7
Pemandangan yang tidak seharusnya disaksikan Afa, juga kalimat yang tidak sepatutnya didengarkan oleh anak seumurnya. Apalagi, diucapkan sendiri oleh ayah kandungnya.
Usai penolakan nyata tentang status anaknya, Amara melihat pelukan melindungi. Pelukan mantan suaminya kepada wanita yang tidak mengundang iba dari Amara.
Bukan dirinya yang mengusulkan ide gila itu. Maharga lah yang mengajak Afa bertemu.
Jagung sudah menjadi kolak. Apalah daya, rayu dihimpun, kecewa yang dikecap.
"Itu wanita? Kenapa tidak punya hati?"
Itu sebuah pertanyaan dalam gumaman.
"Dia menangis. Tapi, lebih mirip mengumpat. Afa salah, Ma?"
Sudah tak terhitung pelukan yang diberikan Amara untuk putrinya hari ini. Tepatnya setelah kejadian siang tadi.
Meeting penting ditinggalkan oleh Amara. Ia ingin menyaksikan bagaimana cara Maharga memberitahu Bidara.
Hasil yang memuaskan.
Ia tidak perlu repot-repot memberi penilaian tentang ayah putrinya. Maharga melakukan tugasnya dengan sangat baik.
"Eum."
"Hati Mama apa kabar?"
"Baik. Sangat baik setelah ada kamu."
Pelukan anak dan ibu tersebut semakin erat. Afa tidak menangis lagi. Tapi Amara menyambut dengan hangat luka yang sedang dirasakan putrinya.
Darah itu sudah mengering. Namun goresan kembali disibak oleh si penyebab luka.
Dia terlahir dalam ikatan sah. Namanya tercatat dalam buku negara. Lantas, dari mana Maharga menjudge putrinya sebuah kesalahan?
Belum 24 jam, Amara kembali mendapati keberadaan laki-laki bangsat di ruangan kantornya.
Omong kosong apalagi yang akan dibeberkan laki-laki itu?
"Kenapa tidak mengangkat telepon?"
"Penting?" sinis Amara tanpa melihat Maharga.
"Afa---"
"Boleh saya haramkan mulut Bapak menyebut nama putri saya? Kalau tidak, cukup diam. Anggap saja, sperma Bapak tidak pernah bertahan di rahim saya!"
Kerasnya rahang Maharga tidak dipedulikan Amara. Ada hati yang sedang ia perjuangkan sejak masih dalam kandungan.
"Kenapa Afa tidak ikut?"
Sebuah tamparan melayang. Keras. Namun tak mampu menjadi penawar atas racun yang sudah dibubuhkan Maharga.
Kilatan mata Maharga menusuk. Menikam tepat di bola mata Amara hingga terasa ke jantungnya.
Takut? Tidak!
Ingin Amara mengoarkan kebencian pada kekasih gelap Bidara. Ingin wanita itu mencabik wajah palsu penuh wibawa itu.
"Itu nama anak saya. Bukan nama pelacur yang Bapak pelihara!"
"Amara!!"
Bentakan Maharga cukup keras. Amara tahu, laki-laki itu tersinggung. Bukan. Laki-laki itu terluka setiap saat dirinya menyebut jalang pada Bidara.
Sejak dulu.
"Lulusan bristol? Yakin dengan bahasamu?"
Senyum sinis Amara menebarkan kebencian. Ucapan Maharga dibalas telak olehnya.
"Bagaimana dengan anda Bapak Maharga? Sebutkan nominal yang harus saya keluarkan. Korea Sepertinya pilihan bagus untuk mengubah kelamin anda!"
Mendekat, Maharga mencengkram dagu mantan istrinya. Benci yang terpancar dari kedua pasang mata keduanya, sama-sama menyakitkan.
Kepala Amara terangkat, akibat cengkraman itu. Bibir merahnya merekah dan menuntut.
Maharga jijik.
Namun tangannya masih bertahan di dagu mantan istrinya. Posisi yang sangat berbahaya jika mereka sedang memendam perasaan cinta, bukan benci seperti ini.
"Kenapa? Bibir saya lebih menggoda ketimbang bibir pelacur Bapak?"
Amara tersenyum sinis. Seringai di bibirnya menggalaukan fokus Maharga.
Tatapan tajam, dengan raut keras.
Fantastic!!
Amara memajukan wajahnya. Bibirnya masih merekah dan basah. Padanan yang kontras dengan kulit wajahnya yang putih.
Rahang Maharga semakin mengerat. Tonjolan urat menggaris wajahnya.
Hangat nafas Amara memburu kulit yang melapisi rahangnya.
"Hanya begini saja, Bapak tergoda? Kanapa tidak memberikan private pada pelacur Bapak?"
Kalimat itu meluncur mulus dari bibir Amara, ketika mata lelaki itu terpejam. Dan sontak, cengkraman itu lepas.
Maharga sadar.
Sekalipun dirinya benci dengan wanita itu, mereka pernah bersama. Walau di bawah pengaruh obat, Maharga masih mengingat desah nikmat malam itu.
Mengingat semua itu, rasa jijik kembali menyerangnya.
"Service Bidara, minus?"
Emosi Maharga kembali tersulut. "Jaga mulutmu! Bidara bukan wanita sepertimu!"
"Jelas," balas Amara. "Tentu jauh! Saya wanita yang bisa melahirkan putri cerdas, yang bisa membedakan mana madu dan racun!"
"Jangan kontaminasi otaknya!"
Amara tertawa. "Dia sudah hebat sejak lahir. Bertahan dengan segala kekurangan yang dimiliki ibunya."
"Jadi, dia tahu. Mana laki-laki mana banci," sambung Amara. Melihat Maharga diam dengan emosi yang tak akan padam, Amara melanjutkan, "Mau tahu, apa yang diinginkan putri Bapak sejak dulu?"
Mata keduanya tajam. Saling menyudutkan dan menikam secara bersamaan.
"Ayah yang berbobot!"
Tiga kata itu mampu meruntuhkan air muka Maharga. Ada yang salah dengan dirinya saat mendengarkan barisan kata Amara.
"Dengan Bidara, bapak Maharga bisa menghasilkan sepuluh Afa. Namun tidak akan sama dengan Afa-saya. Silahkan dicoba. Tidak penasaran dengan desahan gadis yang Bapak pacari diam-diam?"
"Tutup mulutmu, Amara."
"Lakukan saja! Lagian, putri saya sudah mengakui. Dia tidak punya ayah. Dia titipan Malaikat."
Dengan sekali kedipan, tetesan hangat itu akan membasahi wajah cantiknya. Amara tidak mau itu terjadi.
Cukup tadi malam, ia menangis mengutuk mantan suaminya yang tega melukai perasaan anak gadisnya.
"Afa anak Mama. Tuhan percaya sama Mama, makanya Afa dititipkan. Ada malaikat yang akan menjaga Afa. Ada Mama juga. Afa tidak punya ayah. Hanya punya Mama. Afa tidak butuh ayah. Afa hanya mau Mama. Hanya akan ada Mama saat Afa pakai toga nanti."
Itu igauan. Ucapan di bawah alam sadar putrinya.
Hati ibu mana yang tidak akan hancur menyaksikan luka anaknya? Ibu mana yang bisa tersenyum jika ayah kandung menolak kehadiran buah hati?
Taukah kalian, jika cinta pertama anak perempuan adalah seorang ayah?
Lantas, jika cinta pertama Afa semiris ini, bagaimana tegar yang dianugerahkan Tuhan ke depannya?
"Sekarang pergilah! Hapus nama Afa. Lupakan seperti Bapak menolak keturunan Bapak di rahim saya!"
Amara berbalik. Hujaman di jantungnya kian terasa. Detak keras semakin nyata.
Bait kalimat Afa, mengundang bara benci yang akan membakar Maharga hidup-hidup.
"Dia tetap anak saya!"
"Urat malu Bapak, sudah terpotong? Anjing saja tahu melindungi anaknya. Derajat Bapak sudah anjlok?"
"Saya akan meminta----"
"Dia sudah pergi."
Selangkah hentak kaki Amara, ditahan oleh genggaman Maharga di lengannya.
"Apa maksudmu? Ke mana Afa?"
"Apa saya perlu memberitahu keberadaan putri saya?"
"Dia juga anak saya, Amara!!"
Sekali hempasan, tangan Amara terlepas dari genggaman Maharga.
"SELAMANYA DIA AKAN MENJADI SEBUAH KESALAHAN! Bapak ngerti?"
Puncak emosi Maharga meledak. Jutaan asa meluruh bersama frustrasi kebimbangan.
Perasaan hanya sebatas perasaan. Karena darah akan mengalahkan cairan pekat tak berwarna.
"Dia memang sebuah kesalahan. Seandainya kamu tidak egois waktu itu, dia tidak akan merasakan semua ini. Dia tidak akan melewati fase ini. Sudah tahu di mana letak salahmu yang mengawali semua kesalahan?"
Amara tidak terkejut. Kalimat itu pernah diucapkan Maharga saat laki-laki itu mengusirnya.
"Salah saya? Lalu, untuk apa Bapak mencari hasil kesalahan saya?" dingin, aura yang terpancar di wajah Amara.
"Lupa letak kesalahan Bapak? Apa harus saya umumkan pada dunia, laki-laki seperti apa yang membuat saya terpaksa melakukan kesalahan?"
"Dari dulu kamu egois."
Amara muak, "Dan, biarkan saya bersama hasil keegoisan saya." tunggu apa yang akan kulakukan.
Tunggu saja.
Sakitku, akan terbalas Maharga.
Kembaliku ke sini, untuk mengembalikan rasa sakit yang pernah kau goreskan.
Aku sudah memulainya, Maharga...
