Bab 7 Kursinya Irham
7 Februari 2001
Dear Diary
Tadi pelajaran Biologi
Kami kelompokan lagi
Aku menduduki bukunya Irham
Untungnya dia nggak marah
Dia malah tersenyum manis ke aku
Kembali aku teringat akan kejadian saat itu.
Pelajaran Biologi dilakukan di kelas. Kami berkelompok seperti biasanya. Bu Hariyati memberikan tugas Minggu lalu ke kami untuk membawa tanaman.
Kami diminta perkelompok menanaman biji jagung dan kacang hijau di dalam kapas basah yang di taruh di dalam gelas air mineral.
Kemarin yang membuat tanaman ini Nefertiti. Kebetulan rumahnya yang paling dekat dari sekolah. Jadi dia yang menawarkan diri untuk membuat tanaman ini.
Kali ini duduk kami melingkar. Bukan seperti biasanya yang berderet lurus menghadap ke papan tulis. Dua meja di gabung jadi satu. Karena biasanya aku disuruh duduk paling mepet tembok, aku segera memilih menduduki kursi yang di dekat tembok begitu kelompok ini berkumpul.
Aku duduk membelakangi papan tulis. Sebelah kananku, ada Irham dan Surya. Sedangkan di depanku ada Nefertiti dan Sita.
Gelas plastik isi biji jagung dan kacang hijau yang sudah tumbuh itu ada di meja. Bu Hariyati memberikan penjelasan sejenak sebelum akhirnya menyuruh kami mengerjakan LKS. Semua langsung mengarahkan tangannya membuka LKSnya masing-masing.
”Nae!”panggil Irham ke aku.
”Iya?”
“Tolong buku dan bolpoinku dong,”
”Buku? Aku nggak membawa bukumu,” jawabku sambil menggelengkan kepalaku.
Nefertiti, Sita dan Surya ikut melihat ke arahku.
”Bukuku kamu duduki,”
”Haaahhh?”
Spontan aku berdiri. Dan benar yang dikatakan Irham. Ada buku tulis, buku paket dan LKS miliknya ada di situ. Agak ke belakang letaknya. Tak jauh dari bagian yang aku duduki. Aku tak melihatnya sewaktu mau mendudukinya.
”Kamu kenapa naruh buku di kursiku?” tanyaku.
Surya yang memberikan jawaban.
”Bukan dia yang naruh buku di kursimu. Tapi kamu yang ngambil kursinya,”sahut Surya.
Aku melihat ke Irham dengan sorot mata bertanya.
”Jadi ini tempat dudukmu?”
”Haduuuuhhhh,”keluh Surya.
”Emang kamu tadi ikut ngangkat kursi itu? Tadi waktu kami mengangkat meja dan kursi buat kelompokan ini kamu kemana sih?”tanya Surya geram.
”Aku di sini juga. Kalian yang nyuruh aku ngangkat gelas tanamannya supaya nggak menggelinding jatuh. Jadi aku nggak ikut angkat-angkatlah,”kilahku.
Terlihat Surya menghembuskan nafas panjang. Aku memungut buku milik Irham untuk aku berikan kepadanya.
”Itu tadi kursinya Irham. Dia mau duduk di situ. Makanya bukunya di taruh situ. Kamu ngambil kursinya dia,”imbuh Surya.
Mendengar itu aku merasa tak enak.
”Maaf, Ir. Aku nggak ngerti kalau ini kursimu. Biasanya kan aku selalu ditaruh di dekat tembok. Jadi kukira ini kursiku. Kita tukar tempat yuk?”
”Nggak usah! Kamu pakai aja.”
Irham tersenyum ke arahku. Tiba-tiba saja Nefertiti berdehem iseng. Seolah-olah dia mau berkata cie-cie. Aku melotot ke arahnya. Dia langsung diem dengan senyum penuh arti. Aku segera duduk kembali. Sekilas melirik ke arah Irham. Ia masih tersenyum sambil melihatku. Aku jadi salah tingkah dibuatnya.
------------------------
26 Februari 2001
Dear Diary
Nina lagi sedih
Matanya merah, kayak habis nangis gitu
Kata Nurina sama Agni, dia sedih karena Sakha cuek
Kan sudah dari dulu Sakha begitu
Kenapa baru nyadar sekarang sih?
Aku, Nina, Agni dan Nurina sedang berjalan menuju pintu gerbang sekolah. Tadi mereka menungguku sebentar yang sedang ke kamar mandi. Mereka menungguku di luar kelas. Sekarang kami sudah berjalan bersama untuk pulang sekolah.
Kami berhenti di dekat pintu gerbang sebelum ke perempatan. Nina terlihat mengusap matanya. Matanya Nina terlihat sembab. Aku kurang tahu dengan detil bagaimana kejadiannya, sewaktu aku kembali dari kamar mandi tadi, aku lihat Nina matanya merah. Aku mengira dia kelilipan. Soalnya Agni dan Nurina juga bersikap biasa saja. Tapi sekarang jadi terlihat jelas kalau mata Nina merah bukan karena kelilipan. Kepala dan bahunya terlihat bergerak seperti menangis. Akhirnya aku tanya ada apa. Agni yang menjawab.
”Itu...Sakha cuek,”sahut Agni pendek.
”Terus?”seruku.
Aku memang tahu sejak lama kalau Nina suka sama Sakha. Katanya dulu mereka satu sekolah waktu SD. Teman les di salah satu lembaga bimbel juga. Tapi kalau Sakha cuek ke Nina bukannya sudah dari dulu ya? Terus kenapa nangisnya sekarang?
Sakha ini anak di kelas F. Dari sepengetahuanku, Sakha memang nggak suka ke Nina. Tiap kali Nina menyapa atau mengajaknya mengobrol, Sakha selalu memasang ekspresi wajah dingin dan datar begitu. Nggak ada ramah-tamahnya. Keliatan nggak sukanya ke Nina.
Kalau menurutku sih Sakha ini tipe orang sombong. Nggak cakep, nggak pinter, nggak ramah tapi sok ganteng. Mungkin dia merasa begitu karena Nina menyukainya. Dan entah apa yang membuat Nina suka sama dia. Melihat ekspresi wajahnya yang selalu dingin ke Nina, kurasa dia memang benar-benar nggak menyukai Nina. Itu hak dia sih. Aku tahu, perasaan suka nggak bisa dipaksa. Bukan salah Sakha kalau dia tidak merespon Nina dengan baik.
Tapi juga nggak salah Nina sepenuhnya sih. Dia kan punya perasaan suka ke Sakha. Jadi wajar kalau dia juga berupaya mendekati Sakha dengan caranya itu.
”Tadi...Nina mendekati Sakha. Dia mau ngasih surat gitu ke Sakha. Terus sama Sakha ditolak suratnya,”
Nurina yang memberikan penjelasan ke aku.
”Oohh,”sahutku pendek.
”Udah, Nin...lupain aja. Jangan diambil hati sikap Sakha tadi,” kata Agni menghibur.
”Emang apa sih isi suratnya? Kok sampai Sakha nolak gitu?”tanyaku.
”Cuma puisi,”sahut Nurina.
”Cuma dapat puisi aja ditolak. Kalau dapat surat berisi santet tuh baru di tolak,”ucapku yang mulai ikutan kesal. Nurina menyikutku.
”Sorry, aku cuma ikutan kesel aja. Nggak nyangka kalau Sakha sampai segitunya,” kataku coba menghibur Nina dengan caraku sendiri.
”Udah lupain Sakha ya, Nin!”anjur Agni.
”Iya. Lupain,” aku ikutan menganjurkan.
Hening sesaat.
”Udah, Nin... daripada mikirin Sakha...mending kamu mikirin Brian,” kata Nurina.
Aku kaget. Melirik ke arah Nurina.
”Brian? Brian siapa? Teman sekelas kita itu?”tanyaku.
Nurina menggangguk.
”Si Brian suka sama Nina ?”kembali aku bertanya.
”Semoga,” jawab Nurina dengan nada ragu.
”Kamu ini gimana sih? Masak nyuruh Nina mikirin orang yang nggak suka sama dia,”protesku.
”Ya siapa tahu aja si Brian suka Nina,” kata Nurina dengan nada tak bersalah.
”Iihh ...kamu gimana sih...nyodorin orang itu yang sudah pasti-pasti aja dong. Yang nggak pasti nggak usah,”protesku lagi.
”Ya....nggak apa-apa...siapa tahu aja Brian emang beneran suka... kemarin aja Brian ngajak Nina buat ngebentuk kelompok belajar bersama,”kata Nurina.
”Ya ampun...itu kan ajakan belajar kelompok. Belum tentu juga Brian suka sama Nina. Kamu jangan gitu dong! Nyodorin orang yang belum jelas perasaannya suka sama Nina atau nggak,”
”Ya siapa tahu aja. Kalau beneran itu terjadi kan si Nina jadi bisa ngelupain Sakha,”
”Iihhh...nggak gitu juga kali,”protesku ke Nurina untuk kesekian kalinya.
”Udah...udah...udah kok kalian yang jadi ribut sendiri sih,”seru Agni.
Sepertinya Agni kesal karena kami berdua malah meributkan hal-hal yang nggak jelas.
”Jangan bahas yang lain-lain dulu. Kita konsentrasi sama Nina aja. Udah ah yuk kita pulang aja!”ajak Agni. Kami menurut.
-------------------------------
14 Maret 2001
Dear Diary
Tadi aku sama Irham keluar kelas bareng
Sriana udah keluar kelas duluan, dia terburu-buru karena ada janji sama temannya
Nurina, Agni dan Nina juga keluar duluan
Katanya mau ke kamar mandi dulu buat pipis
Ntar mereka menungguku di gerbang
Tiba-tiba saja pas aku sama Irham jalan, Erina cs nimburung
Aaahhh... ngeselin aja nih
Kami tadi habis kelompokan Biologi lagi. Aku sama Irham masih ngebahas soal praktek di laboratorium sambil jalan keluar gerbang. Tadi kami juga sempat membahas soal susunan syaraf pada hewan yang ada di buku paket.
Saat kami asyik membahas itu tiba-tiba muncul Erina, Devi dan Amara. Ketiganya langsung menggerumbul di tengah-tengah kami. Aku yang tadi jalan bersebelahan dengan Irham jadi terpisah oleh ketiganya.
”Kalian ngebahas apaan sih? Serius amat?”kata Erina.
”Padahal udah pulang sekolah juga,”imbuh Devi.
Aku melambatkan jalanku supaya bisa melirik Irham. Wajahnya sudah terlihat muram. Padahal beberapa detik yang lalu dia masih ceria membahas susunan syaraf hewan. Amara berjalan tepat di sebelahnya. Jadi ya, di sebelah kananku itu Erina, Devi terus Amara dan Irham yang paling kanan.
”Lagi bahas apaan tadi?”tanya Erina sambil menyenggol lenganku.
Aku yang sedikit geragapan segera menjawab kalau sebenarnya hanya membahas soal susunan syaraf hewan.
”Bahasan nggak penting kok. Cuma tentang susunan syaraf hewan aja,”
”Tapi kayaknya serius banget,” timpal Amara.
Aku kembali melambatkan jalanku. Biar bisa melirik ke Irham lagi. Apa yang dikatakan oleh Amara itu kayaknya ditujukan ke Irham. Ekspresi Irham masih seperti tadi. Ekspresi wajah tak suka.
”Nggak. Biasa aja kok,” aku yang memberikan jawaban.
Kami berlima tetap berjalan keluar menuju gerbang.
”Eh ada gosip nih,” kata Devi.
Aku melirik ke arah Devi. Memasang ekspresi wajah tertarik.
”Sita lagi dekat sama anak kelas 3. Namanya Kak Adib,” kata Devi.
”Oh ya?”aku merespon pendek.
”Iya. Aku tadi dikasih tahu Arnela. Mereka kan duduk sebangku. Jadi tahu detilnya,”
Aku menggangguk paham.
”Yang naksir Sita banyak. Kayaknya bakalan kecewa kalau tahu Sita lagi di dekati Kak Adib,”sahut Amara.
Aku cuma menggangguk-angguk saja.
”Iya. Sita kan idola. Yang naksir banyak. Di kelas kita yang naksir dia kan Brian itu salah satunya,”kata Devi.
Aku spontan melotot ke arah Devi.
”Oh ya?”tanyaku.
Devi menggangguk.
”Iya. Brian pernah bilang ke aku, katanya dia suka sama Sita,”
”Kapan itu?” tanyaku mengejar.
”Udah agak lama sih. Aku lupa kapan tepatnya, tapi beneran dia bilang gitu,”jawab Devi.
Aku mengangguk paham. Dalam hati sebenarnya bingung. Bagaimana caranya ngasih tahu ke Nurina, Agni dan Nina soal ini? Pengen sih ngasih tahu. Tapi bingung juga. Kan kata Devi ini juga sudah lama. Lagi pula apa yang dikatakan Nurina kemarin kemungkinan cuma hiburan saja. Nggak mungkin serius. Kan Brian cuma ngajak ngebentuk kelompok belajar bersama saja, nggak lebih. Jadi seharusnya Nina juga nggak perlu GR atau pun menanggapi serius candaan Nurina saat itu.
”Kalian duluan ya! Aku mau ke kamar mandi,”kata Irham tiba-tiba. Tanpa menunggu persetujuan dia langsung balik badan menuju ke kamar mandi.
Kami berempat sempat bengong dengan reaksi mendadak Irham itu. Tapi karena Irham sudah berlalu akhirnya kami jalan bareng ke arah gerbang.
