Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

DIAMNYA AKU

DIAM ADALAH MELAWAN

PART 3

"Indah Intan Maula! Jangan ngelunjak kamu, ya! Nggak akan pernah kita tukar Posisi!" sungut Mas Bagus. Nada suaranya terdengar marah.

Kutarik kuat-kuat napas ini. Menghembuskannya secara perlahan. Memejamkan mata sejenak.

"Kenapa nggak berani tukar posisi? Takut? Karena kamu nggak akan bisa mengerjakan tugasku?" tanyaku dengan nada menyindir. Selain menyindir juga menjatuhkan tentunya.

Mas Bagus terlihat menghela napas panjang. Memasukan uang lima puluh ribunya tadi ke dalam sakunya.

Sebenarnya semakin membuncah rasa murka di dalam sini. Seharusnya kalau dia memang berniat memberikan uang itu padaku, harusnya dia paksakan atau gimana. Ini malah dia masukan lagi kedalam saku. Benar-benar kelewatan dia. Tapi, sudahlah! Semakin ke sini, dia juga semakin memperlihatkan pelitnya. Aku juga akan semakin aku perlihatkan murkaku.

"Nggak usah di bahas! Aku ini lapar. Aku mau beli makanan di warung makan!" ucap Mas Bagus.

"Terus kamu pikir, kamu saja yang lapar? Istri dan anakmu tidak?" tanyaku balik. Walau sebenarnya aku memang sudah makan.

"Kamu ini gimana? Dikasih uang suruh belanja nggak mau. Sekarang aku mau makan di luar kamu kayak gitu. Mahal makan di warung makan! Tiga porsi seharusnya bisa kita makan seharian. Kalau diwarung makan hanya untuk sekali makan," jelasnya.

Astagfirullah ... semakin ke sini, semakin aku rasakan dia semakin pelit. Semakin perhitungan tentang uang.

"Ok! Silahkan makan sepuasmu diwarung makan. Nggak usah ajak anak dan istri. Karena kalau ngajak anak dan istri akan membuatmu miskin," balasku seraya berlalu dengan kasar.

"Dek! Jaga ucapanmu!" sungut Mas Bagus.

Tak aku tanggapi lagi ucapan dia. Segera aku mencari Halwa. Ya, hanya Halwa yang bisa sedikit menenangkan hatiku. Tanpa Halwa entahlah. Kalau tak ada Halwa, mungkin sudah memilih mundur sedari dulu.

Tapi, niat hati ingin menikah sekali seumur hidup. Semoga niat itu Allah kabulkan. Walau Mas Bagus pelit. Tapi, sebenarnya dia baik. Tak pernah main tangan. Hanya jalan pikirnya saja yang sedang bermasalah.

Braaagghhh ....

Saat aku mulai bermain dengan Halwa, telinga ini mendengar suara pintu di banting. Siapa lagi kalau bukan ulah Mas Bagus.

Ya, kalau dia emosi memang seperti itu. Pintu rumah yang jadi sasaran. Tapi biarlah, yang penting bukan fisikku dan Halwa yang jadi pelampiasannya.

Kutekan dada ini sejenak. Agar sedikit keluar sesaknya di dalam sana.

Ya, semakin ke sini, aku memang merasa rumah tanggaku sudah tak sehat. Bukan karena ada orang ke tiga, tapi hanya faktor nafkah yang menurutku, ngemis nafkah. Kalau tak minta, dia seolah tak pernah berinisiatif memberikan sendiri.

Padahal bayangan saat gadis dulu, saat berumah tangga akulah yang memegang penuh keuangan. Bukan di jatah belanja seperti ini. Bukan di jatah, lebih tepatnya mengemis nafkah kalau menurutku.

Aku lihat Halwa sedang bermain boneka Barbie. Demi kamu, Nak, Mama bertahan. Karena Mama tak mau, kamu merasakan apa yang Mama rasakan dulu.

Ya, aku pernah merasakan orang tua bercerai. Mau ikut Emak nggak enak sama Bapak tiri. Mau ikut Bapak nggak enak sama Emak tiri. Yang mana akhirnya aku memutuskan untuk ikut Nenek dari Emak.

*****************

Mas Bagus sudah sampai rumah. Belanjaan dapur memang sudah dia belikan. Gas juga sudah dia belikan juga.

Dia nampaknya memang sudah makan diluar. Karena tak memintaku untuk memasak. Dia sedang mengisap rokok di ruang tamu.

Tak ada makanan warung yang dia bawakan. Satu nasi bungkus misalnya. Setidak aku bisa berbagi dengan Halwa. Kalau memang baginya dua bungkus memang terlalu sayang mengeluarkan uang.

Aku masih bersama Halwa. Halwa memang lebih suka main di dalam rumah. Bermain dengan boneka barbie yang murahan. Padahal kalau Mas Bagus berpikir mau membelikan boneka yang besar, harusnya bisa. Tapi, terlalu sayang uangnya keluar untuk anak dan istri.

Aku lihat Mas Bagus sudah mematikan rokoknya. Dia nampaknya juga memilih diam. Ok! Akan aku layani, sampai sekuat mana dia mendiamkan aku.

Aku lihat Mas Bagus beranjak dari ruang tamu. Aku perhatikan dia menuju ke kamar mandi. Aku melirik jam dinding. Jam sudah menunjukkan pukul 16:45 WIB. Sudah waktunya mandi memang.

Mata ini menyipit saat melihat gawai yang tergeletak di atas meja. Seketika pikiran untuk memeriksa gawainya.

"Nak, bereskan mainanmu! Habis itu mandi, ya!" pintaku.

"Iya, Ma!" balas Halwa. Dia memang anak yang nurut dan manis.

Aku segera beranjak dan mendekati gawai Mas Bagus di atas meja.

Gawai dia memang di sandi. Tapi, aku tahu kata sandinya. Karena aku sering melirik saat dia membuka gawainya.

Dengan cepat aku sambar gawai itu. Dan segera aku masukan kata sandinya.

Aku segera memeriksa chat WA dan mesenger. Karena Mas Bagus tak pernah punya kuota nelpon atau SMS. Yang dia punya hanya paketan data.

[Gus, makasih traktiran sate kambingnya! Mantab! Semoga rejekimu lancar terus!] mata ini membelalak saat melihat chat itu. Chat dari nama Jaka.

[Sama-sama, Bro! Aamiin!] balas Mas Bagus.

[Sipp ... lain kali aku ajak anak sulungku. Tadi cuma istri dan anak keduaku yang aku ajak. Sekali lagi terimakasih traktirannya!] balas Jaka itu.

[Siipp ... cuma sate kambing ini,] balas Mas Bagus.

Astaghfirullah ... semakin sakit dada ini. Area mata seketika memanas. Bayangan saat aku meminta sate kambing, dia ganti dengan lontong pecel, seketika menghampiri.

Dia bilang sate kambing mahal kalau di depanku. Tapi dia bilang murah ke orang lain. Bahkan dia traktir kawannya beserta anak istrinya. Sedangkan aku dan Halwa, hanya makan satu telur ceplok untuk berdua.

Aku lihat kapan chat itu berbalas. Ternyata kejadian hari ini. Berarti saat kami tengkar tadi, dan dia memutuskan untuk mencari makan di warung makan. Ternyata dia beli sate kambing, dan mentraktir keluarga temannya.

Kuletakan gawai itu. Kutekan dada ini. Air mata seketika jatuh. Karena sudah tak kuasa lagi membendungnya.

"Kok, kamu nggak masak? Katanya lapar? Sudah aku belanjakan semuanya itu!" ucap Mas Bagus. Segera aku seka mata ini.

"Kok, kamu nangis? Kenapa?" tanya Mas Bagus lagi. Kuraih gawainya. Kubuka chat pembahasan traktiran sate kambing tadi.

"Bagimu satu porsi kambing mahal jika di depanku. Tapi terasa murah di depan kawanmu!" ucapku dengan nada bergetar. Seraya aku perlihatkan gawai itu mengarah ke wajahnya.

Dia segera meraih gawainya. Tak ada perlawanan bagiku. Biarlah. Lagi, air mata ini bergulir lagi.

"Aku ini istrimu dan Halwa adalah anak kandungmu. Tapi, aku pikir lebih enakan menjadi temanmu, dari pada menjadi istrimu!" lanjutku. Mas Bagus terlihat menggigit bibir bawahnya seraya nyengir.

"Dek, kenapa kamu buka hapeku?" tanya balik Mas Bagus. Seraya menggaruk kepala.

"Kenapa? Nggak boleh? Memang apapun milikmu, seolah haram untukku!" sungutku, kemudian segera berlalu mendekati Halwa.

"Yok, Nak! Kita rumah uyut malam ini!" ajakku.

Ya, aku ingin melampiaskan sesak ini kepada Nenek. Yang mana Buyutnya Halwa. Aku memang lebih dekat dengan Nenek dari pada dengan Emak.

"Nggak! Kamu nggak boleh ke rumah Nenek!" sahut Mas Bagus.

"Aku lapar! Sudah terlalu perih ini perut jika menunggu harus masak!" balasku. Seraya menuju ke kamar mandi dan segera bersiap untuk ke rumah Nenek.

Aku tahu, satu langkah istri keluar dari rumah, tanpa seijin suami adalah dosa. Tapi, hati yang bergemuruh hebat ini, juga butuh di tenangkan bukan?

Ya Allah ... Engkau Maha Mengetahui.

************

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel