Bab 4
DIAMNYA AKU
DIAM ADALAH CARAKU MELAWAN
PART 4
"Dek, jangan kayak anak kecil! Ada masalah rumah tangga langsung pulang dan ngadu kepada Nenek!" ucap Mas Bagus.
Anak kecil dia bilang? Apakah dia tak ngaca dan intropeksi diri, siapa yang sebenarnya anak kecil? Ah, sudahlah, apapun yang dia katakan, anggap saja benar.
Aku dan Halwa sudah selesai mandi. Aku sedang menyisir rambut Halwa. Tak aku tanggapi ucapan Mas Bagus. Sengaja aku kunci ini mulut. Karena aku tahu, Mas Bagus paling cepat tersulut emosinya, jika di cuekin.
Mas Bagus tipikal orang yang selalu ingin ditanggapi saat dia berkata. Kemudian didukung dan dipuji. Tapi, dia tak begitu suka menanggapi apa yang aku katakan. Intinya tak ada respon balik. Dia cuek jika aku menyampaikan keinginan atau pendapat. Ditanggapi pun hanya sekedarnya saja. Cukup kutelan sendiri keinginan diri ini.
Tapi sekarang, gantian aku yang ada di posisinya. Biar dia tahu rasanya di cuekin. Apalagi memang kondisinya tepat. Kami sedang dalam kondisi bertengkar.
Setelah selesai menyisir rambut Halwa, tak lupa membedakinya juga. Agar semakin terlihat manis.
"Nak, kamu nunggu di ruang tamu, ya! Mama mau siap-siap dulu!" pintaku kepada Halwa.
"Iya, Ma!" balas Halwa seraya tersenyum manis. Kemudian dia segera berlalu, keluar dari kamar. Segera aku menyisir rambutku sendiri.
"Dek! Mas lagi bicara! Jawab! Jangan diam saja! Pita suaramu masih berfungsikan?" ucap Mas Bagus lagi. Aku masih kekeuh untuk diam. Bukankah dalam kondisi bertengkar seperti ini, diam adalah hal yang paling menyebalkan?
Ya, aku memang sengaja memilih diam. Karena memang ingin menyulut emosinya. Biar dia tahu rasanya bagaimana.
Setelah selesai menyisir rambut, aku segera memoles tipis pipi ini. Dan sedikit memerahi bibir. Agar tak kelihat pucat.
Mas Bagus duduk di tepian ranjang. Terlihat dari kaca rias, Mas Bagus terus menatapku.
Setelah selesai merias singkat, aku segera beranjak. Segera mendekati lemari. Dan menurunkan tas ransel, yang aku letakan diatas lemari. Sedikit berdebu, dan aku segera membersihkannya.
"Dek, kenapa kamu bawa tas? Kamu mau nginap! Mas nggak ijinin kamu nginap! Jangan kayak kecil!" ucap Mas Bagus lagi. Tetap pada pendirian. Tak aku tanggapi ucapannya. Aku terus memilih baju yang mau aku bawa.
"Dek! Mas ini lagi ngomong! Telingamu dengarkan suamimu ini lagi ngomong?!" ucap Mas Bagus dengan suara sedikit membentak. Aku tetap diam, tetap memilih baju yang mau aku bawa ke rumah Nenek.
Mas Bagus menarik tas yang mau aku masukan baju. Aku pasrah dan tak perlawanan untuk menariknya. Membiarkan dia mengambil tas ransel itu. Karena buang-buang energi saja, jika hatus tarik menarik tas ransel itu.
"Aku tak mengijinkan kamu dan Halwa ke rumah Nenek! Kamu dengar nggak, sih?!" ucap Mas Bagus lagi. Entah berapa kali dia mengulang kata itu.
Mas Bagus mengembalikan tas ransel itu pada tempatnya. Aku masih kekeuh diam, kemudian hendak keluar dari kamar ini. Tanpa satu kata pun keluar dari mulut ini. Aku yakin Mas Bagus pasti semakin tersulut emosinya. Itu memang yang aku inginkan.
"Dek!" ucap Mas Bagus seraya menarik tanganku.
"Maafkan Mas!" ucap Mas Bagus. Napasku terasa naik turun. Terlalu sakit hati ini atas tingkahnya. Dia hanya memikirkan perasaan teman-temannya. Tapi tak memikirkan perasaanku.
Lima puluh ribu uang belanja yang dia kasih. Itu pun tak setiap hari. Jika aku minta baru dia kasihkan. Kalau aku tak minta, seolah dia senang dan seolah pura-pura lupa. Dan tak berinisiatif memberikan hakku itu. Padahal uang lima puluh ribu itu, tak aku makan sendiri dengan Halwa. Tapi dia juga ikut makan.
"Jangan diam terus seperti ini. Kamu tahu kan Mas nggak suka di diamin. Please! Jangan diam saja kayak gini. Dan Mas mohon jangan kayak anak kecil!" ucap Mas Bagus.
Dengan kasar aku tarik tangan yang dia genggam. Menatapnya tajam. Sorot kebencian yang aku lemparkan.
"Anak kecil? Ya, Aku memang masih anak kecil, yang jika lapar mengadu kepada orang tua. Karena memiliki suami pelit sepertimu!" ucapku akhirnya. Seraya menahan perut yang terasa melilit dan perih.
"Dek! Maafkan, Mas! Ok, jika kamu lapar, Mas belikan makanan! Mas belikan sate kambing kesukaan mu! Tapi please jangan pulang ke rumah Nenek!" ucap Mas Bagus. Masih terus merayuku agar tak pulang. Nampaknya dia lega aku mau menanggapi ucapannya.
Tapi hati ini sudah terlanjur sakit. Sudah terlanjur menganga luka di dalam sini atas perbuatannya. Dia dengan enaknya makan di luar sana, tanpa memikirkan istri dan anaknya. Dan yang membuatku heran, kok, bisa dia makan dengan lahapnya di sana. Padahal tak ada anak dan istri di dekatnya. Orang yang harusnya dia bahagiakan, sebelum membahagiakan teman.
Padahal, jika aku masak enak di rumah, aku selalu menunggu dia pulang kerja. Karena kalau makan enak tanpa suami dan anak, nafsu makan pun tak mau muncul.
"Nggak perlu! Nanti kamu jatuh miskin jika membelikan aku sate kambing. Lebih baik uangmu kamu gunakan untuk mentraktir teman-temanmu! Siapa tahu doa teman-temanmu itu lebih mustajab dari pada anak dan istrimu!" balasku seraya keluar dari kamar.
Entahlah, Mas Bagus seolah lebih puas di doakan teman-temannya agar ia sukses, dari pada di doakan aku istrinya. Itu yang aku nilai selama ini.
Aku berniat tetap kekeuh ke rumah Nenek. Walau tanpa membawa baju sekali pun. Lagian bajuku dan Halwa ada beberapa stel di rumah Nenek. Karena sengaja aku tinggal di sana.
Tiba-tiba badan ini terasa di peluk dari belakang. Ya, Mas Bagus memelukku dari belakang. Otomatis menghentikan langkahku.
"Maafkan, Mas, Dek! Maafkan, Mas! Jangan seperti ini dengan Mas! Mas tak mau kalian ke rumah Nenek. Apalagi ke sana dalam kondisi lapar. Mas malu! Ayok kita keluar beli sate kambing! Beli makanan yang kamu mau!" ucap Mas Bagus. Suaranya terdengar berat.
Malu? Owh ... dia masih punya malu?
"Syukurlah kalau masih punya malu? Tapi, bagiku kamu sudah tak punya hati. Nikmati saja caramu itu, dan aku akan menikmati hidup dengan caraku!" balasku, tanpa membalikan badan.
Walau dia merayu, tapi hati in terasa sakit. Semenjak kejadian sate kambing ditukar lontong pecel, hati ini merasa sesak jika melihat atau mendengar nama sate kambing.
Sate kambing kesukaanku, itu dulu, sekarang aku seolah merasa benci. Melihatnya saja aku sudah enggan sekarang. Karena hati ini terlanjur sakit. Seolah terpatri dipikiran, kalau sate kambing itu mahal. Dan aku tak pantas makan, makanan mahal itu.
Apalagi di tambah baca chat dari Jaka itu. Semakin menambah luka. Semakin menambah sesak di dalam sini.
Mas Bagus semakin erat memelukku dari belakang. Hingga akhirnya aku memaksakan diri untuk melepas pelukannya. Hingga akhirnya Mas Bagus melepaskan. Aku masih memunggunginya.
"Dek, apa yang harus Mas lalukan agar kamu mau memaafkan, Mas! Please! Jangan seperti ini! Jangan marah seperti ini! Mas nggak bisa lihat kamu seperti ini," tanya Mas Bagus.
Kuhela panjang napas ini. Untuk sedikit melonggarkan sesak di dalam sini.
"Kamu yakin akan melakukan apa yang aku minta?" tanyaku kepada Mas Bagus.
"Iya, asal kamu nggak marah lagi dengan Mas. Mas akan lakukan apapun agar kamu mau memaafkan, Mas. Dan tak jadi pergi ke rumah Nenek!" balas Mas Bagus.
Lagi, aku tarik napas ini kuat-kuat dan melepaskannya dengan pelan. Kubalikan badan, untuk menatap tajam wajah Mas Bagus.
Mas Bagus membalas tatapanku. Hingga bola mata kami saling beradu.
"Kalau aku tak boleh ke rumah Nenek, kamu yang keluar dari rumah ini!" ucapku akhirnya. Membuat Mas Bagus membelalakan mata.
"Maksudmu?" tanya balik Mas Bagus.
"Jatuhkan talak untukku!" jelasku, semakin membuat Mas Bagus membelalakan mata dan bibirnya terlihat menganga.
*************
