Bab 5 Rencana Busuk Roy
Plak!
Roy menampar Sari hingga jatuh menabrak sofa, darah segar mengucur dari sudut bibirnya. Sari berdiri dengan tertatih sambil mengelap sudut bibirnya yang terasa sangat perih. Ia menatap nyalang kearah sang suami.
"Kenapa diam, Mas! Tampar lagi Mas! Tampar! Bunuh aja aku sekalian. Kamu lebih pilih wanita j*l*ng itu!" teriak Sari.
Tak ada lagi rasa cinta dan hormat yang biasa dia persembahan untuk sang suami yang ada kini hanya rasa benci yang sudah mengakar.
"Diam! Sari Kumala! Malam ini juga kamu! Kutalak tiga! Sekarang kamu pergi dari rumahku! Dan bawa semua anak-anakmu yang rakus ini! Aku sudah gak kuat memberi mereka makan." Teriak Roy.
"Rumahmu? Cuih! Kamu ga ingat separoh pembangunan rumah ini pake uangku! Dan satu lagi dasar laki-laki pecundang! Jangan kamu jadikan alasan anak-anak makan banyak untuk menceraikan aku. Itu hanya omong kosongmu! Semua ini karena wanita jalang itu kan!" ucap Sari dengan tersenyum sinis.
"Diam! Jangan pernah sebut dia wanita jalang," ucap Roy sambil melangkah pergi keluar.
Tak lama kemudian terdengar suara mobil pergi menjauh.
Seketika tubuh Sari luruh kelantai, ia terduduk sambil meraung-raung dan memukul-mukul dadanya sendiri yang terasa sangat sesak. Nafasnya tersengal, air matanya tumpah tak tertahankan.
Lia dan Baim serta Akbar yang masih di gendongan sang kakak berjalan kearah sari.
"Mama," ucap Lia dan Baim bersamaan sambil berderai air mata.
Sari pun mengambil Akbar dari gendongan Lia. Akbar, bayi kecil itu memeluk erat sang mama seolah mengerti hati mamanya sedang terluka. Akbar tak lagi menangis setelah berada dipelukan sang mama.
Lia dan Baim pun memeluk mamanya sambil terisak. Mereka bersimpuh dan saling berpelukan erat, hening. Mereka saling diam tanpa kata seolah hanyut oleh pikiran masing-masing hanya Isak tangis yang terdengar menggema di keheningan malam.
Beruntung rumah mereka kedap suara, jadi keributan tadi tak terdengar keluar.
Malam makin larut, Sari masih terisak dipinggir ranjangnya. Hening, hanya Isaknya yang terdengar dikeheningan malam.
Lia, Baim dan juga Akbar sudah terlelap setelah mereka kelelahan menangis, beringsur sari mendekati dan memandang wajah anak-anaknya. Diusap dan diciumnya wajah polos mereka bergantian.
"Maafkan mama, ya nak. Belum bisa menjadi ibu yang baik untuk kalian."
Air mata Sari kembali mengalir dengan derasnya, pikirannya melayang jauh memikirkan nasib biduk rumah tangganya. Suami yang sangat dia cintai telah tega menalaknya, ia terbayang akan nasib anak-anaknya hari esok. Pipinya masih terasa perih tetapi didalam dadanya ada yang lebih sakit, ini lah yang dinamakan sakit tak berdarah.
Sari beranjak dari ranjangnya menuju kamar mandi, dia mengambil air wudhu. Ia ingin mencurahkan semua masalahnya pada Sang Khalik, Yang Maha Tahu segalanya.
****
Di lain tempat..
Roy memacu mobil dengan kecepatan kencang pergi meninggalkan rumah. Setelah pertengkarannya tadi dengan Sari membuat kepalanya berdenyut nyeri.
Ada sebongkah rasa bersalah dilubuk hatinya yang terdalam. Namun, semua sudah terlambat perselingkuhan yang awalnya hanya mencoba membuat Roy harus menanggung semua akibatnya.
"Ah, sial!"
Roy memukul stir mobilnya berulang kali. Ia teringat awal pertemuannya dengan Heni, gadis yang terlihat polos dan juga baik hati. Pesona Heni dapat mengetar hati Roy dan melupakan keluarga kecilnya.
"Perkenalkan nama saya Heni," ucap Heni kala itu. Namun, saat itu Roy tak menghiraukan Heni. Ia hanya bersikap sebatas yang saja.
Beberapa bulan kemudian, Roy diangkat menjadi seorang manager dan atas usulan beberapa rekan kerja, Heni diangkat menjadi sekertaris pribadi Roy.
Hingga suatu malam, pekerjaan kantor menumpuk membuat Roy dan Heni harus bekerja ekstra.
"Heni, sudah malam, pulanglah. Biar aku saja yang menyelesaikan semua ini," ucap Roy, ia tak tega melihat Heni masih bekerja pada hal hari sudah larut.
"Ga papa, saya akan bantu bapak hingga selesai," ucap Heni lembut sambil tersenyum.
"Jangan di luar sudah mendung, sebaiknya kamu pulang duluan."
Berulang kali Roy menyuruh Heni untuk pulang karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, Heni kekeh tetap ingin membantu.
"Huh, terserah kamu saja, Hen."
Akhirnya, Roy menyerah membujuk Heni. Mereka berdua lembur dikantor sampai larut malam.
"Heni, tolong bawa berkas yang ada di mejamu ke sini." Teriak Roy,
Hening
"Heni." Roy mencoba memanggil Heni lagi, tapi tak ada jawaban. Ia pun penasaran dan melangkah menuju meja Heni. Takut jika terjadi sesuatu pada sekertarisnya.
"Yah, tidur. Pantes saja," gumam Roy saat ia melihat Heni terlelap di atas mejanya.
Roy memutuskan untuk mencari sendiri file yang dia butuhkan, tak sengaja Roy melihat kancing baju Heni terbuka hingga sesuatu yang harusnya tertutup malah menyembul keluar, ditambah lagi rok Heni yang pendek memperlihatkan paha mulusnya.
Seperkian detik Roy terpaku memperhatikan pandangan yang indah itu membuat jiwa kelelakiannya bangun.
"Heni," desisnya dengan menelan Saliva susah payah.
Roy pun tak dapat menahan diri saat melihat Heni. Entah dorongan dari mana Roy langsung mengendong tubuh Heni dan membaringkanya di lantai.
"Pak! Lepasin saya," Heni kaget, matanya membulat sempurna saat melihat kancing bajunya telah terbuka setengah.
"Heni, maafkan aku," gumam Roy sambil melanjutkan aksinya.
"Pak, tolong lepaskan!" Teriak Heni sambil memukul-mukul dada bidang Roy.
"Heni, aku cinta sama kamu. Apapun yang terjadi aku akan tanggung jawab," ucap Roy dengan nafas memburu.
"Sungguh?" tanya Heni menatap mata Roy.
"Sungguh sayang."
Akhirnya, malam itu terjadi, Heni membiarkan Roy mengoyak keperawanan hanya dengan sebuah ucapan janji manis.
Setelah, kejadian itu Roy dan Heni tak menyesal, malah mereka sering mengulangi kelakuan mereka layaknya sepasang suami istri.
"Mas, kamu harus tanggung jawab! Atau kamu mau semua orang tau perselingkuhan kita!" Ancam Heni pada Roy.
Ancam itu selalu terngiang dalam benak Roy, hingga ia tega mengusir Istri beserta anaknya hanya demi Heni.
Roy bergegas menuju kerumah kontrakan dimana Heni tinggal. Dia berencana akan membawa Heni besok pulang dan tinggal dirumah. Roy lebih memilih Heni yang cantik, seksi walaupun Heni manja. Dia sudah tak ingin melihat Sari yang kucel ditambah anak-anaknya yang makan berkali-kali. Rakus, batinnya.
****
"Tok.tok"
Krek
Pintu terbuka seorang wanita hamil keluar dengan tersenyum manis merentangkan kedua tangannya dan memeluk Roy dengan mesra.
"Mas, kamu berhasilkan ngusir istri kamu?" Tanya Heni dengan suara dibuat-buat.
"Berhasil, sayang," jawab Roy sambil menggendong heni menuju kamar mereka.
Diletakan tubuh heni perlahan diatas kasur yang empuk. Roy pun duduk disebelahnya sambil membuka baju.
"Terus kapan kamu nikahin aku mas. Nanti keburu anak aku lahir. Aku takut ketahuan ibu dan bapak." Rengek Heni sambil melingkarkan tangannya kepinggang Roy.
"Sabar sayang. Besok kita pindah dulu biar gak ngontrak lagi," ucap Roy sambil merebahkan tubuhnya di samping sang istri.
"Ah! Sabar. Sabar. Sampai kapan." Heni membalikkan tubuhnya memunggungi Roy.
Roy semakin gemas, ia tau pasti Heni sangat takut kehilangannya. Roy pun memeluk tubuh heni yang terlihat sangat s*xy dengan perut membuncit ditambah Heni menggunakan lingerie hitam transparan yang memperlihatkan setiap lekuk tubuh indahnya.
"Udah kamu tenang aja, yank! Kita olahraga dulu, yuk," ucap Roy sambil menciumi tengkuk Heni.
.
