Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6

Kesalahan?

Apa bisa diucapkan ketika ia sudah mendamba?

"Kenapa Afa nggak boleh ikut?"

"Mama nggak bilang gitu," sahut Amara.

Siang ini, mantan suaminya mengajak Afa jalan dengan dalih makan siang. Sedangkan Amara belum tahu motif terselubung Maharga.

Ia yakin, bukan tanpa sebab Maharga mengajak putrinya.

"Kalau Afa mau silahkan."

"Dia bukan orang asing, Ma. Bukan berarti juga Afa mau sama dia. Afa cuma mau kenal, siapa suami Mama."

Kikuk, Amara mengalihkan tatapan yang sedari tadi berpangku pada wajah cantik putrinya.

Ini anaknya. Bukan teman ngobrol. Amara malu.

"Kabarin saja kalau kamu mau. Mama nggak nglarang. Bagaimanapun juga, dia papa kamu." orang yang membuat kamu hadir di dunia ini, meski aku yang memaksa.

"Kalau Afa minta Mama ikut, Mama mau?"

"Tidak. Mama ada kerjaan. Relasi Mama berkunjung hari ini."

Kedutan kecil tercipta di kening Afa. Yang dikatakan mamanya memang benar. Dari dulu, yang dilihat Afa adalah Amara yang sibuk dengan komputer dan kertas-kertas bertinta.

Tak ayal, kadang dirinya ikut lembur bersama tumpukan kertas itu demi menemani sang mama walau sekedar temenin tidur.

"Oke. Afa ikut Mama ke kantor. Nanti perginya dari kantor Mama, boleh?"

Amara mengangguk. Setelah selesai sarapan, mereka keluar dari apartemen.

Berharap Maharga tidak meracuni otak anaknya, walau Afa bukan tipe yang mudah percaya pada orang lain. Tapi, ini ayah biologisnya. Bagaimanapun ada keterikatan batin antara keduanya.

Sementara Amara sibuk dengan pekerjaannya, Afa menghabiskan waktu menyelesaikan beberapa soal yang dikirimkan miss Nita ke emailnya di ipad. Karena guru private-nya tidak bisa hadir untuk dua hari ke depan.

Afa sangat menghargai waktu, persis Amara. Disiplin dan otoriter, murni turunan Maharga.

Bisa dibilang, gadis itu lahir dari dua individu yang memiliki gen perfect.

"Papamu belum datang?"

"Sudah."

Bingung. Amara kembali bertanya. "Kenapa kamu masih di sini?"

Bukannya menjawab, Afa menyodorkan ponsel pada Amara.

Dalam satu detik, emosi Amara mencuat. Rahang sudah membentuk keras saat pertama kali melihat foto dan isi chat Maharga pada putrinya.

"Itu dia?"

Pertanyaan putrinya tidak di jawab Amara. Ia tidak perlu repot-repot menjelaskannya, karena isi pesan tersebut 100℅ bisa dipahami putrinya.

"Cantik."

Amara menatap sekilas putrinya, sementara ponsel Afa masih di tangannya.

"Tapi tolol."

"Afa!"

Afa tersenyum sinis. Teguran mamanya mengesalkan. Wanita itu memang cantik. Tapi, Afa jujur, kalau wanita dalam foto yang dikirimkan Maharga terlihat tolol.

"Afa males, Ma," keluh Afa. Gadis itu berselonjoran di sofa ruangan Amara.

"Kita makan siang bareng teman Papa ya."

Isi pesan Maharga kembali menghiasi benak Afa.

Dari isi pesan saja, Afa tahu. Itu bukan teman. Kalau teman ngapain ngirim foto segala.

"Keluarlah. Dia pasti sudah menunggumu." walaupun Amara tahu, Afa tidak akan pergi, ia tetap membujuknya. Tidak benar-benar membujuk.

"Balesin. Afa sibuk." melihat Amara hanya menatapnya datar, Afa mengambil ipadnya dan membuka lembar tugas.

"Nggak percayaan banget. Nih, Afa mau review tugas miss Nita."

Setelah itu, gadis kecil tersebut masuk ke kamar pribadi Amara. Tepat dengan panggilan masuk dari Maharga di ponselnya.

Amara memilih mengabaikan. Dia tidak mau berurusan dengan Maharga.

Sepuluh menit berlalu, Amara harus menerima kedatangan tamu yang sudah ditolak mentah-mentah oleh putrinya.

"Afa di sini?" tanpa basa-basi, begitu pintu terbuka, Maharga langsung menerobos dan melemparkan pertanyaan pada Amara.

"Dia tidak mau pergi." tanpa melihat ke arah Maharga, Amara menuju ke singgasananya.

Membereskan berkas, dan mematikan layar komputer, karena dua jam ke depan ia akan menghabiskan waktu bersama kliennya di restoran.

Waktunya untuk Maharga sudah selesai sejak 8 tahun yang lalu. Urusan laki-laki itu sekarang, dengan putrinya, bukan dengan dirinya.

"Panggil Afa."

"Usaha sendiri. Saya sedang sibuk." Amara mengambil clutch-nya.

"Pliss. Dia sedang menunggu."

Ingin Amara menampar laki-laki yang mudah sekali menyebut dia di sini. Lupa laki-laki itu berdiri di mana?

"Putriku punya harga diri. Bukan wanita rendahan."

Rahang Maharga lebih keras dari miliknya Amara.

"Siapa yang rendahan? Saya menyuruhmu memanggil Afa!"

"Ini kantor saya Bapak Maharga. Bisa anda sedikit sopan?"

"Saya tidak bisa lama. Panggil Afa!" tajam kalimat Maharga, disambut senyum sinis oleh Amara.

"Siapa yang meminta anda menghabiskan waktu untuk putri saya?"

Sungguh. Maharga ingin mencekik Amara saat ini. "Saya cuma minta kamu panggil Afa. Bukan menilai saya."

"Saya juga sudah bilang. Anak saya tidak mau. Pendengaran Bapak masih berfungsi?"

Tidak mau bagaimana. Tadi pagi Afa mau diajak olehnya. Kenapa sekarang berubah pikiran?

"Ka-----"

Maharga tidak menyelesaikan kalimatnya karena tubuh Amara sudah menghilang di balik pintu.

Wanita itu sudah pergi.

Lantas, dia harus bagaimana?

Di parkiran karyawan, Amara bertemu dengan Bidara. Lolinya mantan suami.

Bukan sebuah surprise, tapi ini sebuah ajang pertunjukan.

"Bidara?"

Yang di sapa menoleh. Tangan yang menggenggam ponsel sempat menutup mulutnya.

Amara tahu, dari ekspresi Bidara yang menampilkan wajah bahagia. Tapi, coba setelah ini, apa wajahnya masih secerah ini?

Suara yang tidak jelas serta anggukan kepala Bidara memuakkan untuk dipandang Amara.

Ketika Bidara membuka pintu mobil, mata Amara menangkap cepat notes kecil dan sebuah pena yang terletak di atas Dashboard.

Sebelum Bidara berbasa-basi, terlebih dahulu Amara berbicara.

"Saya tahu kamu ke sini dengan Aga. Dia di ruangan saya, jemput anaknya. Kalau kamu mau masuk minta antarkan security ya."

Kalimat itu lembut. Informasi yang disampaikan Amara juga teraktual.

"Oya," sela Amara lagi setelah melihat wajah pias wanita pujaan hati mantan suaminya. "Afa tidak suka kacang. Saya lupa kasih tahu Aga."

Wajah pias itu semakin pucat. Aliran darah seolah tidak mengalir di bagian tersebut.

Sebuah fakta sedang mengguncang Bidara, Amara yakin itu.

Tanpa berpamitan, Amara melenggang dari hadapan Bidara.

Pertunjukan kecil telah usai. Wajah Amara kembali terselimuti hawa dingin.

Masalahnya bukan dengan Bidara, meski akar keretakan karena wanita itu. Maharga memilih wanita itu setelah akad. Jadi, Amara berhak mempertahankannya saat itu. Walau akhirnya terpaksa melepaskan setelah harga dirinya dibayar hinaan.

Sementara di dalam ruangan Amara, Maharga masih menunggu Afa. Ia berjanji pada Bidara akan membawa gadis kecil yang cantik untuk makan siang bersama.

Tapi yang ditunggu sama sekali tidak menampakkan batang hidungya. Ia hampir setengah jam menunggu dan baru akan mengabari Bidara ketika pintu ruangan diketuk dari luar.

Akses yang digunakan Bidara tentu atas perintah Amara melalui sekretaris mantan istri Maharga.

Dan penampakan pertama ketika pintu terbuka adalah wajah sembab Bidara.

Maharga bersyukur, tidak ada orang yang mendampingi Bidara. Sehingga tidak ada seorangpun yang melihat keadaan Bidara.

Tidak cukup sampai di situ hati Maharga dibuat hancur karena kondisi Bidara, kini bahasa isyarat Bidara menyentak radar awasnya. Hatinya trenyuh melihat tatapan Bidara yang teralihkan ke belakangnya di mana sosok yang sedari tadi ditunggunya keluar.

Air mata Bidara membasahi pipi cantiknya. Gadis kecil yang berdiri di sana cantik. Sangat cantik.

Dan, dirinya tahu dari siapa tatapan gadis kecil itu menurun. Hidung dan raut wajah tajam itu milik kekasihnya.

Hancur. Bidara hancur mendapati kenyataan yang tidak pernah ada dalam bayangannya.

Setitik air mata jatuh membasahi wajah cantik putri kecil Amara dan Maharga.

Sebaris kalimat Maharga membuatnya tahu posisi. Tahu di belakang siapa ia akan berdiri.

Sebaris kalimat yang juga disaksikan Amara, yang menggenggam erat gagang pintu ruangannya.

"Dia sebuah Kesalahan."

Kalimat yang tidak bisa ditelan mentah-mentah oleh Amara.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel