BAB 06: Perubahan Emosi Dan Situasi
Gerald menatap Satpam itu dengan tatapan datar, meskipun di sekelilingnya, bisik-bisik dan tawa ejekan dari para tamu undangan semakin keras.
"Aku diundang ke sini. Lihat baik-baik apa ini!" Gerald melemparkan undangan yang Clarisa berikan padanya. Undangan itu adalah kartu yang elegan dengan sentuhan emas, kontras dengan kemeja lusuh yang ia kenakan.
Satpam yang menghalanginya, seorang pria kekar dengan seragam yang pas, menangkap kartu itu tanpa minat. Ia melihat sekilas nama yang tertulis di undangan tersebut.
"Gerald?" Satpam itu mengernyitkan dahi. "Oh, aku ingat. Kamu yang dulu... menantu sampah Keluarga Alvero, yang baru diceraikan itu, kan?"
Hahaha~
"Ternyata dia adalah 'Menantu Sampah' yang terkenal itu."
"Aku kira dia pengemis jalanan..."
"Sudah di ceraikan, tapi berani datang kesini!"
Tawa ejekan meledak dari kerumunan tamu. Suara-suara itu menusuk telinga, tetapi Gerald tidak bergeming. Ia sudah terlalu sering mendengar julukan itu selama dua tahun terakhir.
"Iya, itu aku," jawab Gerald tenang. "Sekarang biarkan aku masuk."
Satpam itu tertawa kecil, tawa yang meremehkan. Dia melipat undangan itu dua kali, lalu dengan gerakan lambat yang disengaja, ia meremasnya menjadi bola kecil dan melemparkannya ke tanah.
Sreek!
Dia menginjak gumpalan kertas undangan itu, menggeser sepatunya beberapa kali di atas permukaan kartu emas yang kini kotor.
"Sudah diceraikan. Masih berani datang ke sini dengan pakaian pengemis seperti ini? Kamu pikir ini pasar? Nyonya Besar tidak akan mau melihat wajahmu di hari spesialnya," ujar Satpam itu dengan nada menghina yang tidak disembunyikan.
Seorang wanita paruh baya dengan gaun mahal mendekat dari kerumunan. Itu adalah Clara, salah satu sepupu Clarisa, yang selalu membenci Gerald.
"Kenapa ribut-ribut? Astaga, Gerald! Kenapa kamu ada di sini? Apa kamu di sini untuk memulung sisa makanan?" seru Clara, suaranya melengking tinggi, memastikan semua orang di sana bisa mendengarnya.
Gerald menoleh padanya. "Aku datang karena diundang."
Clara tertawa terbahak-bahak. "Diundang? Undangan untuk pecundang? Satu-satunya undangan yang kamu dapat hanyalah surat cerai dari Clarisa, kan?"
Clara kemudian menunjuk Satpam. "Satpam, dengarkan aku. Jika dia berani melangkah satu inci pun melewati gerbang ini, telepon polisi dan laporkan dia atas tuduhan penyusup! Kami tidak ingin ada 'sampah' di pesta kami."
Gerald mengepalkan tangannya di dalam saku celananya yang usang. Ia bisa saja memanggil Tuan Leo saat ini juga, dan dalam hitungan detik, ia akan memecat Satpam itu, membeli seluruh Rumah Besar Keluarga Alvero, dan membuat Clara berlutut memohon ampun padanya. Kekuasaan $10 Miliar Aurum ada dalam genggamannya.
Tetapi ia ingat perkataan Clarisa: "Datanglah sebagai Gerald yang dulu. Tidak perlu membawakan hadiah yang mewah..."
Gerald tahu ini adalah ujian. Jika ia menunjukkan identitas aslinya sekarang, Clarisa mungkin tidak akan pernah mau kembali padanya, dan dia akan benar-benar kehilangan Clarisa. Ia harus membuktikan bahwa bahkan sebagai 'pecundang' yang diinjak-injak ini, ia masih memiliki martabat dan rasa peduli.
"Aku akan pergi," kata Gerald datar. Ia membungkuk, mengambil undangan yang sudah kotor dan terinjak itu. Debu menempel di jari-jarinya. "Tapi aku akan pastikan, kamu akan menyesali semua kata-katamu hari ini, Clara."
Ancaman itu diucapkan dengan tenang, tetapi ada bobot yang tidak biasa di dalamnya. Clara menganggap Gerald hanya menggertak.
"Menyesal? Haha! Apa kamu akan membuatku menyesal dengan menantangku adu memulung sampah, Gerald? Cepat pergi! Sebelum aku menyuruh satpam untuk menyeretmu!" bentak Clara.
Tepat ketika Gerald hendak berbalik, sebuah suara yang sangat familier dan keras menginterupsi.
"Berhenti! Siapa yang menyuruhmu mengusir menantuku?!"
Itu adalah Nyonya Maya, Ibu Clarisa. Ia baru saja keluar dari rumah dan berjalan tergesa-gesa menuju gerbang. Ia mengenakan gaun malam yang mewah, tetapi wajahnya menunjukkan ekspresi campur aduk antara panik dan ketakutan.
Semua orang di gerbang itu terdiam.
Nyonya Maya? Bukankah dia yang paling membenci dan meremehkan Gerald?
Clara mengerutkan dahi. "Tante Maya, dia kan sudah diceraikan. Dia itu penyusup!"
Nyonya Maya tidak menghiraukan Clara. Ia langsung menghampiri Gerald, yang masih memegang undangan kotor itu. Kemudian, hal yang tidak terbayangkan terjadi.
Gedebuk!
Nyonya Maya, wanita yang biasanya angkuh dan galak, tiba-tiba membungkuk sedikit di depan Gerald. Sikap ini jauh dari kata hormat, tapi ini adalah tingkat kesopanan tertinggi yang pernah Gerald lihat dari wanita ini.
"G-Gerald! A-anakku! Kenapa kamu berdiri di luar? Kenapa tidak langsung masuk saja?" tanya Nyonya Maya dengan suara yang dipaksakan terdengar manis, tetapi ada getaran panik yang jelas di dalamnya.
Gerald menatap Nyonya Maya dengan mata menyipit. Dia tahu mengapa. Nyonya Maya pasti teringat isi surat dari Tuan Besar Wilton yang ia baca bersama Clarisa. Kekuatan $10 Miliar Aurum itu lebih dari cukup untuk membuat Nyonya Maya ketakutan setengah mati.
"Tante Maya, apa yang kamu lakukan? Dia sudah diceraikan!" protes Clara, merasa bingung.
Nyonya Maya berbalik, dan kali ini, ia melepaskan amarah aslinya kepada Clara.
"Diam kamu, anak nakal! Kamu tidak tahu apa-apa! Dia adalah... tamu kehormatan!" bentak Nyonya Maya, matanya memerah karena tekanan.
Tamu kehormatan? Kalimat itu membuat semua orang di kerumunan meledak dalam keheranan. Tawa ejekan tadi langsung menghilang, digantikan oleh bisikan kebingungan.
"Apa yang terjadi? Nyonya Maya waras, kan?"
"Tamu kehormatan? Pria dengan pakaian lusuh itu?"
"Ini pasti ada hubungannya dengan perceraian. Mungkin Gerald punya video atau rahasia yang mengancam Nyonya Maya!"
Gerald merasakan kepuasan kecil. Inilah hasilnya jika berhadapan dengan wanita serakah. Nyonya Maya hanya bertindak karena takut dengan identitasnya. Meski begitu, itu membuat dia merasakan perasaan yang cukup segar.
"Aku berdiri di luar karena Satpam ini melarangku masuk," kata Gerald dingin, menunjuk Satpam yang kini mulai berkeringat dingin.
Nyonya Maya langsung menatap Satpam itu dengan tatapan membunuh. "Kamu! Kamu di pecat! Sekarang juga! Keluar dari pandanganku!"
Satpam itu memucat. Ia baru sadar telah mengusir orang yang ditakuti oleh majikannya yang paling galak.
Nyonya Maya kemudian kembali menoleh pada Gerald dengan senyum yang dipaksakan.
"Gerald... sayangku... maafkan kesalahanku. Kamu masuk sekarang, ya. Aku akan mengantarmu ke dalam," pinta Nyonya Maya, hampir memohon.
Gerald melirik Satpam itu. "Ambil undangan yang kamu injak tadi. Bersihkan, dan berikan padaku." Dia kemudian melemparkan kembali undangannya.
Satpam itu tanpa berpikir dua kali, langsung berlutut dan mengambil undangan kotor itu dari tanah, lalu mengusap-usapnya dengan lengan seragamnya sendiri, tangannya gemetar. Ia menyerahkannya kembali pada Gerald.
Gerald mengambil undangan itu tanpa melihat. "Terima kasih," katanya, suaranya mengandung ironi.
"A-ayo Gerald, masuklah!" Nyonya Maya buru-buru meraih lengan Gerald, mencoba menariknya masuk.
"Tunggu, Tante Maya," Gerald melepaskan pegangan Nyonya Maya dengan lembut, tetapi tegas. "Aku datang untuk memenuhi undangan dari Clarisa. Bukan karena kamu. Aku tidak butuh sambutan palsumu. Santai saja."
Gerald kemudian melangkahkan kaki melewati gerbang. Ia berjalan lurus, mengabaikan tatapan mata para tamu yang kini tidak lagi meremehkan, melainkan penuh dengan rasa ingin tahu dan penasaran.
Di sisi lain, Nyonya Maya menghela napas lega, tetapi segera panik lagi. Ia tahu ia harus menjaga sikap hormat palsunya ini selama Gerald ada di dalam rumah. Ia juga harus mencari tahu, mengapa Gerald datang sendirian, bukan bersama pengawalnya, dan mengapa ia masih mengenakan pakaian murahan. Apakah ia datang untuk membalas dendam?
Nyonya Maya bergegas menyusul Gerald.
--
Gerald masuk ke area halaman belakang, di mana pesta ulang tahun Nyonya Besar Alvero diadakan. Tempat itu dipenuhi dengan hiasan mewah dan ratusan tamu.
Ia segera menemukan Clarisa. Clarisa berdiri di tengah aula, mengenakan gaun malam berwarna biru tua yang membuatnya terlihat sangat memukau, menjadi pusat perhatian semua orang.
Saat mata mereka bertemu, Gerald melihat sedikit keterkejutan di mata Clarisa. Clarisa pasti mendengar keributan di gerbang, dan mungkin ia juga merasa aneh melihat Ibunya yang tiba-tiba bersikap baik pada Gerald.
Clarisa kemudian menghampiri Gerald, wajahnya kembali datar. "Aku tidak menyangka kamu benar-benar datang. Dan kenapa kamu terlihat berdebu?" Dia bertanya dengan pura-pura.
Gerald tersenyum tipis, menunjukkan undangan yang terlipat dan kotor di tangannya. "Aku datang karena undanganmu. Soal debu, tanyakan saja pada Satpam di depan."
Clarisa mengerutkan kening, tetapi tidak bertanya lebih lanjut. "Aku harap kamu tidak membuat keributan di sini, Gerald. Ini adalah hari penting bagi Nenek."
"Tentu saja tidak. Aku datang hanya sebagai menantu yang diusir, yang diundang untuk menghormati Nenek," jawab Gerald, nadanya penuh ironi.
Tepat saat itu, Nyonya Maya tiba. Ia segera menempatkan dirinya di antara Gerald dan Clarisa, bertingkah protektif yang aneh.
"Clarisa, jangan bicara seperti itu. Gerald adalah tamu kita," bisik Nyonya Maya pada Clarisa.
Clarisa menatap Ibunya dengan pandangan bingung. "Ada apa denganmu, Bu?"
"Sudahlah! Kamu jangan banyak tanya!" Nyonya Maya kemudian tersenyum paksa pada Gerald. "Gerald, bagaimana kalau kamu duduk di sana saja, ya? Di meja VVIP, Aku akan mengambilkan minuman untukmu."
Gerald menolak dengan lembut. "Tidak perlu repot, Tante Maya. Aku akan berdiri di sini saja, di sudut. Lagipula, aku tidak butuh perlakuan VVIP di pesta ini."
Nyonya Maya hampir histeris, tapi ia menahannya. Ia tahu ia tidak bisa memaksa Gerald.
Beberapa saat kemudian, musik tiba-tiba berhenti. Semua mata tertuju pada panggung utama, di mana Nyonya Besar Alvero kini berdiri. Nyonya Besar, seorang wanita tua dengan tatapan tajam dan aura mendominasi, mulai memberikan pidato pembuka.
Nyonya Besar mengucapkan terima kasih kepada para tamu, lalu kemudian beralih ke topik bisnis.
"Saat ini, Keluarga Alvero sedang berusaha membangun kembali nama besar kami setelah kepergian suamiku (Warge Alvero)," ujar Nyonya Besar. "Dan aku punya kabar baik! Aku dengar, Tuan Besar Wilton telah mengirimkan cucunya, Tuan Muda Ketiga Keluarga Wilton, untuk memimpin Wilton corporation Cabang Vortez! Cucu beliau yang sangat legendaris, akan datang ke Vortez besok pagi!"
Duarr!
Pengumuman itu seperti bom yang meledak di tengah aula. Semua tamu undangan langsung berbisik-bisik. Gerald, yang berdiri di sudut, tersenyum kecil.
Tetapi, reaksi yang paling dramatis datang dari Nyonya Maya dan Clarisa.
Nyonya Maya, yang tadinya ketakutan pada Gerald, tiba-tiba menoleh padanya. Ekspresi paniknya langsung berubah menjadi kemarahan dan penghinaan murni.
"Gerald! Apa-apaan ini?! Kamu bohongi aku, hah?!" bentak Nyonya Maya. Aura ramahnya langsung hilang. "Jadi surat itu palsu?! Kamu mengira kamu bisa menakut-nakuti aku dengan sandiwara murahanmu itu?!"
Clarisa, yang berdiri di samping Ibunya, menatap Gerald dengan mata penuh kekecewaan. Dia mundur dua langkah.
"Gerald... Kenapa? Nenek bilang Tuan Muda Ketiga Wilton akan datang besok. Jadi... kamu bukan dia, kan? Kenapa kamu membohongiku dan membuat sandiwara seperti itu?" tanya Clarisa, suaranya bergetar. Dia merasa di bohongi oleh gerald.
Gerald menatap Clarisa. Ia melihat air mata keraguan di mata wanita yang ia cintai itu. Ia tidak menyangka Kakeknya akan membuat pengumuman resmi seperti ini. Membuat Nyonya besar Alvero dan keluarga Alvero salah paham.
"Clarisa, aku..."
"Diam!" potong Nyonya Maya. "Dasar pecundang! Sudah miskin, bodoh, sekarang jadi pembohong ulung! Kamu pikir kami akan percaya kamu adalah pewaris Wilton hanya karena kamu punya surat yang kamu buat asal-asalan?!"
Nyonya Maya kemudian mendorong Gerald menjauh. "Minggir! Kami tidak butuh kamu! Besok Tuan Muda Wilton yang asli akan datang, dan kami harus menyiapkan diri!"
Gerald berdiri kaku. Ia baru saja berhasil membuat Nyonya Maya takut dan Clarisa melunak, tetapi satu pengumuman dari Nyonya Besar telah menghancurkan semua usahanya.
"Aku akan membuktikannya padamu, Clarisa," bisik Gerald, meskipun Clarisa sudah berbalik, mengabaikannya.
Nyonya Besar Alvero kemudian melanjutkan pidatonya: "Semua putra dan cucu-cucuku, persiapkan diri kalian! Besok pagi, kita akan menyambut Tuan Muda Ketiga Keluarga Wilton! Ini adalah kesempatan emas bagi kita!"
Keluarga Alvero, termasuk Clara yang sedang cemberut, kini kembali bersemangat. Mereka segera berkumpul di sekeliling Nyonya Besar, merencanakan siapa yang akan paling sukses mendekati Tuan Muda Wilton besok.
Gerald, si "menantu sampah," kini benar-benar sendirian di sudut aula. Tapi senyum tipis kembali tersungging di bibirnya.
'Baiklah, Kakek. Kamu ingin aku bermain drama, aku akan bermain drama. Kamu ingin aku muncul besok, aku akan muncul besok.'
Ia kemudian berjalan keluar, kembali melewati gerbang, kali ini tanpa ada yang berani menghalanginya dan mengantarnya. Nyonya Maya terlalu sibuk memarahi Clarisa karena 'membuang waktu' dengan 'pecundang' Gerald. Wanita itu sedang melampiaskan amarahnya.
Bersambung...
