Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Gimana Sih?

5 Juli 2001

Dear Diary

Aduuuhh....

Wiwid ini gimana sih?

Dia bilang bisa main gitar

Tapi tiap kali latihan dia selalu nyuruh tetangganya yang main gitar

Dia beneran bisa main gitar nggak sih?

Kalau kayak gini terus, latihan pindah tempat aja.

”Kok selalu mas Arief sih yang nggitarin kita-kita sih?”protesku.

Ini latihan yang kesekian kalinya di rumah Wiwid. Dia menawarkan belajar kelompok buat pelajaran seni musik di rumahnya. Alasannya, dia punya tetangga yang punya band, jadi kami bisa dilatih sama tetangganya itu. Kami sih setuju saja demi bisa tampil bagus pas penilaian nanti.

Tapi yang jadi masalah, tiap kali latihan, Wiwid malah menyuruh tetangganya yang main gitar. Dia mainin gitar paling cuma 5 menit di awal saja. Itu pun diselingi keluh kesahnya dia. Ada saja yang dia keluhkan. Mulai jari-jarinya yang sakit kalau buat nekan senar. Kadang dia bilang gitarnya sumbang. Atau dia lagi capek jadi males main gitar. Selama latihan di rumahnya, tetangganya terus yang mengiringi kami berlatih. Dia sendiri lebih milih ikutan nyanyi.

”Aku lagi males, Nae. Jariku sakit buat nekan gitarnya,”

”Lho, ntar pas kita tampil gimana? Kan mas Arief nggak boleh ikut tampil?”protesku.

”Tenang, Nae...aku bisa main gitar kok. Ntar pas kita tampil aku yang bakalan main. Jadi santai aja,”

”Tapi kamu belum pernah lho main ngiringin kita-kita dari awal lagu sampai akhir lagu?”

”Iya. Ntar pas tampil di kelas aja aku gitarin kalian,”

”Kamu emang beneran bisa main gitar?”tanyaku menyelidiki.

”Bisa,”

”Tapi selama kita latihan, mas Arief selalu ngebenerin kunci gitu? Kamu hafal nggak sih kunci nada gitar?”

”Hafal. Tenang, Nae....kemarin itu aku lupa,”

”Makanya sekarang ayo latihan bersama. Kamu yang pegang gitarnya!”

”Aduhh... jangan sekarang. Latihannya sama mas Arief aja. Biar cepat,”

”Yah, jangan gitu. Ini mumpung ada mas Arief, ayo latihan. Biar kalau kamu salah atau nggak hafal kunci nadanya biar dibenerin sama mas Arief,”

Wiwid terlihat kesal. Ia menghembuskan nafas kesal.

”Udah, Nae...kalian latihan aja sekarang sama mas Arief. Ntar setelah kalian pulang aku latihan lagi sama mas Arief. Biar konsen kalau diajarin sendiri gitu,”

Aku kesal dengan jawaban dia ini. Minggu depan, setelah pulang sekolah, belajar kelompoknya harus aku pindah. Biar Wiwid nggak punya alasan menghindar main gitar terus. Hari penilaian semakin dekat. Kami harus mempersiapkan diri buat tampil dengan baik. Wiwid nggak boleh bergantung terus ke mas Arief buat latihan. Dia harus berlatih sendiri.

-----------------------

9 Juli 2001

Dear Diary

Irham suka sama siapa ya?

Tadi pelajaran bahasa Indonesia

Dapat tugas ngerjain LKS

Irham ngasih LKS-nya ke aku

Dia bikin puisi

Tapi kok puisi cinta

Guru bahasa Indonesia nggak masuk. Beliau berhalangan mengajar hari ini. Kami diberi tugas mengerjakan LKS. Sebagian sudah ada yang menyelesaikan isian LKS. Sebagian lagi belum. Yang sudah selesai mengerjakan tugas pada ramai.

Ada yang mengobrol sambil saling berkelompok, tapi ada yang tetap mengobrol dengan teman sebangkunya aja. Atau juga ada yang mengobrol dengan teman yang duduk di depannya. Kelas mulai ramai. Untunglah ramainya belum sampai ke ruang guru atau pun kelas lain. Kalau sudah sampai tingkatan itu ramainya pasti ada guru yang masuk kelas kami untuk menegur.

Aku hampir selesai mengerjakan tugas LKS. Masih ada 1 yang kosong. Tugas untuk membuat puisi. Dari dulu aku merasa paling susah kalau disuruh membuat puisi. Puisi dan pantun adalah kesulitan terbesarku untuk pelajaran bahasa Indonesia ini.

Aku menyandarkan punggungku ke sandaran kursiku. Sriana sepertinya sudah menyelesaikan tugasnya. Buku LKSnya sudah ditutup.

”Kamu udah selesai semua ya?”

”Udah. Kamu?”

”Kurang satu,”

”Yang mana?”

”Yang puisi,”

”Kamu nggak bisa bikin puisi?”

”Iya. Nggak tahu kenapa dari dulu aku selalu kesulitan bikin puisi,”

”Mau aku bikinin?”

Aku diam sejenak. Berpikir untuk mengiyakan atau menolak tawaran dari Sriana itu.

”Aku coba bikin sendiri dulu deh. Ntar kalau udah mentok baru aku minta tolong kamu bikinin,”

Sriana mengangguk paham. Aku sekali lagi membaca perintah membuat puisi itu dan kembali aku menghembuskan nafas panjang sebagai bentuk keluhan. Aku benar-benar nggak ngerti harus membuat puisi apa. Pikiranku lagi kosong. Aku mencoba konsentrasi membuat puisi.

”Nae!!”

”Haahh,”pekikku kaget.

Aku tadi sedang memejamkan mata untuk konsentrasi membuat puisi. Sejenak abai terhadap lingkungan sekitar. Nggak menyangka pas memejamkan mata seperti itu ada yang memanggil.

”Kamu kenapa?”tanya Irham.

Entah dia kapan datangnya. Tiba-tiba saja sudah ada di sisi Sriana. Dia menatapku bingung.

”Kamu kenapa merem?”

”Dia lagi nyari ilham. Eh, yang datang Irham,”seloroh Sriana.

Aku melotot ke arah Sriana. Dia langsung tersenyum iseng. Irham juga aku lihat ikut tersenyum.

”Nyari ilham buat apaan?”tanya Irham lagi.

”Buat nulis puisi. Aku kan nggak begitu bisa buat puisi,”

Kening Irham tampak berkerut.

”Kamu beneran nggak bisa bikin puisi?”

Aku mengangguk.

”Mau aku buatin?”

”Mauuuuuuuuuuu,”pekik Sriana.

Aku langsung menepuk lengannya.

”Apaan sih kamu?”

Sriana tersenyum iseng. Irham kembali tersenyum melihat ulah Sriana yang iseng itu.

”Kamu sudah selesai ngisi LKSnya?”tanya Irham.

”Semua sudah kuisi, cuma yang puisi aja yang belum,”

”Mau baca puisiku? Siapa tahu jadi dapat ilham buat nulis apaan,”

”Boleh...boleh banget,”

Kembali Sriana yang menjawab. Aku melotot ke arah Sriana. Dia lagi-lagi sedang tersenyum cengengesan.

”Iya deh boleh,”

Aku berkata seperti itu sambil melihat ke Irham. Segera saja Irham kembali ke bangkunya. Aku menunggunya.

Irham kembali ke bangkuku sambil menyerahkan LKSnya ke aku. Buru-buru aku terima LKS itu. Aku membaca puisinya. Dahiku mengernyit. Aku menatap Irham.

”Kok puisinya puisi cinta gini?”

”Biarin. Nggak ada perintah disuruh bikin puisi apaan. Itu perintahnya kan cuma bikin puisi. Jadi bebas,”

Aku menggangguk ringan. Betul juga bisikku dalam hati.

”Kamu lagi jatuh cinta ya?”tanyaku.

Irham tersenyum lebar. Tiba-tiba saja Sriana tertawa cekikikan. Aku melotot ke arahnya. Terlihat dia berusaha menguasai tawanya.

”Ini....puisimu menyiratkan kalau kamu sedang jatuh cinta,”

Irham nyengir. Aku kebingungan mengartikan cengiran di wajahnya itu.

”Kamu.....lagi suka sama siapa?”tanyaku.

”Kamuuuuuuuuuuuuu,”pekik Sriana sambil kabur dari kursinya. Jarinya menunjuk ke arahku.

Aku kaget dan hampir saja mengejarnya. Tapi Irham menghalangiku.

”Udah. Abaikan keisengannya. Buruan bikin puisinya!”anjurnya. Dan aku menurutinya dengan sorot mata yang masih menunjukan kedongkolan karena keisengan Sriana itu.

---------------------

12 Juli 2001

Dear Diary

Aku bener-bener khawatir

Wiwid ini sebenarnya bisa main gitar apa nggak sih?

Dia sama sekali nggak mau megang gitar tadi

Kelompok kami tadi jadi latihan pakai pianika dan seruling aja

Aaahhh...tahu begitu aku nggak perlu ngandelin dia

Aku membentuk kelompok ini karena dia bilang bisa main gitar

Tapi aku belum pernah ngeliat dia main gitar sejauh ini

Belajar kelompok seni musik aku pindah ke rumahnya Vita. Sengaja aku melakukan ini. Aku ingin Wiwid nggak mengandalkan tetangganya yang katanya anak band itu untuk bermain gitar sewaktu kami latihan.

”Wid....ayo dong kamu serius main gitarnya!” kataku.

Kali ini suaraku sedikit berubah. Aku sudah mulai kesal. Wiwid dari tadi mengeluhkan jarinya yang terasa sakit karena menekan senar gitar. Latihan beberapa kali terhenti karena mendadak dia menghentikan genjrengan gitarnya.

Sriana, Vita, Miarsih dan Serlina melihat ke arah Wiwid. Aku lihat muka mereka juga sama kesalnya sama kayak aku.

”Wid.... hari tampil buat penilaian kurang beberapa hari lagi. Ayo serius dong!”timpal Sriana.

Raut muka Sriana menunjukkan ekspresi kesal karena dari tadi tiap kali dia nyanyi harus berhenti mendadak karena Wiwid menghentikan petikan gitarnya.

”Sory....kita latihannya nggak usah pakai gitar dulu ya?!”

”Eh, gimana sih kok nggak pakai gitar?!”protes Serlina.

”Kamu gimana sih, Wid? Minim 2 alat musik,”tandas Miarsih.

”Ayo latihan!”perintah Sriana.

Tampaknya mereka juga sudah hilang kesabaran sama kayak aku.

”Kamu kenapa sih dari tadi bilang jari-jarimu sakit?”tanyaku.

”Ini senarnya nggak enak. Jariku jadi sakit kalau buat nekan senarnya,”

”Jarimu sakit karena nekan senar? Apa kamunya nggak hafal kunci nada?”desakku.

”Nggak. Aku udah latihan sendiri kok sama mas Arief. Jadi aku hafal kunci nada?”

”Ya udah kalau gitu. Ayo tunjukkan kalau kamu hafal! Dari tadi kayaknya tiap kali aku nyanyi sepertinya kamu keteteran pindah kunci nadanya,”katanya.

”Jangan sekarang ya. Aku males. Jariku beneran sakit nih,”

Wiwid nunjukin jari kirinya yang dia pakai untuk menekan ujung gitar. Jari-jari tangannya memang lentik. Dia berjari runcing. Kalau saja dia hobby menari pasti tangannya itu cocok banget karena lentiknya.

”Kamu jangan gitu juga dong, Wid. Kita di sini semua semangat latihan. Masak kamu cuma bilang males gitu aja,” kali ini Vita yang bersuara.

Wiwid tampak bersungut kesal. Mungkin dia mulai berpikir mengapa kami tak memahaminya yang kesakitan menekan senar gitar. Tapi kami punya alasan untuk berkata seperti barusan. Ini untuk kesekian kalinya Wiwid nggak mau main gitar cuma karena alasan jarinya sakit. Padahal hari tampil sudah makin dekat. Dan kami mengandalkannya untuk satu alat musik itu. Gitar termasuk yang harus ada di penampilan nanti. Jadi kami sangat berharap dia segera serius berlatih bersama kami. Karena keahliannya sangat diperlukan.

”Ayo latihan lagi. Musti ada 2 alat musik lho,” imbuh Serlina.

Wiwid menggelengkan kepalanya.

”Coba latihan pakai seruling dulu deh,” katanya dengan tak bersemangat.

”Yah, kok kamu gitu sih?”seru Vita.

”Kamu kan punya seruling. Jadi coba latihan dulu pakai seruling hari ini,”

”Bukannya aku nggak mau. Tapi kalau aku latihan pakai seruling, kamu terus ngapain?”

”Aku liat-liat dulu aja atau jadi backing vokal dulu deh,”

”Kok gitu sih?”pekik Sriana nggak terima.

”Eh, kami ngandelin kamu lho buat main gitar,”kata Serlina.

”Gitar wajib ada. Dan kamu bilang kamu bisa main gitar. Makanya kami pede ngebentuk kelompok ini karena jaminannya kamu yang bisa main gitar,”Sriana terdengar berang suaranya.

”Iya aku bisa gitaran. Tapi jangan sekarang. Tapi pas tampil nanti aja,” tegas Wiwid.

”Lho, kalau kamu nggak latihan main gitar bareng kami sekarang gimana kita bisa kompak pas tampil nanti?”desak Sriana.

”Ya aku kan ada di sini. Aku bisalah ngira-ngira ntar pas tampil nanti musti gimana,” kilahnya.

”Tapi kalau nggak ikut latihan bareng ya nggak mungkin bisa kompak,” tandas Miarsih.

”Pokoknya aku bisa. Nggak usah khawatir,” tegasnya.

Kami bersungut kesal.

”Udah kalian latihan aja. Aku liatin. Pasti bisa kompak. Kan aku ikut latihan juga meski jadi backing vokal hari ini,”

Kami masih bersungut kesal. Tapi mencoba mengalihkan kekesalan pada latihan bersama. Keberadaan Wiwid dengan segala alasannya kami abaikan saja.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel