Bab 2 Fakta menyakitkan
Setelah Lia dan Baim pergi ke sekolah, Sari mengendong Akbar untuk berjemur di depan rumah. Lia dan Baim satu sekolah, Lia kelas 3 SD dan Baim baru kelas 1. Beruntung jarak rumah antar sekolah sangat dekat jadi mereka bisa berangkat sendiri tanpa perlu Sari mengantar dan menjemput.
Setelah beberapa menit berada di luar Sari kembali masuk kedalam rumah. Sari mencari Roy di dapur, tapi tak ada. Sari pun pergi kekamar melihat suaminya terlelap. Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah 8 pagi.
"Mas, kamu ga pergi kerja?" tanya Sari sambil meletakkan Akbar, di tempat bermainnya.
"Berisik! Aku mau tidur," ucap Roy tanpa membuka mata.
"Mas. Kamu semalam kemana? Kamu ga tidur?" Sari menggoyang-goyangkan tubuh Roy.
Sari semakin curiga pada Roy, apa lagi Sari mencium bau parfum wanita di baju Roy. Hatinya kian panas, tetapi sebisa mungkin ia sembunyikan.
***
Sari sedang mencuci baju, tak lama Roy datang dengan pakaian yang sudah rapi.
"Mas, mau kemana?" Tanya Sari penasaran karena ini sudah pukul 11 siang. Berangkat kerja pun pasti sudah sangat telat.
"Ah! Bawel. Nih cuci aja." Roy melempar baju dan celana tepat ke wajah Sari.
Roy berlalu tanpa menjawab pertanyaan Sari. Hati Sari amatlah perih untuk sekian kalinya Sari seperti tak dianggap.
Sari pun mencuci celana tersebut tanpa sengaja dia memegang sesuatu yang terasa aneh di kantong celana. Ia penasaran dan merogoh kantong tersebut.
Mata Sari terbelalak melihat sebuah kertas struk tarik tunai bernilai 10 juta rupiah dan sesuai tanggal pengambilan tadi malam.
Dada Sari bergemuruh hebat, tak menyangka selama ini suaminya mempunyai uang sebanyak itu. Sedangkan di rumah, dia dan anaknya dilarang makan lebih dari 2 kali serta uang belanja pun tak diberi.
Terlebih anak-anak, hanya karena makan nambah saja akan menjadi perkara yang besar. Hati Sari kian perih, ia bingung harus berbuat apa.
Selama ini dia tak menaruh sedikit pun rasa curiga pada suaminya. Memang bisa dibilang menginjak usia kepala empat Roy masih terlihat gagah, dengan tinggi proposional, perut kotak-kotak bak binaragawan karena ia memang sangat menjaga tubuh.
Sedang Sari masih berusia 29 tahun, Sari menikah saat usianya 19 tahun sedang Roy sudah berusia 30 tahun. Namun, karena pesona Roy membuat Sari dimabuk kepayang. Belum selesai kuliah Sari memutus untuk menikah dan berhenti kuliah.
Saat itu, kedua orang tua Sari melarang tetapi Sari tetap nekad. Akhirnya, kedua orang tua Sari mengalah. Beberapa tahun kemudian kedua orang tua Sari meninggal.
Sari adalah anak tunggal, sama seperti Roy. Makanya, mereka bertekad ingin mempunyai banyak anak.
Oek, oek,
Tangisan Akbar membuat Sari tersadar dari lamunannya. Dia segera menghampiri Akbar. Sari berbaring sambil menyusui Akbar. Ia menatap kearah lemari tiba-tiba muncul ide di kepalanya. Sari pun tersenyum sinis.
Setelah Akbar tidur pulas, Sari segera bangun dan berjalan menuju lemari. Lemari besar dengan 3 pintu berwarna putih itu dia buka dengan hati-hati. Sudah lama Sari tak pernah membukanya karena lemari itu memang lemari khusus untuk menyimpan surat-surat penting.
Sari mengeluarkan sertifikat rumah dan menyimpan di tempat lain. Dia ingin mengamankan apa yang menjadi hak anak-anaknya. Walaupun Roy belum terbukti selingkuh, tetapi dia mulai khawatir dengan tingkah Roy.
Dari lubuk hatinya yang paling dalam, tak pernah terbesit sedikit pun keinginan untuk berpisah. Namun, jika Roy sampai terbukti memiliki wanita lain, hatinya pun tak bisa memaafkan sebuah pengkhianatan.
Sari berencana akan menanyakan soal struk tarik tunai yang tadi dia temukan di kantong celananya.
Tak lama kemudian, Lia dan Baim pulang kerumah.
"Ma, laper," keluh si Baim.
Baim memang anak yang memiliki nafsu makan lebih banyak dari sang kakak. Berbeda dengan Lia di usianya yang masih sangat kecil dia seolah sudah mengerti keadaan orang tua mereka. Tak jarang Lia mengalah jatah makannya di makan sang adik.
Melihat itu semua hati Sari sakit seperti dihujam sembilu. Dia teringat almarhum kedua orang tuanya dahulu.
Iya, kedua orangtua sari dulu tak merestui hubungan sari dan Roy. Namun, sari yang sudah dilanda asmara tak dapat dicegah lagi. Mengingat itu semua membuat dada sari terasa sesak. Semua penyesalan sudah terlambat.
"Ma, Baim boleh makan ya." Baim menggoyang-goyangkan lengan mamanya.
"Boleh, nak. Kita beli nasi bungkus aja ya."
Baim pun mengangguk dengan mata berbinar. Setelah sari menitipkan Akbar pada Lia. Dia dan Baim pun bergegas menuju ke warung yang tak jauh dari kompleks dia tinggal.
"Eh! Bu sari tumben beli nasi," ucap Bu Ratih, tetangga dari yang terkenal penyebar kabar gosip di komplek mereka.
Sebenarnya sari enggan bertemu bu Ratih tetapi sudah terlanjur pesan jadi mau tak mau sari menunggu.
"Iya, Bu," jawab sari sambil tersenyum kecut.
"Eh! Bu sari. Maaf ya mau nanya nih," bisik Bu Ratih di telinga sari.
Perasaan sari mulai tak enak, tetapi sebisa mungkin dia berusaha tenang.
"Mau nanya apa, Bu?" Ucap sari ragu.
"Kemarin malam saya gak sengaja liat pak Roy sama wanita hamil di swalayan gitu." Tanya Bu Ratih kepo.
Degh.
"Wanita hamil ?" Gumam sari, ada rasa nyeri dihati mendengar hal tersebut.
"Iya, itu siapa yah," ucap Bu Ratih, semakin perasaan. Beruntung di warung sepi hanya ada dia dan Bu Ratih.
"Mungkin teman kantornya, Bu." Ucap sari menutupi.
"Ah! Masa iya. Mereka gandengan mesra gitu masuk kedalam mobil. Bawa kresek banyak kaya habis belanja gitu," lanjut Bu Ratih.
Pesanan sari sudah siap dia segera membayar dan pamit pulang. Dia sengaja tak ingin berlama-lama di warung karena jika dia terus di situ akan lebih banyak lagi pertanyaan yang Bu Ratih tanyakan. Sari tak ingin masalahnya jadi bahan gosip di komplek mereka.
Sepanjang perjalanan ucapan Bu Ratih terus saja memenuhi pikiran sari. Dia menggandeng Baim tapi pikiran melayang jauh entah kemana.
Sari berpikir jika memang Roy selingkuh, apa salah dia hingga Roy berpaling. Padahal sebisa mungkin dia mengutamakan kebutuhan suaminya. Walaupun repot dengan ketiga anaknya tetapi Sari selalu meluangkan waktu untuk Roy.
***
Malam tiba, Roy pulang dengan wajah lesu. Sari pun seperti biasa menyambut kedatangan suaminya dengan senyuman walau hatinya entah sudah seperti apa.
"Mas, mau makan?" Tanya sari setelah Roy mandi dan duduk di ruang tamu sedang asik memainkan ponselnya.
"Aku sudah makan tadi." Ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.
"Mas, ada yang perlu aku omongin." Ucap Sari lirih.
"Kalo mau ngomong. Ngomong aja," Ucapnya dengan nada tinggi tanpa memandang wajah Sari.
"Mas. Ini apa?" Ucap Sari sambil menunjukkan, struk tarik tunai kehadapan Roy.
Degh!
