Bab 7
DIAMNYA AKU
DIAM ADALAH MELAWAN
PART 7
"Sudahlah, Nek, nggak usah di tanggapi!" pintaku kepada, Nenek. Karena aku sangat mengkhawatirkan kesehatannya.
"Tapi, Bagus keterlaluan. Sungguh, akhlaknya nggak sesuai dengan namanya!" sungut Nenek. Lagi, kutekan dada ini. Semakin terasa sesak.
Rizky Bagus Gumilang. Nama yang cukup bagus. Sesuai dengan parasnya yang tampan. Tapi sayang, sifat dan karakternya kepada anak dan istri seperti itu. Hingga membuatku iri kepada teman-temannya, yang mendapatkan perhatian darinya. Karena dia lebih peduli dengan mereka, dibanding dengan anak istrinya.
"Maafkan Indah, Nek! Harus merepotkan Nenek dengan masalah rumah tangga Indah," ucapku. Sebenarnya merasa tak enak hati dengan, Nenek. Karena dulu Nenek sempat menolak Mas Bagus. Tapi aku yang kekeuh, memperjuangkan dia. Orang yang salah ternyata. Maafkan Indah, Nek!
Saat berpacaran dulu, Mas Bagus sangatlah royal denganku. Tapi, sebenarnya bukan denganku saja, ke semua temannya juga seperti itu. Jadi aku pikir, kalau sama teman saja dia royal, apalagi dengan anak istri?
Dia sangat care dan perhatian. Sungguh membuat hati ini merasa terkunci saat itu. Tapi, setelah menikah aku dibuat shok saat tahu karakter aslinya.
Uang tetap dia yang megang. Padahal aku sudah memutuskan keluar dari pekerjaanku. Karena ingin fokus kepada status baruku. Karena aku pikir, aku yang akan memegang kendali keuangan. Layaknya rumah tangga orang pada umumnya. Cukup membuatku kecewa dan menyesal.
"Nek, ini sudah Malam. Indah mohon! Jangan temui Mas Bagus. Indah nggak mau memperpanjang masalah. Indah sudah di sini bersama, Nenek dan Halwa. Sudah cukup membuat Indah lega dan tenang. Indah ingin mendiamkan Mas Bagus. Indah hanya ingin tahu, sekuat apa dia bertahan tanpa anak dan istri. Dan juga menilai sepenting apa Halwa dan Indah dalam hidupnya," jelasku.
Aku lihat Nenek menghela napas panjang. Kemudian mengangguk pelan. Seolah anggukan memaksa kalau aku lihat.
"Kamu yakin mau mendiamkan dia?" tanya Nenek seolah memastikan ucapanku.
"Yakin, Nek. Karena diam bukan berarti kalah bukan? Diam artinya melawan. Karena dengan diam, sebenarnya lebih menyakitkan dari apapun. Karena orang yang dulu sangat care dengannya, tiba-tiba hilang rasa pedulinya dan memilih diam, itu artinya, terlalu dalam dia menoreh luka. Seperti itu menurut Indah!" jelasku.
Nenek terlihat menghela napas sejenak. Kemudian melepas kaca mata bacanya.
"Tapi, Nduk! Nggak semua masalah di selesaikan dengan diam! Karena diam hanya membuat pikiran merasa curiga dan menerka-nerka!" sahut Nenek. Aku mengangguk pelan. Memahami ucapan Nenek.
"Iya, Nek. Justru itu yang Indah cari. Menerka-nerka. Biarkan Mas Bagus menerka-nerka, tentang bagaimana keadaan anak istrinya. Kalau dia sudah tak kuat menerka, jelas dia akan ke sini bukan?" jelasku.
"Terus kalau dia ke sini, apa kamu masih mau bersamanya lagi?" tanya Nenek. Aku meneguk ludah sesaat.
"Entahlah, Nek! Indah tak bisa menjawab. Yang jelas hati ini masih perih," lirihku.
"Terserah kamulah, Ndah! Kalau Nenek lebih suka di jelaskan secara gamblang. Tapi kalau itu mau mu, ya, terserah, karena ini rumah tanggamu. Dan kamu sudah menjadi orang tua, jelas tahu mana yang terbaik untukmu dan anakmu. Nenek hanya bisa membantu sebatas Nenek bisa saja!" ucap Nenek.
Ya, benar kata Nenek. Memang sebenarnya lebih gamblang di jelaskan. Cuma aku memang ingin mengetest sejauh mana Mas Bagus kuat aku diamkan. Sejauh mana dia betah hilang rasa peduliku. Sejauh mana dia kuat tak ada anak dan istri.
Ada waktunya, bom waktu ini akan meledak. Biarkan dia menyelesaikan detik-detik waktu, yang akan membawanya mendekati ledakan.
"Yaudah, udah malam, kita tidur! Kamu tidurlah di kamarmu. Biarkan Halwa tidur di kamar, Nenek!" titah Nenek. Aku segera mengangguk.
"Iya, Nek!" balasku, seraya beranjak dan segera menuju ke kamar, yang mana dulu adalah kamarku, sebelum aku menikah dengan Mas Bagus. Pun Nenek, juga ikut beranjak menuju ke kamarnya.
Nenek memang luar biasa bagiku. Di dalam kondisi seperti ini, dia tak ada mengungkit masa lalu. Misalnya 'salah siapa menikah dengan dia? Kan Nenek dulu tak setuju kamu nikah dengan dia!'
Ya, tak ada Nenek berkata seperti itu. Karena Nenek percaya, apa pun yang kita jalanin, memang sudah garis takdir, yang sudah Allah berikan. Jadi tak guna jika mengungkit yanh sudah terjadi.
Segera aku merebahkan badan di ranjang. Gawai aku matikan saja. Karena aku malas, jika nanti Mas Bagus mengirim pesan atau menelponku.
Kuletakan gawai butut di meja sebelah ranjangku. Kemudian memejamkan mata, segera berlayar ke pulau mimpi.
***************
Hingga menjelang pagi, mata ini tak nyenyak terpejam. Entah apa yang salah. Aku nggak tahu. Hanya membolak balikan badan hingga adzan subuh berkumandang.
Segera aku beranjak dan segera menuju ke kamar mandi untuk berwudlu. Dan segera melalukan ibadah sholat subuh.
Selesai sholat subuh, aku memutuskan duduk di tepian ranjang. Mata ini mengarah kepada gawaiku yang telah aku non aktifkan.
Jika aku nyalakan, adakah Mas Bagus menguhubungiku? Pertanyaan ini cukup membuatku penasaran.
Karena penasaran yang semakin memuncak, akhirnya aku meraih gawai butut itu dan menyalakannya.
Ting.
Ting.
Ting.
Saat gawai aku nyalakan, banyak sekali pesan masuk yang datang. Cukup membuat hati ini berdebar-debar.
Saat gawai benar-benar sudah menyala, ternyata pesan singkat dari Mas Bagus semua. Segera aku baca satu persatu pesan singkat dari dia.
[Aku cukup kecewa denganmu, Indah! Hanya karena aku mentraktir sate, jaka dan anak istrinya, kamu semarah ini denganku. Hingga pulang ke rumah, Nenek. Sehingga secara tidak langsung, kamu menjatuhkan harga diriku di depan, Nenek! Kamu sungguh keterlaluan! Apalagi ke sana dalam keadaan lapar. Jelas Nenek akan semakin membenciku, dan kamu tahu itu.]
Astagfirullah ... ini baru pesan singkat pertama yang aku baca. Cukup membuat hati ini sesak. Aku keterlaluan? Benarkah aku keterlaluan? Seperti itu ternyata dia menerkaku?
Setelah menata hati dan pikiran, aku putuskan untuk membaca pesan singkat yang lainnya.
[Kenapa tak di jawab? Kebiasaan! Makin ke sini kamu semakin keterlaluan! Semakin meremehkan semua masalah! Semaki diam, kamu pikir diammu itu bisa menperbaiki keadaan?]
Allahu Akbar ... hati ini semakin bergemuruh hebat. Jadi dia menerka, diamku meremehkan semua masalah? Ok! Fine!
[Malah di nonaktifkan! Kamu benar-benar semakin ngelunjak! Semakin kayak anak kecil! Seolah aku sudah tak mengenali istriku lagi,]
Kutekan kuat dada ini. Terkaan dia tentang diamku, semua bikin sesak. Tapi, aku bertekad tetap tidak akan mejawab pesan singkatnya itu. Terserah dia mau seperti apa menilaiku.
Kuletakan gawaiku di tempat semula. Kemudian segera beranjak dan menuju ke dapur. Untuk memulai masak.
Ya, kalau di rumah, Nenek, memang aku yang memasak.
"Ndah, Halwa badannya puanas!" ucap Nenek saat melihatku keluar dari kamar. Aku lihat Nenek sedang keluar dari dapur. Seraya membawa mangkuk dan kain kompres.
Tanpa banyak bicara, aku segera menuju ke kamar Nenek, dengan hati yang merasa was-was.
******************
