Bab 2
DIAMNYA AKU
DIAM ADALAH CARAKU MELAWAN
PART 2
"Kok, nggak masak sayur atau lauk? Cuma nasi aja?" tanya Mas Bagus.
Kutarik napas ini kuat dan melepaskannya pelan. Selama aku diam, tiga hari dia tak memberiku uang belanja. Karena aku memang bertekad untuk diam. Mulut ini akan bicara kalau dia bertanya.
"Uangnya habis," balasku singkat. Aku lihat kening lelaki yang masih sah menjadi suamiku itu melipat.
"Uang habis? Kenapa kamu nggak minta? Kamu diam saja, aku pikir uangmu masih," tanya balik Mas Bagus. Aku meneguk ludah sejenak.
Ya, selama ini aku memang selalu minta uang belanja. Sudah kayak ngemis nafkah rasanya. Padahal setahuku, tanpa harus meminta, istri memang sudah tanggung jawab suami harusnya.
"Percuma jugakan aku minta?" jawabku sellow. Mas Bagus terlihat semakin melipat kening.
"Kamu kenapa, sih, Dek? Semakin hari kok semakin cuek dan diam?" tanyanya lagi. Kucebikan mulut ini sejenak.
"Nggak ada," balasku sellow. Seraya merapikan rambut Halwa, yang sedikit tertiup angin.
"Dek, kamu berubah sekarang? Bukan Indah yang aku kenal dulu, yang ceria dan banyak bicara," ucap Mas Bagus. Lagi, sengaja aku cebikan bibir ini.
"Perasaan Mas saja," balasku tetap dengan dengan nada sellow.
"Dek? Kamu kenapa? Kenapa kamu nggak minta uang jika uangmu habis? Bukankah selama ini aku selalu memberikan uang jika kamu minta?" tanyanya lagi.
Kuciumi pipi Halwa sejenak. Sengaja mimik wajah ini aku buat cuek. Karena kalau aku menggebu, juga terasa percuma. Buang energi saja.
"Dek! Aku ini sedang bicara denganmu!" sungut Mas Bagus tiba-tiba. Mungkin dia kesal dengan tingkah lakuku.
Lagi, aku hela panjang napas ini. Menoleh ke arah Mas Bagus.
"Harusnya tanpa aku minta, kamu juga harus memberiku uang belanja. Karena itu memang tanggung jawabmu! Karena rejeki yang kamu punya juga ada hakku," ucapku tegas. Kemudian beranjak seraya menggandeng Halwa.
"Apa maksudmu ngomong seperti itu? Kamu itu kenapa?" tanya balik Mas Bagus. Dia mengejar langkahku.
"Nggak usah teriak-teriak! Telingaku masih normal!" ucapku. Mas Bagus semakin melipat kening.
"Kamu ini kenapa, sih?" tanyanya lagi. Mungkin dia mulai geram, penasaran dan penuh tanda tanya dengan sikapku ini.
Aku terus berlalu. Menuju ke teras belakang rumah. Dengan tangan terus menggandeng Halwa. Halwa tentu saja nurut kemana mamanya menggandengnya.
Halwa nampak terdiam. Harusnya dalam kondisi seperti ini, jangan di dekat Halwa, kasihan dia.
"Nak, Halwa main sendiri dulu, ya! Emm, ambil saja bonekanya di kamar!" pintaku kepada Halwa. Anak perempuanku, yang kata orang parasnya mirip dengan Mas Bagus.
"Ya, Ma!" balas Halwa.
Sengaja aku meminta Halwa untuk mengambil bonekanya ke kamar. Agar dia segera berlalu dari kami. Mas Bagus nampaknya faham. Mata elangnya juga terlihat memandang ke arah anaknya, yang sedang berlari kecil, khas anak-anak menuju ke kamar.
"Dek, jelaskan padaku! Kamu kenapa?" tanya Mas Bagus lagi.
"Aku kenapa? Menurutmu kenapa?" tanyaku balik. Dengan nada bicara semakin aku buat sesantai mungkin. Walau sebenarnya di dalam sini, sudah sangat amat membuncah. Seolah lahar panas siap untuk dimuntahkan.
"Dek, aku ini capek pulang kerja! Pulang kerja malah ngajak ribut. Dan nggak ada makanan lagi! Ngapain sajalah kamu itu dirumah!" sungut Mas Bagus. Nampaknya emosinya sudah mulai tersulut.
"Terus kamu pikir aku nggak capek?" tanyaku balik. tetap dengan nada yang masih bisa aku kontrol, agar tetap santai.
"Kamu capek ngapalah? Cuma urus rumah yang nggak besar juga. Nggak mikir cari kebutuhan! Tinggal minta saja, apa capeknya?" balas Mas Bagus enteng. Seketika menyulut emosiku.
"Kalau gitu, ayok kita tukar posisi! Satu minggu saja! Aku yang ke toko matrial, kamu yang dirumah, bersih-bersih dan ngurus Halwa! Gimana?" tantangku. Kening Mas Bagus terlihat semakin melipat. Nampaknya dia tak percaya dengan apa yang aku katakan.
Enak saja dia bilang pekerjaan rumah nggak capek. Padahal kerjaan rumah tiada hentinya. Dari bangun tidur, sampai tidur lagi, tak akan ada selesainya. Kecauli diri kita sendiri, kita buat santai.
Ya Allah ... rasanya sangat menyesal dulu keluar dari pekerjaan lama. Yang mana kala itu, semua orang banyak yang menyayangkan. Karena bisa masuk ke Bank Swasta tidaklah mudah. Tak semua orang bisa.
Tapi, demi cinta dan baktiku pada suami, aku ikhlas melepas semua itu. Demi mendapatkan predikat istri sholikhah juga tentunya.
Padahal sedari gadis, aku tak pernah kekurangan uang. Apalagi setelah bisa bekerja. Rekeningku tak pernah kosong. Tapi sekarang? Nafkah dari Mas Bagus, jika di total, lebih besar gajiku saat kerja di Bank dulu. Dan rekeningku, memang nol karena memang tak pernah diisi.
Padahal pendapatan Mas Bagus lumayan. Tapi, dia memang terlalu menggenggam uang. Pelit untuk anak dan istri. Tapi royal untuk orang lain atau saudaranya.
Demi mendapatkan sebuah pujian. Ya, Mas Bagus jika di puji baik, seolah lupa daratan. Akan semakin menjadi royalnya. Tapi tak berlaku jika aku yang memujinya.
"Kamu ini kenapa? Kamu habis mimpi buruk atau gimana? Ada-ada saja!" ucap Mas Bagus.
"Aku nggak lagi mimpi buruk. Aku sadar sesadar-sadarnya dengan apa yang aku ucapkan!" balasku. Mas Bagus terlihat melipat keningnya lagi.
"Sudahlah! Aku nggak mau berdebat denganmu! Ini uang segera masak! Aku lapar!" ucap Mas Bagus, seraya mengeluarkan satu lembar uang berwarna biru dari dompetnya.
Kuamati satu lembar uang berwarna biru itu dengan sinis. Tanganku masih belum menerimananya.
"Kok diam saja! Ini uangnya ambil!" perintah Mas Bagus.
"Berapa hari kamu tak memberiku uang? Tiga hari, Mas, kamu tak memberiku uang. Hanya lima puluh ribu? Sana kamu belanja sendiri. Aku tinggal masak saja!" jelasku, seraya berlalu.
"Dek, kamu kok semakin perhitungan dengan uang? kamu ini kenapa?" tanya Mas Bagus lagi. Ya, dia mengejarku lagi.
Mumpung Mas Bagus mengejarku, segera aku bawa dia ke dapur. Segera aku nyalakan kompor. Mati.
"Kamu lihat! Gas habis. Minyak sayur habis. Cabai juga tinggal beberapa biji. Bawah merah habis, tinggal sisa bawang putih. Gula juga habis. Jadi belanjakan uang lima puluh ribumu itu, beserta lauk dan semua belanjaan dapur yang habis. Biar aku tinggal masak!" ucapku. Kemudiah berlalu lagi keluar dari dapur. Aku lihat Mas Bagus masih mematung di dalam dapur.
Lagi, kuhela panjang napas ini. Tadi aku sudah makan dengan lauk telur ceplok bersama Halwa. Telur satu butir kami makan berdua. Karena memang tak ada yang lagi bisa aku masak.
Itu pun tadi masak telur ceplok di kompor tetangga. Alasan gas habis, motor nggak ada. Karena memang di bawa Mas Bagus kerja.
Ya, walau dalam keadaan kesal dengan suami, aku tetap akan menutupi sikap jeleknya di depan semua orang. Karena bagiku, cukup aku istrinya, yang tahu akan aibnya.
Kuusap wajahku sejenak. Kemudian kuputuskan untuk ke dapur lagi. Menemui Mas Bagus lagi.
Ya, Mas Bagus memang masih berada di sana. Aku lihat dia memeriksa semua isi dapur.
"Gimana, Mas? Maukah bertukar posisi?" tanyaku lagi. Mas Bagus terlihat memandangku. Bola mata kami saling beradu pandang.
****************
