar yang telah terjadi di keluarganya.

"Sari!!"

Tak lama terdengar teriakan lantang, suara bariton yang sangat familiar di telinga Sari juga anak-anaknya.

Mendengar teriakan sang Ayah, Lia langsung memeluk Akbar dan Baim. Tubuh mereka bergetar hebat serta keringat dingin mulai mengalir.

"Kalian tunggu sini aja, yah," ucap Sari berusaha tenang di hadapan anak-anaknya.

Sari segera beranjak dari ranjangnya, dengan perasaan was-was yang menyelimuti, ia membuka pintu kamar untuk menemui Roy, sang suami yang sebentar lagi akan menjadi mantan suami.

Mata Sari menatap tajam kearah sepasang manusia yang masih berdiri didepan pintu.

"Mau apa kamu kesini, Mas?" tanya Sari.

Roy menyeringai sambil berjalan kearah Sari.

"Sekarang cepat kamu kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini!" ucap Roy penuh penekanan.

"Mas, kalo kamu usir aku dari sini . Aku mau tinggal dimana?" tanya Sari dengan mata berembun.

"Ah! Masa bodoh. Sekarang kamu keluar atau mau aku seret." Roy mencengkeram dagu Sari sampai membuatnya meringis.

Heni hanya berdiri menyaksikan pertengkaran itu sambil tersenyum penuh kemenangan.

Tangan Sari diseret dengan kasar hingga ia tertatih mengikuti langkah Roy, tetapi Roy tak perduli tetap berjalan hingga masuk kedalam kamar.

Brak.

Pintu kamar dibuka dengan kasar lalu Roy segera mendorong tubuh kurus Sari kelantai dengan penuh emosi.

Roy menatap lamat kearah anak-anaknya yang sedang berpelukan sambil terisak. Ada sesuatu yang sakit di dalam dada Roy, tapi perasaan itu segera ia buang jauh-jauh.

"Mama!" Teriak Lia dan Baim.

Sari berdiri berjalan tertatih menghampiri anak-anaknya. Mereka saling berpelukan melihat Roy mengeluarkan semua baju-baju Sari dengan penuh emosi.

"Lia. Baim. Dengerin Mama, sekarang kalian pergi ke kamar dan masukkan semua baju kalian," Sari memberi perintah pada kedua anaknya.

Tanpa banyak tanya mereka berdua lari menuju kamar mereka masing-masing dan segera membereskan semua bajunya.

"Cepat pergi dari sini!" Roy membanting koper kehadapan Sari yang telah terisi baju-bajunya.

"Aku akan pergi, Mas! Tapi kamu harus inget satu hal. Suatu saat kamu akan menyesal sudah membuang aku dan anak-anak mu." Sari menatap nyalang kearah Roy.

Roy mencengkeram dagu Sari, "Cih! Membuangmu adalah hal yang paling tepat."

"Allah itu tak tidur, Mas," Teriak Sari.

Roy melepaskan tangannya dari dagu Sari dengan sedikit mendorong membuat tubuh Sari sedikit terjingkat.

Tanpa banyak bicara Sari segera mengendong Akbar dan menyeret koper miliknya keluar.

"Mama!" Teriak Lia dan Baim, mereka sudah siap dengan tas mereka masing-masing.

"Ayo, kita pergi dari sini, Nak," ucap Sari dengan nafas tersengal karena terlalu lama menangis.

Sari melangkah keluar, sejenak ia berhenti tepat di hadapan Heni. Heni masih berdiri di tempat tadi, tersenyum mengejek sambil mengelus perut buncitnya, seolah ia memberitahu bahwa ia sedang mengandung.

Hati Sari sakit luar biasa, dia tak menyangka rumah tangganya akan hancur oleh wanita lain. Sari mengusap air matanya dengan kasar.

"Puas kamu! Dasar wanita j*l*ng!" Sari menatap tajam kearah Heni. Rasanya ia ingin sekali membunuh wanita itu, tetapi ia memikirkan nasib anak-anaknya. Jika Sari berbuat di luar batas bisa saja dia masuk penjara.

Heni sedikit mundur, ia merasa takut melihat kilat kebencian dari sorot tajam mata Sari.

"Cepat pergi dari sini!" Bentak Roy sambil menghampiri Heni.

"Denger gak kata calon suami aku!" ucap Heni. Heni berani bersuara karena disisinya ada Roy. Dia yakin Roy akan membela dirinya dari pada istrinya sendiri.

Sekilas Sari memandang mereka bergantian, tanpa basa basi Sari dan ketiga anaknya melangkah beriringan sambil terisak meninggalkan rumah mereka. Rumah yang menjadi saksi bahwa dulu mereka pernah tinggal di sana dengan penuh kebahagiaan. Namun, kini rumah itu hanya tinggal kenangan buat mereka.

Sari dan anak-anaknya terus berjalan menyusuri jalanan tanpa mempunyai tujuan.

"Ma. Kita mau kemana?" Tanya Baim, bocah gempal itu sepertinya sudah sangat lelah sampai akhirnya mulai bertanya pada sang mama.

"Kita jalan dulu aja ya, Sayang. Baim masih kuat 'kan." Sari berhenti dan mengusap sayang pucuk kepala Baim.

Baim menggangguk walau lelah, tetapi ia tak mau menambah beban mamanya. Kemudian Baim segera melangkah kakinya menyusul sang kakak yang sudah jauh di depan.

"Lia. Baim. Kita istirahat kewarung itu dulu yah."

Lia dan Baim pun mengiyakan ucapan Sari dengan wajah sumringah. Memang sejak tadi mereka sangat lapar, tapi mereka tak berani bilang pada sang Mama.

Lia dan Baim makan dengan lahap, Sari tak makan ia sama sekali tak merasa lapar, mulutnya terasa pahit sepahit kisah rumah tangganya.

Sari bingung, ia harus pergi kemana membawa serta anak-anaknya. Uang tabungannya hanya tinggal dua juta.

****

Sari termenung dengan tatapan kosong sambil mengelus kepala Akbar yang terlelap di pangkuannya, pikirannya jauh menerawang entah kemana. Sesekali ia melirik kearah Lia dan Baim yang masih asik mengunyah makanannya dengan lahap.

Beberapa orang yang berada di warung terlihat sesekali menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, tapi Sari tak perduli ia kembali termenung.

Hati Sari sakit, terlampau sakit hingga air matanya pun tak lagi keluar seolah telah mengering. Hanya sesekali helaan nafas yang terdengar berat keluar dari mulutnya.

****

"Sayang, makasih ya. Kamu sudah menepati janji kamu ke aku." Heni menggelayut manja di lengan Roy sesaat setelah kepergian Sari.

Tak ada penyesalan di diri Heni melihat pengusiran tadi. Sesama wanita sepertinya Heni telah kehilangan rasa empati di dirinya.

"Apapun akan aku lakukan demi kamu." Roy mencolek dahu Heni, membuatnya tersenyum malu-malu.

"Terus kapan kita nikah? Tuh liat perut aku sudah makin besar." Heni mengerucutkan bibirnya dan mengelus-elus perut. Usia kehamilan Heni memasuki 24 Minggu, membuat perut ratanya semakin terlihat membuncit.

"Sabar, sayang. Kita nikah siri dulu aja ya. Aku perlu waktu untuk meminta ijin kedua orangtuaku." Roy mencoba menenangkan Heni.

Roy berpikiran keras bagaimana jika kedua orangtuanya tahu perselingkuhan dirinya dan Heni pasti kedua orangtuanya marah besar. Terlebih ia telah tega mengusir Sari dan anak-anaknya. Kedua orangtuanya sangat menyayangi Sari. Roy takut jika semua warisannya dari kedua orangtuanya tak jadi diberikan untuknya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel