Bab 1 Roy Murka
"Baim!!" teriakan Mas Roy menggema ke seluruh ruangan.
Sari yang sedang menidurkan Akbar, anak bungsunya yang masih berusia satu tahun di kamar, terlonjak kaget mendengar teriakan suaminya, Roy.
Sari buru-buru meletakan Akbar di kasur dan berjalan tergesa menyusul Baim, anak keduanya. Sari tau teriakan Roy pada anaknya, pasti karena Roy murka melihat Baim sedang makan.
"Ampun, Yah. Sakit!" ucap Baim sambil memengang tangan Roy yang sedang menjewer telinganya.
"Makanya! Jadi anak jangan bandel!" bentak Roy.
Sari yang melihat kejadian itu langsung memeluk Baim, dan melepas tangan Roy.
"Mas, sudah. Kasian Baim," ucap Sari sambil memeluk Baim yang sedang menangis.
"Eh! Sari. Liat tuh kelakuan anak kamu. Dia habiskan semua makanan. Dasar anak rakus!" Roy membanting tudung saji dengan kasar. Terdengar nafas memburu menahan amarah dan berlalu pergi.
"Mas. Kamu mau kemana?" Teriak Sari saat melihat Roy masuk ke dalam mobil.
Namun, Roy tak menghiraukan teriakannya dan tetap menjalankan mobil keluar dari carport dan pergi entah kemana.
Melihat suaminya pergi, Sari pun terisak menyandarkan tubuh di depan pintu. Pikirannya kalut, hatinya pun sakit melihat Baim dimaki ayahnya sendiri karena hal sepele.
Sari dan Roy telah menikah selama 10 tahun dan dari pernikahannya, mereka telah dikaruniai 3 orang anak. Lia anak sulung berusia 9 tahun, Baim berusia 7 tahun dan Akbar si bungsu.
Roy dulu adalah seorang suami idaman yang penuh kasih sayang dan sangat mencintai anak-anaknya.
Namun, beberapa bulan terakhir ini sikapnya berubah 180 derajat. Dia menjadi sosok Ayah yang menakutkan untuk anaknya dan juga menjadi suami yang kasar.
Roy tak pernah lagi memberi jatah bulanan pada Sari seperti dulu dengan alasan gajinya tak dibayar oleh kantor. Sari pun percaya ucapan Roy dan sebisa mungkin dia bersabar.
"Mama. Maafin Baim," ucap bocah kecil yang memiliki tubuh gempal itu datang menghampiri Sari yang masih termenung.
Mendengar ucapan Baim, Sari pun segera mengusap air matanya dan tersenyum dipaksa. Dia tak mau putranya merasa sedih melihatnya menangis.
"Baim. Ga salah Nak. Mungkin Ayah capek. Oiya anak mama kalo makan dikit aja ya. Kasian Ayah ga kebagian," ucap Sari sambil mengelus lembut kepala Baim.
"Maaf, Ma. Baim laper seharian kan ga makan," ucap Baim polos.
Mendengar ucapan polos Baim, membuat hati Sari sakit. Memang Baim tak salah, di masa usia pertumbuhan seperti ini sangat wajar jika dia membutuhkan gizi yang banyak.
Selain, tak memberi jatah bulanan Roy juga melarang Sari dan anak-anaknya makan 3 kali sehari.
Kami hanya boleh makan pagi dan malam hari dengan jatah beras yang dimasak setengah liter.
Mas Roy memberikan uang sebesar 10 ribu dan setengah liter beras untuk dimasak tiap harinya, sebagai ganti uang bulanan yang tak dia beri.
Sari tentu sangat susah dengan jatah yang tak masuk akal ditambah dia memiliki 3 orang anak. Lia dan Baim yang bersekolah terpaksa tidak diberi uang jajan.
Beruntung sari masih memiliki sedikit tabungan dari sisa-sisa uang bulanan yang dulu diberikan oleh Roy.
Sari juga mulai memutar otak mencari penghasilan tambahan dengan berjualan online. Hasilnya sedikit bisa membantu keuangan Sari.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tetapi Roy belum juga pulang. Sementara Lia, Baim dan Akbar sudah tertidur pulas.
Sari termenung memikirkan kemana Roy pergi. Dipandanginya satu persatu wajah polos anak-anaknya, tanpa terasa air mata menetes deras di pipi. Sari tak kuasa menyembunyikan luka, luka yang sudah di torehkan Roy di hatinya. Namun, rasa cinta pada Roy yang besar membuat Sari masih tetap bertahan. Sari juga bingung harus pergi kemana, kedua orang tua Sari telah lama tiada.
Sari tak habis pikir mengapa Roy bisa berubah drastis seperti ini. Tiap hari Roy marah-marah hanya karena hal sepele. Setelah marah dia akan pergi dan tak kembali hingga pagi menjelang.
Sari tak pernah tahu berapa gaji Roy. Namun, selama ini Sari tak melihat gelagatkberpikiran mungkin Roy melarang Sari dan anak-anaknya makan banyak karena sedang berhemat.
Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam Roy belum juga pulang. Sari gusar dilanda cemas takut terjadi sesuatu pada Roy. Sari pun mengambil benda pipih yang tergeletak di meja sebelah ranjang dan mencari kontak 'suami' segera dia menelepon Roy. Beberapa kali Sari mencoba menghubungi Roy. Namun, nihil panggilannya sama sekali tak diangkat.
Oek, oek,
Bayi Akbar menangis, sepertinya dia haus. Sari segera berbaring di sebelah dan menyusuinya. Tanpa terasa Sari pun terlelap.
***
Drrt
Bunyi ponsel berdering, Sari pun mengerjapkan mata berkali-kali. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Sari tiba-tiba teringat pada suaminya. Roy belum juga pulang. Sari segera membuka sebuah pesan yang masuk lewat aplikasi hijau berlogo gagang telepon itu. Sebuah pesan yang dikirim dari nomor tanpa nama.
Sari membulatkan mata sempurna, tubuhnya bergetar hebat melihat foto yang barusan dikirim. Tanpa terasa ponsel terjatuh dari tangannya.
"Mas Roy," ucap Sari yang mulai terisak, tubuhnya seketika lemas.
Sari terus terisak di keheningan malam menatap nanar layar ponselnya. Sebuah foto tak senonoh terpampang jelas di layar. Seorang wanita terlihat sedang memeluk seorang lelaki tanpa busana dengan bertutupkan selimut setengah badan. Wajah lelaki itu tak terlihat jelas di gambar, tapi Sari yakin bahwa lelaki itu Mas Roy, suaminya.
Sari yakin karena di punggung lelaki itu terdapat tompel seperti milik suaminya. Namun, Sari tak mau gegabah menuduh Roy karena bukti belum cukup kuat.
"Awas! Kamu, Mas. Aku gak akan tinggal diam!" ucap Sari sambil menyeka air matanya dengan kasar. Ia bertekad akan mencari tau tentang kebenaran foto tersebut.
Tanpa Sari sadari jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Sari segera menuju ke kamar mandi dengan langkah gontai dia mengambil air wudhu. Sari pun memohon petunjuk kepada Allah Sang pemilik alam semesta.
Setelah mencurahkan semua isi hatinya kepada Sang Pencipta. Hati Sari sedikit lebih lega. Sari segera menuju ke dapur dan menyiapkan sarapan.
Sari akan bersikap seperti biasa, agar Roy tak curiga. Ia akan menyelidiki foto tadi dan mengumpulkan banyak bukti.
Sari termenung di sudut hatinya yang paling dalam dia sangat mencintai suaminya. Ia tak percaya bahwa suaminya tega melakukan pengkhianatan itu.
Tiba-tiba pinggang Sari dipeluk dari belakang. Sari berjingkrak kaget ada sepasang tangan kekar yang sudah melingkar di pinggangnya. Dengan nafas hangat menerpa leher.
"Mas, lepas aku mau masak," ujar Sari melepas tangan Roy, entah kapan Roy datang dia sama sekali tak mendengar orang masuk. Roy memang membawa kunci rumah.
"Mas kangen, Dek," ucap Roy dengan nafas yang terdengar memburu.
"Mas, sudah siang. Sebentar lagi anak-anak bangun." Sari melepas tangan Roy yang masih melingkar di pinggangnya. Ada rasa jijik jika mengingat foto semalam. Namun, Sari juga harus memastikan yang ada di foto tersebut suaminya atau bukan.
"Ma, Adek nagun," teriak Lia dari dalam kamar.
Mendengar ucapan Lia, Mas Roy pun menarik nafas panjang dan pergi menuju kamar mandi.
"Iya, sebentar Nak." Sari pun segera mematikan kompor dan berjalan kedalam kamar.
"Lia, tolong! Bangunkan Baim suruh dia mandi. Kamu juga mandi, itu Mama sudah siapkan baju kalian di atas meja," ucap Sari pada Lia. Lia pun mengangguk dan mengerjakan apa yang tadi Sari suruh.
