Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Harga Diri Roy

Sari segara mengarahkan pandangan kearah pintu ternyata. Roy sedang melangkah masuk sambil menggandeng wanita hamil tempo hari yang tak sengaja bertemu di minimarket. Mereka terlihat sangat mesra dengan sesekali terlihat gelak tawa dari keduanya.

Wajah Sari memerah, dadanya terasa sesak melihat suaminya begitu mesra dengan wanita lain. Karin yang menyadari sahabatnya menahan amarah pun mencoba menenangkan.

"Sar, sabar. Jangan gegabah. Tahan dulu emosimu," ucap Karin.

"Aku harus gimana, Rin. Suamiku sudah berani terang-terangan main gila." Ucap Sari dengan wajah frustasi.

"Kita balas! Tapi kita harus main cantik." Ucap Karin sambil tersenyum sinis.

"Baiklah! Aku ga boleh lemah lagi. Aku punya ide!" Ucap Sari sambil menyeka kasar air matanya dan beranjak menuju meja di mana suaminya duduk.

"Sari, jangan macem-macem!" Bisik Karin saat melihat sari membawa garpu ditanganya. Karin takut sari khilaf dan melakukan hal diluar batas.

Namun, karin juga tak mau terlalu ikut campur tentang masalah rumah tangga sahabatnya itu. Karin pun memutuskan untuk memperhatikan apa yang akan di lakukan sari dari kejauhan.

Sari berjalan santai menuju meja sang suami, tak ada lagi air mata yang menetes dipipinya. Dia bertekad membuang semua rasa cintanya. Dihatinya hanya ada dendam yang menguasai.

Roy dan si wanita tak menyadari keberadaan sari. Mereka tengah asik bercanda tawa sambil sesekali menunjukkan kemesraan.

Cukk..

Garpu menancap dengan sempurna pada sepotong daging yang ada dihadapan mereka. Seketika wanita itu terjingkrak kaget. Roy pun menatap wajah Sari tegang. Sari dengan santai duduk di hadapan mereka, tersenyum menyeringai. Sari terus menusuk-nusuk daging mengunakan garpu dengan emosi. Matanya menatap tajam menyiratkan sebuah amarah.

Roy dan si wanita saling pandang melihat Sari. Raut wajah Roy panik terlebih si wanita wajahnya telah memucat. Roy pun segera menyuruh kekasihnya itu menjauh. Roy mencoba mendekati sari yang masih terus menghancurkan daging dengan garpu sampai daging itu tak berbentuk.

Seketika semua orang yang ada di sana diam melihat tingkah sari. Mereka bergidik ngeri, sari bertingkah seperti psikopat.

"Sar, kamu tenang, yah. Ini ga seperti yang kamu lihat." Ucap Roy hati-hati, ia tau bahwa sari sedang emosi.

"Nasib seorang pengkhianat akan sama seperti nasib daging ini." Ucap Sari penuh penekanan.

Mendengar ucapan itu membuat lidah roy terasa keluh, tenggorokannya terasa tercekat. Namun, dia berusaha sebisa mungkin untuk tenang.

"Maksud kamu apa?" Tanya Roy pura-pura bodoh.

Sari memandang wajah suaminya dengan tatapan tajam, membuat Roy gugup bukan main. Dari kejauhan Karin terkiki geli melihat akting sahabatnya itu. Karin yakin sari tak mungkin melakukan hal yang akan merugi kan dirinya sendiri.

Wanita hamil tadi memanggil-manggil Roy dengan suara yang dibuat-buat membuat Sari ingin muntah mendengarnya. Roy pun semakin gugup terlihat dari raut wajahnya ia dilanda bingung.

Sari pun segera pergi meninggalkan meja, karena rasanya sudah cukup untuk awal memberi mereka sedikit senam jantung.

Sari beranjak pergi, tak lama wanita itu menarik lengan Roy dan melangkah keluar.

Karin masih terkiki ditempat duduknya, sari kembali menghampiri sahabatnya itu dengan tersenyum puas.

"Nah, gitu donk. Lawan. Jangan nangis." Ucap Karin sambil mengacungkan dua jempol kearah sari.

Sari pun tergelak, ia tak lagi menangisi pengkhianatan suaminya. Dia akan berdamai dengan hatinya demi anak-anaknya.

Sari mengutarakan maksud hatinya pada Karin.

"Rin, kamu sudah liat gimana kelakuan Mas Roy. Dia juga udah ga pernah kasih aku nafkah lagi. Nah, aku mau minta bantuan sama kamu. Kalo aku kerja ikut kamu, gimana?" ucap Sari dengan lirih. Sebenarnya, ia merasa tak enak meminta bantuan pada sahabatnya itu tetapi ia juga perlu uang untuk kelangsungan hidup mereka.

Mendengar ucapan malu-malu Sari, Karin tersenyum manis menatap wajah lelah Sari.

"Bolehlah. Boleh banget. Kebetulan aku lagi butuh desainer, dan kamu kan jago gambar,"ucap Karin sambil tersenyum renyah.

"Ta-tapi," ucap sari terbata.

"Ah! Ga usah tapi. Tapi-an segala." Karin memotong ucapan sahabatnya itu, karena dia tau pasti sari ragu akan kemampuannya sendiri.

"Rin, satu lagi," ucapan sari menggantung.

"Apa?" Tanya Karin penasaran.

Karin memandang wajah Sari yang terlihat gugup.

"Itu. Akbar masih kecil, boleh kan aku bawa," ucap sari malu-malu.

"Ya, elah kirain apaan. Kerjamu dirumah aja, selesai gambar baru kirim," Ucap Karin santai sambil menyedot jus semangka dihadapannya.

Setelah Karin dan Sari selesai, mereka pun segera pergi dari cafe tersebut. Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Sari bergegas memacu motornya dengan kencang, memburu waktu ingin segera pulang. Dia takut Lia dan Baim pulang terlebih dahulu akan bingung mencari mamanya.

***

Brakk..

"Sari!"

"Sari!"

Terdengar pintu dibuka dengan kasar, juga teriakan Mas Roy yang menggema keseluruh penjuru ruangan.

Lia dan Baim berlari kearah Sari yang sedang menyusui Akbar. Akbar menangis kencang, kaget. Mendengar suara sang ayah. Sari segera memberikan akbar kepada Lia untuk menjaganya. Sari juga melarang anaknya ikut keluar kamar karena dia yakin Roy sedang marah besar.

Sari berjalan keluar kamar dengan santai, tak ada sedikitpun ketakutan dalam dirinya. Yang tersisa dihatinya adalah kebencian yang mendalam.

"Sari!" Bentak Roy dengan mata merah menahan amarah, nafasnya memburu dan rahangnya bergemeretak.

"Iya, mas," ucap sari tenang.

"Dasar istri ga tau malu." Ucap Roy dengan tatap nyalang.

"Maksud mas apa. Bukannya mas yang ga tau malu. Siapa wanita hamil itu mas!" Ucap Sari tak mau kalah.

"Jaga mulutmu ya!"

"Mas kemana aja seminggu ga pulang. Ga inget anak istri. Malah jalan sama perempuan murahan." Ucap Sari lantang

Roy naik pitam, nafasnya memburu,"dia bukan perempuan murahan. Dia itu calon istriku."

"Mana ada perempuan baik-baik yang ngerebut suami orang! Calon istri katamu, cuih. Berarti selama ini kalian berbuat zinah! Iya sejak kapan mas. Sejak kapan?" Ucap Sari terisak sambil memukul-mukul dada Roy.

Sari tak dapat lagi membendung air matanya. Dadanya terasa sesak mendengar pengakuan langsung dari mulut suaminya sendiri. Suami yang selama ini begitu dia cintai ternyata tak lebih dari seorang pengkhianat.

"Hah!" Roy mendorong kasar tubuh istrinya hingga sari tersungkur kelantai.

"Mama!" Ucap Lia dan Baim bersamaan saat melihat mamanya tersungkur dilantai.

Baim serta Lia yang menggendong Akbar berlari menghampiri sang ibu yang masih terduduk dilantai. Mereka saling berpelukan dan menangis histeris.

Roy mengacak kasar rambutnya.

"Ayah kenapa tega sama mama!" Ucap Baim polos.

"Diam kamu anak rakus!" Bentak Roy

"Ayah jahat. Aku benci sama ayah!" Teriak Lia sambil meraung-raung.

"Diam kamu! Anak kecil tau apa?" Roy menunjuk wajah Lia.

"Mas, sudah mereka itu anak-anak kamu! Kamu jang- " ucapan Sari terpotong kala Roy mencengkeram keras rahang sari.

"Ayah jangan." Baim mencoba melepas tangan sang ayah.

Roy lepaskan cengkraman tangannya dan menghentak Baim, hingga bocah tak berdosa itu jatuh tersungkur menabrak meja.

Sari dan Lia histeris melihat dahi Baim mengeluarkan darah kerena terkena benturan ujung meja. Roy yang melihat anaknya celaka hanya dia mematung tanpa menolongnya.

"Aku ga papa kok ma," ucap Baim lirih sambil memegang kepalanya.

Sari berdiri dan menghampiri Roy, emosinya sudah tak bisa terkendali.

Plak!

Plak!

Dua kali tamparan mendarat mulus dipipi Roy. Roy pun tersentak tak menyangka sari berani melakukannya.

Nafas sari memburu, dia tak terima anaknya disakiti walaupun oleh ayahnya sendiri.

"Mas! Kamu boleh sakiti aku. Tapi jangan pernah kamu sentuh anak-anak. Mereka anakmu juga. Apa kamu lupa! Salah kami apa sama kamu! Apa karena wanita j*l*ng itu-,"

Plak!

"Diam kamu!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel