Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

DIAMNYA AKU

DIAM ADALAH MELAWAN

PART 6

Keadaan sudah gelap. Mas Bagus benar-benar tak mengejarku. Setidaknya menarik anaknya seperti di TV-TV yang sering aku tonton.

Ok lah kalau memang sudah tak mengharapku ada di rumah itu, setidaknya anaknya. Tapi, dia malah sama sekali tak menyentuh anak perempuannya. Seolah memang senang Halwa ikut bersamaku.

Biasanya aku sering lihat serial drama, alasan clasik adalah anak, agar istri tak jadi pergi. Tapi, tidak untuk Mas Bagus. Dia hanya drama di awal, tapi seolah sukses melapas kami pergi.

Kuelus rambut panjang Halwa. Menyusuri jalanan yang semakin gelap. Hanya ada lampu-lampu di pinggir jalan yang sedikit menyinari.

Tapi untungnya kendaraan ramai berlalu lalang. Jadi hati ini tetap tenang. Berkali-kali mengedarkan pandang. Berharap bertemu dengan orang yang dikenal, dan meminta pertolongan.

"Ma, capek!" ucap Halwa. Kuhentikan langkah kaki ini. Mengedarkan pandang lagi, mencari tempat untuk beristirahat.

"Emm, kita istirahat dulu di sana, ya!" ajakku seraya menunjuk salah satu tempat.

"Laper juga, Ma!" ucap Halwa lagi. Sungguh teriris hati ini mendengarnya. Kupegangi perutku sendiri. Rasa melilit itu datang lagi.

Kuteguk ludah yang terasa kering ini. Tak menyangka dan tak pernah terpikirkan, hidupku akan setragis ini.

"Sabar, ya! Kita istirahat dulu sebentar, terus kita lanjut lagi perjalanan ke rumah, Nenek! Nanti kita makan di rumah Nenek, ya!" jawabku. Aku lihat Halwa mengangguk pasrah. Kemudian kami melangkah lagi, ke suatu tempat yang aku tunjuk tadi. Untuk beristirahat sejenak.

**************

"Astaga ... Halwa pucat sekali?!" ucap Nenek dengan nada terkejut dan khawatir saat kami telah sampai di rumahnya.

Nenek umurnya memang sudah tua. Tapi alhamdulillah, beliau masih sangat sehat. Bahkan untuk masalah Nafkah dia tak mau bergantung dengan anak. Yang ada aku malah sering lihat, Emak kerap meminjam uang kepada Nenek. Dan ujung-ujungnya tak di kembalikan.

"Ayok masuk!" pinta Nenek seraya memegang tangan Halwa.

"Ya Allah, dingin sekali tanganmu!" ucap Nenek lagi. Seketika aku melipat kening. Karena memang semenjak beristirahat tadi, tangan kami tidak saling bertautan. Halwa memilih mendekap tangannya di dada. Karena saking kalutnya pikiranku, membuatku tak peka akan kondisi Halwa.

Dengan cepat aku memegang badan Halwa. Benar kata Nenek, badan Halwa sangat dingin. Bibirnya nampak membiru.

"Nek, Halwa memang belum makan. Mungkin dia masuk angin!" ucapku dengan suara gemetar.

"Apa? Halwa belum makan? Kok, bisa? Terus Bagus mana?" tanya Nenek bertubi-tubi, seraya membawa Halwa ke dalam kamar Nenek.

"Kami bertengkar, Nek! Bukan Halwa saja yang belum makan, tapi aku juga," jelasku dengan suara serak, sekaligus menahan rasa malu. Ya Allah ... membuat air mata ini bergulir tanpa di minta. Segera aku menyekanya, mumpung Nenek belum melihat, karena masih fokus dengan Halwa.

"Astagfirullah!" ucap Nenek terdengar nada suara itu berat.

"Makan dulu! Segera ambilkan anakmu makan juga! Setelah makan, ceritakan semuanya kepada Nenek apa yang sebenarnya terjadi. Anak kok sampai kelaparan kayak gini," ucap Nenek.

Dengan cepat aku segera masuk ke dalam dapur. Tanpa harus menunggu Nenek menyuruh untuk ke dua kalinya. Mengambilkan makan dengan lauk tempe goreng dan sambal, beserta kerupuk dalam toples.

Ya, Nenek memang simple makannya. Sama denganku. Tempe di rumah Nenek kayak sudah menjadi makanan tiap hari dan selalu ada.

Terasa gemetar aku mengambilkan makanan untuk Halwa. Nafsu makanku hilang lagi. Seketika perut ini terasa kenyang, saat melihat wajah pucat anak semata wayangku.

"Nak, makan dulu, ya!" ucapku. Halwa terlihat mengangguk lemas. Segera aku suapi dia. Ia pun segera membukakan mulutnya.

"Hueeekkk .... sooorr ...." baru satu kali suapan, Halwa langsung muntah. Perutnya seolah tak mau menerima.

"Astaghfirullah ... ya Allah ...." ucap Nenek. Kemudian beliau segera beranjak. Keluar dari kamar. Nggak tahu mau kemana.

"Ya Allah, Nak!" ucapku, seraya membersihkan dada Halwa yang terkena muntahannya. Seketika rasa cemas dan khawatir berkecamuk menjadi satu.

"Nggak enak makan, Ma. Maaf!" ucap Halwa, seolah merasa tak enak denganku. Atau mungkin takut aku marah karena dia muntah.

"Nggak, Nak! Nggak papa! Mama yang harusnya minta maaf!" ucapku, tak kuasa air mata ini tumpah begitu saja, semakin deras berlinang.

Harusnya aku tak egois tadi. Harusnya aku masak dulu, baru ke rumah Nenek. Ya Allah ... Tapi tadi aku dalam keadaan benar-benar emosi parah. Gengsi rasanya mau masak. Karena amarahku terlanjur sampai di ubun-ubun.

"Minum teh hangat dulu, Nduk!" perintah Nenek kepada Halwa. Halwa terlihat mengangguk dan nurut.

Aku lihat Halwa meneguk teh hangat itu, tinggal menyisakan separuh.

"Gimana, enakan nggak perutnya?" tanya Nenek. Halwa terlihat mengangguk.

"Sini, Nenek olesi dulu minyak kayu putih perutmu. Biar semakin enak!" ucap Nenek. Aku lihat Halwa mengangguk dan nurut.

Air mataku terus bergulir. Melihat keadaan Halwa. Karena ego orang taunya, dia harus merasakan lapar, hingga seperti ini.

Sesak sekali hati ini, ya Allah ....

****************

"Bagus memang keterlaluan!" ucap Nenek setelah aku ceritakan semuanya. Halwa sudah tidur sekarang. Setelah di keroki sebentar oleh Nenek dan setelah makan juga tentunya. Walau tak banyak yang dia makan. Tapi cukup membuatku tenang.

Aku sendiri juga sudah makan. Setelah menyuapi Halwa. Setelah memastikan Halwa tidur, aku segera menceritakan semua kepada Nenek di ruang tamu.

Saat aku bercerita, napas Nenek terlihat naik turun. Aku tak bawa apa-apa keluar dari rumah. Kecuali baju yang ada di badan dan hape butut yang aku beli, saat di awal-awal pernikahan dulu.

"Indah sudah tak kuat lagi, Nek, jika harus bertahan dalam lingkaran seperti ini," ucapku, kemudian menyeka air mata lagi.

Nenek terlihat mengangguk pelan. Seolah memahami apa yang aku rasakan. Kemudian beliau menghela napas panjang.

Ting.

Gawai bututku berbunyi. Pertanda ada pesan masuk. Aku segera meraih gawai yang aku letakan di atas meja. Mata ini menyipit saat melihat siapa yang mengirim pesan itu. Ternyata dari Mas Bagus. Ada apa dia mengirimiku pesan?

Biar tak penasaran, segera aku membuka isi pesan singkat itu.

[Bagaimana kondisi Halwa? Kamu masih bisa kasih makan kan? Kalau sampai terjadi apa-apa dengan anakku, awas saja! Nggak akan tenang hidupmu!]

Jleb!

Pesan singkat dari Mas Bagus tersebut semakin menambah luka. Semakin menambah sakit dan air mata. Sesuatu terasa memenuhi rongga dada, hingga menyebabkan mata ini semakin memanas.

"Bagus yang mengirim pesan? Sini!" tanya Nenek seraya menarik hape bututku. Aku hanya diam dan menekan kuat dada ini. Sakiiit ... sungguh sakiiit ... Kemudian beliau segera memakai kaca mata bacanya. Karena pengelihatan Nenek memang sudah berkurang.

"Keterlaluan! Nenek perlu bicara dengan Bagus!" sungut Nenek.

Astagfirullah bukannya menenangkan, tapi malah mengancam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel