Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Ketua Kelompok

21 Juni 2001

Dear Diary

Tadi pelajaran seni musik

Kami disuruh membentuk kelompok

Satu kelompok 6 orang

Kami diberi waktu berlatih selama sebulan untuk bisa menyanyi dan memainkan alat musiknya

Minimal ada 2 alat musik dan harus ada gitar

Ini membuatku bingung

Aku nggak bisa nyanyi dan main alat musik

Tapi teman-temanku minta aku jadi ketua kelompoknya

Ini kelompok pertama di kelas 2 SMP ini

Huuufffttt....merepotkan

Untungnya aku bukan ketua kelas lagi

Yang jadi ketua kelas sekarang Nurina

Jadi tanggung jawabku hanya untuk kelompok ini saja

Ingantanku kembali pada kejadian waktu itu.

Guru seni musikku Pak Hartono seorang pria berperawakan ceking dengan sedikit kumis di atas bibirnya itu baru saja menyuruh kami membentuk kelompok sendiri-sendiri. Jadi semuanya bebas mencari anggota kelompoknya tersebut. Beliau memberikan waktu 10 menit agar kami membentuk kelompok seperti permintaannya. Sementara itu beliau keluar kelas untuk mengambil sesuatu.

”Nae kita satu kelompok ya?”pinta Sriana.

Di kelas 2 ini aku tetap duduk satu bangku sama Sriana. Dia langsung memintaku supaya kami satu kelompok begitu Pak Hartono keluar kelas.

”Nae, aku masuk kelompokmu ya?” pinta Miarsih yang duduk di kursi belakangku pula.

Aku menoleh ke arah kursi belakangku.

”Aku juga ya?!”pinta Serlina juga.

”Adoooohhhh...aku ini mau ikut kelompoknya anak lain. Kenapa kalian minta masuk kelompokku?”

”Eh, kita bentuk kelompok sendiri aja. Kamu ketua kelompoknya!”anjur Sriana.

”Aaahhhhhh !!!”kataku sambil menggelengkan kepala.

”Aku nggak bisa nyanyi. Aku juga nggak bisa main alat musik satu pun. Aku mau gabung kelompok lain aja,”

”Jangan, Nae !”cegah Serlina.

”Mending kamu bentuk kelompok sendiri. Kalau kamu gabung sama kelompok lain, gimana dengan kami?”imbuhnya.

”Ya kalian cari kelompok lain jugalah,”

”Susah, Nae. Kami itu jarang bisa diterima sama anak-anak lain. Mereka suka nge-gank sendiri. Kalau kelompokan gini mereka pasti sama gank-nya sendiri. Kami pasti nggak diajak. Mending kamu bikin kelompok sendiri, terus ngajak kami,”kata Miarsih memelas.

Aku jadi merasa tak enak mendengarnya.

”Tapi aku nggak bisa nyanyi. Nggak bisa main musik juga. Masak ketua kelompok nggak punya keahlian apa-apa,”

”Aku bisa nyanyi,”kata Sriana.

Aku tahu Sriana bisa nyanyi. Suaranya bagus. Dia suka iseng nyanyi kalau jam pelajaran kosong atau pun jam istirahat sambil menunggu jam masuk pelajaran dimulai lagi. Aku suka ngedengerin suaranya. Menurutku yang awam ini sih suaranya bagus. Tapi aku tetep aja was-was. Ini kan buat pelajaran seni musik. Semuanya dinilai. Aku nggak bisa gegabah membentuk kelompok yang jelas-jelas aku nggak memiliki kemampuan di bidang seni musik ini.

”Aku juga bisa main pianika,”seru Miarsih. Ia berusaha meyakinkan supaya aku membentuk kelompok.

”Aku juga bisa main pianika,”imbuh Serlina.

”Ayo kamu bikin kelompok sendiri aja dong, Nae. Nanti kami masukin ke kelompokmu itu,” pinta Sriana memelas. Miarsih dan Serlina mengangguk.

Aku jadi makin tak enak. Di satu sisi aku kasihan sama mereka kalau nggak berhasil menemukan kelompok, tapi aku juga nggak pede kalau harus mendirikan kelompok sendiri. Apalagi jadi ketua kelompok pula. Aku hanya menghembuskan nafas panjang.

”Adoooohhhh...aku nggak bisa...ini kan minimal ada 2 jenis alat musik,”kataku.

”Ya udah, ayo kamu ngerekrut siapa lagi gitu,”anjur Miarsih.

”Aaaahhh ... janganlah..nggak pede aku...aku males,”

”Jangan males dong. Ayo cari sana ?!”kata Sriana sambil mendorong tanganku.

Aku menggeleng kepala.

”Nae, aku sama Vita masukin kelompokmu juga ya,”kata Wiwid yang tiba-tiba berdiri mendekat ke arahku. Wiwid dan Vita ini duduk sebangku. Mereka duduk di kursi paling belakang. Di belakangnya Miarsih dan Serlina. Sekarang keduanya sudah berdiri di sebelahnya Miarsih dan Serlina.

”Ya ampuuuuunnn...ini lagi...,”keluhku. Aku memasang ekspresi wajah kesal.

”Aku nggak mau ngebentuk kelompok sendiri. Aku mau gabung sama anak lain,”pekikku.

”Jangan dong, Nae! Pikirkan kami juga. Kamu supel. Bisa masuk ke kelompok mana aja. Lha kami gimana?” Wiwid kembali bersuara.

Aku menghembuskan nafas kesal.

”Kalian ini kenapa sih? Kenapa nyuruh aku bikin kelompok sendiri gini?!”

”Aku bisa main gitar kok,”kata Wiwid.

”Ah, serius?”pekik Sriana.

”Iya,”jawab Wiwid sambil mengangguk.

”Nah tuh! Nae, berarti ada 2 alat musik nih. Ada pianika sama gitar ! Ayo bentuk kelompok sendiri,”pinta Sriana.

”Aaaaahh...,”teriakku dengan ogah-ogahan.

Aku melihat mereka dengan sorot mata kesal dan enggan mendirikan kelompok sendiri. Tapi ada rasa nggak tega juga melihat sorot mata mereka yang memandangku dengan sorot mata penuh harap.

”Beneran kamu bisa main gitar?"tanyaku.

”Iya. Tetanggaku suka main gitar. Aku diajari sama dia. Makanya aku bisa main gitar,” kata Wiwid mencoba meyakinkanku.

”Ayo dong, Nae. Bentuk kelompok sendiri aja ya?!”anjur Miarsih.

”Aku punya seruling kok. Kalau berlatih aku kayaknya juga bisa mainin satu alat musik lagi. Jadi masukin kami ke kelompokmu ya?”imbuh Vita.

Aku masih menghembuskan nafas kesal dan ogah-ogahan.

”Ayo, Nae. Kelompok ini sudah komplit lho. Kamu tinggal jadi ketua kelompok aja. Ntar yang nyanyi aku. Yang lain mainin alat musik. Kamu tinggal jadi backing vokal aja,”

Aku menghembuskan nafas kesal sekali lagi.

”Aku kan udah bilang nggak bisa nyanyi?!”

Terlihat Sriana menghembuskan nafas geram.

”Ya ampun Nae. Backing vokal kan gitu-gitu aja! Nggak sedominan penyanyi utamanya. Ayolah!”

”Iya, Nae, ayo kita bentuk kelompok sendiri,”ajak Miarsih.

Aku melirik mereka satu persatu. Melihat sorot mata mereka yang penuh harap itu aku di jadi tak tega. Akhirnya aku mengangguk setuju meski dengan berat hati.

----------------------------------

2 Juli 2001

Dear Diary

Tadi upacara bendera

Cuaca sedikit terik, Nina pingsan

Dari situlah aku jadi tahu kalau Nina dan Brian makin dekat

Brian udah move on dari Sita belum sih?

Nina yang berbaris di deretan kedua pingsan. Dinda dan Kimi yang ada di sebelahnya Nina untung cekatan. Mereka langsung memegang badan Nina yang limbung itu. Nurina yang di kelas 2 ini jadi ketua kelas, berdiri di samping pasukan segera ikut membantu membawa Nina ke ruang UKS. Aku yang ada di barisan keenam sama Agni sempat khawatir. Tapi karena posisi kami jauh dan Nina sudah di urus oleh Nurina kami tetap tenang mengikuti upacara.

Upacara berlangsung beberapa waktu ke depan. Kami konsentrasi ke upacara lagi. Begitu upacara selesai, aku dan Agni lari ke ruang UKS sebentar. Kebetulan ruang UKS sama kelasku berdekatan. Ruang kelas A bersebelahan dengan ruang guru, sebelah ruang guru ruang UKS.

”Nin, kamu gimana? Udah baikankah?” tanya Agni. Dia memang lebih dulu masuk ruang UKS. Aku di belakangnya.

Ruang UKS sepi. Cuma Nina aja yang di sana. Tadi sepertinya sudah ada guru yang memberikan pertolongan pertama.

”Mendingan. Tadi guru olahraga sudah ngasih minyak kayu putih. Aku juga udah di kasih teh sama roti,”Nina tampak duduk di kasur. Dia sepertinya habis minum tehnya. Terlihat ia meletakkan gelas sewaktu kami masuk tadi.

”Kamu belum sarapan tadi?”tanyaku.

”Iya. Tadi buru-buru,”sahut Nina.

”Usahain sarapanlah. Kamu kan beberapa kali pingsan gitu meski sudah sarapan. Apalagi sekarang nggak sarapan,”komentar Agni.

Aku maklum kalau Agni berkata begitu. Itu memang betul. Dulu sewaktu kelas 1, aku juga sering mengantarkan Nina ke ruang UKS seperti barusan yang dilakukan Nurina. Agni teman sebangku Nina sejak kelas 1, wajar kalau dia khawatir dan menasehati Nina seperti tadi itu.

”Eh, Nin...kami masuk kelas dulu ya. Bentar lagi guru bahasa Indonesia masuk kelas nih,”kataku ke Nina.

Agni yang membetulkan selimut Nina juga ikut pamitan.

”Aku istrirahat dulu. Mungkin ntar jam pelajaran kedua masuk kelas,”

Agni mengangguk.

”Jangan dipaksa juga Nin...kalau belum kuat di sini aja dulu,”kataku.

”Insya Allah kuat,” sahut Nina.

Kami keluar ruang UKS menuju kelas. Rupanya guru bahasa Indonesia belum masuk kelas. Terdengar kelasku masih ramai. Begitu masuk kelas ada Brian di dekat pintu. Agni yang lebih dulu menyapa.

”Mau kemana?”

”Nungguin kalian?”

Aku cuma melihat saja. Sejujurnya aku nggak tahu kenapa Brian menunggu kami.

”Nina gimana?”tanya Brian.

”Oh, baik kok. Ntar jam pelajaran kedua katanya mau masuk kelas,”jawab Agni.

”Oh gitu...ya udah,”

Agni mengangguk. Brian membalikkan badannya menuju ke kursinya. Dia duduk di kursi barisan kedua dari arah pintu sisi kiri. Aku duduk di kursi yang dekat tembok sisi kanan. Aku dan Agni berjalan ke arah barisan kursi di dekat tembok. Sebelum Agni sampai duduk di kursinya di bangku nomor dua, aku bertanya ke dia.

”Brian kenapa? Kok nanyain Nina segala?”

”Mereka sekarang lagi dekat,”

”Deket dalam artian pedekate mau pacaran gitu?”

”Mungkin,”

Kami sampai di kursi nomor dua dari depan. Kursinya Agni dan Nina. Agni duduk di kursinya. Aku duduk sebentar ke kursinya Nina. Aku melirihkan suaraku untuk berbicara ke Agni. Takut terdengar sama yang lain.

”Dia beneran suka sama Nina?”

Agni menggendikan bahunya.

”Kenapa? Kamu kok nanya gitu?”

Aku menghembuskan nafas panjang sebelum menjawab.

”Ituuuuuu...kalau Brian suka beneran suka sama Nina sih bagus. Tapi kalau cuma di PHPin atau dijadiin pelarian aja kan kasian,”

Agni menautkan kedua alisnya.

”Aku dengar....Brian itu suka sama Sita,”

”Oh ya?”

Aku mengangguk.

”Kamu denger dari siapa?”

”Dariiiiii.....,”

Aku menghembuskan nafas panjang sekali lagi.

”Ada deh pokoknya. Aku denger dari seseorang,”

Aku akhirnya nggak menyebut nama Devi. Aku takut disebut tukang sebar gosip. Agni terdiam. Ia tampak berpikir sebelum mengatakan sesuatu.

”Semoga aja nggak. Kasian juga sih kalau Nina jadi pelarian doang,”

”Nasehatin Nina...biar dia berhati-hati,”

Agni mengangguk.

”Tapi kita juga nggak bisa sepenuhnya ngatur juga. Kalau Nina-nya suka, terus Brian juga niat baik mau melupakan Sita berarti nggak ada masalah. Kita nggak bisa ikut campur,”

Giliran aku yang mengagguk.

”Iya. Kalau keduanya sama-sama suka sih nggak ada masalah. Takutnya yang suka cuma satu pihak aja. Aku kasihan sama Nina. Nggak tega waktu ngeliat dia dicuekin Sakha dulu,”

Agni menggangguk setuju. Guru bahasa Indonesia masuk kelas. Buru-buru aku berdiri dan melangkah ke kursiku sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel