Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

DIAMNYA AKU

DIAM ADALAH MELAWAN

PART 5

"Pantang bagiku untuk menjatuhkan talak!" ucap Mas Bagus tegas.

"Lalu, tak pantang bagimu untuk menyakiti hatiku?" tanyaku balik. Mas Bagus terlihat mengusap wajahnya kasar. Karena pertengkaran ini, perut yang tadinya lapar sampai melilit kini tak aku rasakan lagi.

Sebenarnya berat bagiku untuk berbicara seperti itu. Hampir tujuh tahun, baru kali ini aku bertengkar sampai meminta ia menjatuhkan talak.

Karena bukan sekali dua kali dia melakukan ini padaku. Saat bertengkar, berkali-kali minta maaf, berkali-kali juga dia ulangi. Membuatku jenuh dalam hubungan toxid ini.

"Dek, sekali lagi Mas minta maaf!" ucapnya lagi, nada suaranya terdengar memelas.

"Berkali-kali juga pasti akan kamu ulang. Aku lelah! Setiap bertengkar, selalu hal yang sama. Tentang kepelitanmu! Tapi royal ke orang lain. Jadi lebih baik kita menjadi orang lain saja, dan kita tak akan bertengkar lagi!" balasku.

Lagi aku lihat dia mengusap kasar wajahnya. Seolah tak suka dengan apa yang aku katakan.

Padahal berniat ingin diam. Tapi diamku seolah semakin dia injak. Tapi setidaknya dari diamku ini, emosi dia mulai tersulut.

"Kasih sekali lagi kesempatan! Mas akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi dari nol. Kita mulai lagi seperti biasanya!" ucap Mas Bagus.

Kupejamkan sejenak mata ini. Tak ada air mata yang keluar. Karena aku memang tak mau diri ini menangis. Aku harus kuat. Biar tak selalu di remehkan sama Mas Bagus.

"Seperti biasanya? Kita ulangi lagi seperti biasanya? Tentang nafkah yang seolah aku mengemis memintanya dari mu, tentang pelitmu, tentang ketidak pedulianmu, tapi kamu lebih peduli dengan orang lain? Seperti itu mau di ulangi lagi? Betapa bodohnya aku!" sindirku.

Aku lihat Mas Bagus menghela panjang napasnya. Kemudian mencoba meraih tanganku, tapi aku menolaknya. Entahlah, masih memuncak emosi yang aku rasakan.

"Mas janji akan berubah!" ucapnya lirih. Seolah masih memohon dan merayu. Sebenarnya kalau aku sudah terlanjur marah, dia takut juga. Tapi, selama ini aku memang memilih diam. Diam melawan dan mencari waktu yang tepat untuk meluapkan lahar panas di dalam dada.

"Kamu yakin mau berubah?" tanyaku memastikan.

"Iya," balasnya seraya mengangguk.

"Kalau gitu, gantian aku yang mengatur semua keuangan. Bagaimana?" syaratku. Mas Bagus terlihat melipat kening.

"Nggak bisa kayak gitu, dong! Aku yang kerja, masa' kamu yang megang uang, enak saja!" balas Mas Bagus. Seketika bibir ini menyeringai kecut menjatuhkan. Dari sini aki bisa menilai, dia tak akan pernah bisa berubah.

"Terus kamu pikir aku di rumah nggak kerja? Apa ada kamu membayarku untuk menjaga anakmu? Ada kamu bayar aku mencuci baju kotormu? Memasak untukmu dan anakmu? Ada kamu bayar aku untuk beberes rumah yang mana jika ada sedikit saja yang berdebu kamu selalu bilang 'ngapain saja kamu di rumah? Meja berdebu kayak gini tak segera di bereskan! Dasar pemalas!' ada nggak kamu bayar aku semuanya? Nggak kan? Yang ada aku cuma kamu kasih uang lima puluh ribu, itu pun kalau aku minta, kalau aku nggak minta, kamu seolah senang dan lepas tanggung jawab. Dan uang itu untuk kebutuhan satu rumah. Bukan aku makan sendiri!" cerocosku.

Mas Bagus terlihat menarik panjang napasnya dan melepasnya pelan.

"Lalu kamu minta Mas membayarmu? Itu memang sudah kewajiban seorang istri! Jadi memang tak perlu di bayar," ucap Mas Bagus. Mendengar ucapannya, aku semakin menyeringai kecut. Dan semakin sesak rasanya.

"Owh, iya aku tahu itu memang kewajibanku. Makanya aku ingin melepas kewajibanku itu! Karena aku sudah tak kuat melakukan kewajibanku itu!" ucapku.

"Sekali lagi Mas tegaskan! Diantara kita tak ada yang berpisah. Kita akan besarkan Halwa bersama!" ucap Mas Bagus.

"Lalu aku selalu kamu jatah lima puluh ribu sampai Halwa besar? Nggak! Aku nggak mau, semakin lama menahan luka ini!" sungutku.

"Dek! Ini hanya masalah sepele. Yang penting kan Mas nggak ada mengkhianatimu, padahal kalau Mas mau berkhianat, mudah saja mendekati perempuan. Tapi Mas tak melakukan itu. Mas juga tak pernah main kasar denganmu bukan?" jelas dan tanya balik Mas Bagus.

Seketika ucapan dia, semakin membuat dada ini membuncah.

"Mudah saja mendekati perempuan? Yaudah dekati saja perempuan yang kamu mau. Aku nggak peduli! Mulai dari sate kambing kamu tukar menjadi lontong pecel, peduliku ke kamu sudah memudar," ucapku. Mas Bagus terlihat menganga.

"Astaga! Itu sudah lama ... dan dulu kamu tidak masalahkan itu. Kenapa kamu sekarang mempermasalahkan itu? Kamu memang pintar mencari alasan!" tanya balik Mas Bagus.

"Karena kamu, lelaki yang tak peka dan tak punya hati!" jelasku semakin tersulut emosi.

"Dek, aku ini sudah minta maaf baik-baik sama kamu! Kenapa kamu sekaku ini!" sungut Mas Bagus.

"Sudahlah! Susah ngomong denganmu. Kalau kamu nggak mau pergi dari rumah ini, aku yang akan pergi dari rumah ini. Tanpa membawa uang satu rupiah pun aku tetap keluar dari rumah ini. Dan jangan temui aku dan Halwa!" tegasku.

Aku segera berlalu ke ruang tamu. Halwa sudah menunggu di sana. Lagian dengan ucapan ini, aku semakin yakin, untuk mengakhiri hubungan tak sehat ini.

Percuma juga di maafkan, karena ujung-ujungnya akan membuat sakit hati lagi. Karena nggak tahu kenapa, hati ini yakin, jika aku maafkan dia, maka akan terulang lagi kisah yang sama.

Padahal kalau dia mikir, perempuan yang dulu dia kenal periang dan cerewet, dan sekarang berubah menjadi pendiam dan murung, harusnya dia segera berbenah diri. Apa yang salah? Bukan malah seenaknya seperti itu.

Karena jika perempuan sudah diam dan terserah, itu artinya, luka didalam hatinya sudah terlalu dalam. Hingga susah untuk diobati.

"Dek, kalau kamu memilih pergi? Kamu pasti menyesal!" ucap Mas Bagus. Nada suaranya terdengar mengancam.

Kaki ini hendak keluar dari pintu rumah, seraya menggandeng tangan Halwa.

Kubalikan badan ini perlahan. Menatap wajahnya yang terlihat memerah.

"Menyesal? Justru aku akan menyesal, jika memilih bertahan," tegasku. Raut wajah lelaki berkulit sawo matang itu terlihat terperangah. Seolah terkejut dengan apa yang aku katakan.

"Kita lihat saja! Siapa yang akan menyesal diantara kita! Dan ingat, aku tak akan pernah menjatuhkan talak padamu, sampai kapanpun!" ucap Mas Bagus.

"Ok, kita lihat saja! Aku bisa menggugatmu!" balasku menerima tantangannya.

"Kamu tak akan bisa menggugatku. Kamu pikir gugat cerai nggak pakai uang? Lihat dirimu, kamu pengangguran dan hanya mengandalkan uang dariku!" ucap Mas Bagus. Nada suaranya sekarang berubah menjatuhkan. Kalau tadi dia masih merayu, sekarang lebih menjatuhkan.

"Aku bukan pengangguran. Aku hanya seorang Ibu rumah tangga, yang tak pernah berharap gaji dari suami. Karena kalau kamu menggajiku, kamu tak akan sanggup!" balasku. Seraya berlalu tanpa pamit. Berjalan menuju ke rumah Nenek.

Tak ada uang seribu rupiah pun yang aku bawa. Padahal rumah Nenek lumayan jauh. Semoga saja nanti bertemu orang baik, yang mau memberikan tumpangan, hingga sampai ke rumah Nenek. Apalagi waktu semakin gelap. Aku lihat Mas Bagus tak ada mengejarku. Mungkin dia memang benar-benar sedang mengujiku.

Bismillah ... semoga jalan yang aku pilih ini tidak menyesatkanku atau membuatku menyesal nantinya.

***********

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel