5
Apa kabarmu,
Saat darah tau jejak nadinya
Tapi warna enggan
menyempurnakan kadar pekatnya?
Bagi Maharga, beberapa poin penting mengenai prinsipnya tidak bisa diganggu gugat. Salah satu contoh, kedisiplinan yang dimiliki laki-laki tersebut. Tidak hanya dalam hal pekerjaan, namun juga perasaan.
Kesempurnaan yang dimiliki Maharga, sedang dipertaruhkan oleh gadis kecil yang duduk di hadapannya. Dalam hati, Maharga bisa mengakhiri pertemuan ini.
Mungkin.
Entahlah. Ia tidak menyadari kesigapan Afa yang tengah menyita seluruh perhatiannya.
Terbukti, satu jam menghabiskan waktu makan siang, kini mereka sudah berada di salah satu caffe.
Bukan ia tidak ingat dengan janjinya pada sang pujaan hati. Namun untuk bangkit dari singasana caffe ini butuh logika yang sangat baik.
Dua kali mengangkat panggilan di hadapan Afa, ia kebingungan menjawab pertanyaan di luar dugaannya.
"Penting mana, orang di depan Bapak atau yang tidak terlihat?"
Bagaimana Maharga mau menjawab. Maksudnya, kata apa yang bisa mengimbangi cara berpikir gadis kecil yang berhasil menghangatkan sisi dinginnya.
"Bucin boleh Bapak, goblok jangan."
"Hah?"
Amara ingin tertawa. Fakta sebuah informasi akan diulik nanti saat mereka sampai di rumah.
Amara sangat mengerti jika putrinya mengetahui sesuatu. Tingkat kecerdasan Afa sama sekali tidak diragukannya.
"Mama lah, orang yang nggak pernah Afa lihat goblok. Untung Afa nggak punya Ayah macam Bapak."
Batuk kali ini parah. Perihnya hingga ke ulu hati dan menyebabkan kelopak Maharga mengeluarkan cairan bening.
"Bapak kenal sama Mama. Tapi Afa nggak suka kalau Bapak dekati Mama. Jadi, mimpinya jangan ketinggian."
Afa melanjutkan kalimatnya, sebelum batuk Maharga reda. Sementara Amara tidak ingin berbuat apa-apa. Maharga sendiri yang mengajak mereka. Jadi, belum terpikirkan oleh Amara untuk mengotorkan tangannya.
Pertemuan pertama, tidak ada dalam agenda. Maharga yang memaksa masuk.
Ia hanya menyiapkan diri akan cercaan putrinya saat tiba di rumah nanti. Sekaligus keingintahuannya, dari kacamata mana ia mendapatkan feeling tentang seorang Maharga.
"Sekarang, Afa bisa ngerti, kenapa Bapak mau gabung sama kita. Punya anak itu, menyenangkan. Mama yang bilang, kan Ma?"
"Heum."
Ketika mata Maharga membidiknya, Amara tidak mundur. Ia membalasnya dengan senyuman.
Senyum baik-baik saja. Ah tidak. Senyum kemenangan. Ia sudah lebih baik saat memutuskan melahirkan dan membesarkan putrinya.
"Afa malas berada diantara kalian. Ma, kita pulang?"
"Boleh."
Sebelum anak dan ibu itu henkang dari sana, dengan cepat Maharga mencegat.
"Boleh saya bicara sama Mama mu?"
Dan, Maharga menyesal telah mengajukan pertanyaan itu.
"Apa Mama saya terlihat mau bicara sama Bapak?"
Balasan telak itu, dijawab Afa tanpa melihat Amara. Ia mewakilkannya.
Yang membuat Maharga tercengang adalah, sikap santun Afa saat berpamitan setelah melemparkan bait kata pedas.
"Besok-besok kalau mau makan bareng, santai aja. Saham Afa lebih, kalau hanya bayarin ayam rendang dan kopi Bapak."
Maharga sadar. Afa memiliki prinsip yang hampir sama dengannya.
Dua jam lebih dua puluh tujuh menit bersama anak itu, Maharga sudah cukup mengetahui perkembangan spermanya, hingga terbentuk gadis kecil dengan perangai keras tak terkalahkan.
Sosok yang tidak ingin kalah atas segala kebenaran. Sosok yang mau membanting segala argumen jika tidak sesuai dengan keinginannya.
Satu pertanyaan, bagaimana kelanjutan sikapnya jika bertemu dengan Afa di lain waktu? Apa ia harus menjaga jarak, atau acuh saja. Toh dirinya tidak ada niat menciptakan Afa ada di dunia ini. Semua terjadi atas keegoisan Amara. Ia tidak ikut andil. Ia dijebak.
Ah...
Maharga mengerang. Saat suara kekasih pujaan hati menyapa genderang telinga, memorinya malah memutar pita suara Afa. Padahal hari telah pun berganti malam.
Sinis, tapi santun.
Keras, tapi berwibawa.
Cerewet, tapi ngangenin.
Sementara di lain tempat, Amara berusaha menjawab dengan benar tanpa bertele-tele, setiap pertanyaan Afa.
"Kenapa semuanya harus sama?"
"Kamu menyadarinya?"
"Orang buta nggak melihat, tapi bisa ngrasain. Sedangkan Tuhan nyiptain Afa sempurna. Apa Afa harus pura-pura depan Mama?"
Kan, Amara sudah yakin saat Afa menerima ajakan Maharga makan siang bersama.
Afa bukan tipe yang mudah dekat dengan orang. Persis Maharga. Ia hanya dekat dengan dua atau tiga orang saja.
"Kenapa Afa nggak mirip Mama? Kenapa harus Bapak itu?"
Amara sudah berjanji. Saat hari ini akan tiba, ia akan menjawab semuanya tanpa menutupi apapun, kecuali kesakitan yang diberikan Maharga.
Kesakitan itu akan ia selesaikan sendiri tanpa mengotori putri mereka.
Afa tidak bersalah dalam hal ini. Kehadiran Afa wajar. Karena setiap pasangan menginginkannya. Hanya Maharga yang tidak. Mata hatinya sudah dibutakan Bidara.
Loli-nya Maharga. Gadis remaja korban broken home juga tuna wicara. Gadis yang sudah menjadi wanita pujaan Maharga sebelum kemunculan Amara.
"Karena Tuhan nggak mau Mama lupa sama dia yang udah ngasih Afa ke Mama." selamanya Mama nggak akan lupa. Ia sudah menolakmu, jauh sebelum kamu terbentuk.
"Mama terlalu jujur. Mama percaya nggak kalau benci dan cinta itu tetanggaan?"
Amara mengangguk.
"Dan, Afa nggak mau jadi tetangga mereka lagi."
Mendengar perumpamaan Afa, Amara tertawa.
"Cantikan mana, Mama apa wanita yang ditelpon Bapak tadi?"
"Mama."
"Hebat?"
"Mama." Amara menjawab lagi dengan percaya diri.
Dirinya memang lebih sempurna dari Loli-nya Maharga. Hanya takdir yang membuatnya seperti ini. Dan, tidak lama lagi, ia akan memulai debutnya.
"Terus kenapa harus milih dia?"
"Karena Tuhan tahu, mana yang terbaik buat Mama."
Jawaban Amara sama sekali tidak memuaskan. Untuk itu, Afa bertanya lagi.
"Jika darah memilih warnanya, yang Mama lakukan untuk bertahan, apa?"
Jujur, Amara terkejut. Namun, sebaik mungkin ia mengatur kontrol dirinya.
Maksud pertanyaan Afa dalam.
Ia tahu, hari ini akan tiba. Akan ada pertanyaan di atas takdir, dari putrinya.
"Terus berjuang. Darah akan tetap amis. Tidak peduli, seberapa besar harapannya. Karena darah itu tidak menggadaikan nyawa untuk membuat warna itu hadir."
"Ada yang Mama lewatkan."
"Tidak ada." dengan cepat Amara mengelak. "Selain dia nggak tahu kehadiranmu." tidak, ia sudah menolakmu. Percayalah Nak.
"Kalau begitu, Afa akan membutakan mata. Afa tidak tahu apapun."
Amara menarik nafas dalam. Sudah selesai.
"Afa orang pertama yang menentang dia. Jadi, jangan berpikir jatuh pada kolam yang sama."
Spechless. Jika kalimat ini didengarkan oleh Maharga.
Tidak bagi Amara. Ia sudah terbiasa. Amara percaya, karma selalu diiringi takdir.
"Afa berdosa nggak ngatain dia goblok?"
"Dosa."
"Tapi Afa nggak mau minta maaf."
Amara tersenyum, "Tetap jangan diulangi."
Harusnya sedang ada pelukan antara ibu dan anak tersebut, jika tidak ada panggilan masuk.
"Dia."
"Afa yang angkat."
Amara memberikan ponselnya pada Afa.
"Selamat malam. Dengan putri bu Amara Sakti Ladora. Ada yang bisa Afa bantu?"
Amara memperhatikan putrinya. Mereka sangat mirip. Semuanya.
"Ini...saya."
"Bapak Maharga?"
"Iya."
"Mama sedang sibuk. Ada apa ya Bapak?"
"Sudah malam, belum tidur?"
Amara bisa mendengarnya, karena Afa mengaktifkan loudspeaker.
"Dari kecil Afa tidur sendiri. Nggak ada yang ingetin. Tapi, makasih Bapak udah ingetin. Selamat malam."
Afa mematikan sambungannya dan mengembalikan ponsel Amara.
"Afanin Kamala Atmadja. Maharga Reynaldi Atmadja." Afa mengerjap, mengetahui nama Maharga. "Kenapa harus ada nama dia?"
"Saat kamu menikah, dia yang disebut. Saat kamu matipun, nama dia yang disebut."
Raut kecewa tercipta di garis wajah Afa. "Sekalipun dia tidak pernah ganti popok Afa?"
Sekalipun ia tidak ikhlas saat benihnya tertanam di rahimku. "Iya."
"Jadi, dia Aga-nya Mama?"
"Dulu."
Afa mengangguk percaya.
"Sekarang?"
"Hanya ada Afa-nya Mama."
"Kalau Afa izinkan?"
Amara tertawa. Apa yang akan dipikirkan Afa jika dirinya memberberkan fakta tentang Maharga?
Tentang kebusukan Maharga dengan segala kebrengsekannya?
