Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4

Kau kalah oleh waktu

Kau diam karena salah

Aku ingin tertawa hebat

Agar dunia tahu, sebejat apa kamu.

"Kita perlu bicara."

"Meeting sudah selesai. Saya ada Urusan lain."

Amara mengubah fitur aktif pada ponselnya. Sembari keluar dari ruangan VIP.

"Saya hanya ingin bertanya. Hanya butuh waktu satu menit untuk menjawab."

Tanpa senyum Amara membalas ucapan Maharga. "Saya pernah memberimu waktu 180 hari. Kurang?"

Suara heels menyentuh lantai keramik ruang VIP berubah menjadi decitan.

Tubuh Amara limbung dan berakhir dalam dekapan Maharga.

"Anda sedang cari kesempatan?"

Sekali hentakan, tubuh Amara menjauh dari mantan suaminya.

Niat Maharga, hanya mencekal lengan wanita itu. Bukan membawa dalam dekapannya.

"Tolong jawab."

"Maaf. Putri saya sudah menunggu."

Maharga kembali menahan tangan Amara. Ukiran urat di rahang yang keras itu terlihat begitu jelas.

"Matanya----"

"Selamanya tidak akan menyentuh darah Atmadja. Tenang saja."

"Saya belum selesai Amara!"

Dengan kasar Amara melepaskan kaitan tangan itu.

"Satu lagi. Jangan cari tahu apapun. Nggak kasihan sama Loli mu? Gimana kalau dia tahu, saya punya anak. Dan anak saya hanya mengakui saya. Sering-sering ke Psikiater."

Tangan itu semakin mengerat. "Loli tidak gila."

"Berarti kamu yang gila," balas Amara telak.

"Saya udah jelasin, itu anak haram saya dengan laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Kamu mau dengar apa lagi?"

Mata Amara memicing pada kaitan tangan Maharga yang menggenggam lengannya.

"Mau dengar langsung dari anak saya tentang ayahnya?"

Maharga melihat sesuatu yang menantang dari mata itu.

"Tidak perlu. Saya ada urusan."

"Banci!"

Ingin Maharga mencekik Amara di ruangan VIP ini seandainya tidak ada CCTV.

"Mulutmu masih sama," desis Maharga.

"Tentu. Rasanya juga masih sama seperti 8 tahun yang lalu. Mungkin sensasinya yang berbeda."

Iya. Kamu juga murahan.

"Mau coba? Ah jangan. Kasihan Loli. Masa Dua kali harus icip bekas saya."

Rahang Maharga semakin keras, ketika mendengar lanjutan kalimat tersebut.

Amara menikmatinya. Sangat menikmati 

"Setidaknya, saya tidur dengan orang yang tepat. Orang yang satu KK dengan saya. Bukan suami orang lain."

"Loli tidak seperti dalam pikiranmu!"

"Tentu saja. Dia maha benar dengan segala kesempurnaannya di mata seorang Maharga."

Dari dulu. Semenjak kamu masih menjadi suamiku. Hanya Loli yang ada dalam benakmu.

Kamu bahkan buta. Titik fokusmu gelap. Sinar hanya berpijar pada sosok Loli.

Kilatan mata Maharga menghunus objek di depannya. Namun ia tidak menerima kegentaran dari wanita yang pernah menjadi istrinya dalam hitungan bulan.

"Ini meeting terakhir dengan anda, Bapak Maharga. Selamat siang."

Amara meninggalkan Maharga Reynaldi Amtadja.

Janji temu dengan Afa lebih penting ketimbang meladeni laki-laki penyebab hadirnya Afa.

Tujuh tahun lebih, cukup ia sendiri. Merangkai hidup mengembalikan jiwa yang pernah tak ingin kembali ke raganya.

Ia pernah berjuang. Walau hanya satu kali. Karena berjuang ratusan kalipun klimaknya akan sama.

"Lama."

"Mama udah usaha. Ini paling cepat, Afa."

"Mama tidak pernah tahu. Menunggu itu bosan Mama."

Amara terkekeh. Ia memang tidak pernah menunggu lagi setelah malam naas itu. Setelah mengetahui ada janin Atmadja di rahimnya, sekaligus penolakan ayah janin yang kini sudah tumbuh cantik di hadapannya.

"Sorry."

Amara sudah menduga akan mendapati Afa yang seperti ini jika dirinya memberikan waktu jeda untuk sang anak. Terlebih satu jam yang dijanjikannya lewat dua puluh menit karena ulah Maharga.

Mengambil tas, sebelum menarik tangan Afa keluar ruangannya, Amara menyuruh asistennya tetap di kantor.

"Itu orang yang sama. Dia nggak ada kerjaan selain lihat kita?"

Kening cantik Amara membentuk tiga lipatan halus dan samar. "Siapa?"

Dagu Afa mengarah ke sosok laki-laki yang satu jam yang lalu juga berada tidak jauh di depannya. Bersamaan mata Amara menyorot laki-laki berdarah sama dengan putrinya.

"Perusahaan Mama kehabisan pekerjaan?"

"Itu tamu. Bukan karyawan Mama." Amara menarik lembut tangan Afa melanjutkan langkah.

Saat sudah bersisian dengan Maharga, Afa menghentikan langkahnya.

"Bapak cari pekerjaan? Ini Mama Afa. Pimpinan di sini. Coba tanyakan langsung. Tapi, maaf Afa tidak bisa ikut campur."

Maharga menganga. Dan Amara ingin rasanya memasukkan skop ke dalam mulut mantan suaminya itu.

"Rupanya Bapak tidak bisa menghargai waktu. Permisi!"

Kali ini bukan Amara, tapi Afa lah yang menarik tangannya.

"Dilihat sekilas, bapak itu tidak punya budi. Atau dia tuli? Kenapa tidak berbicara?"

Amara tersenyum. Ia tahu, Maharga sedang shock di belakangnya.

"Tidak mungkin laki-laki berpakaian mahal itu bisu, kan Ma?"

Amara tidak bisa lagi menahan tawanya. Dikatai anak yang tidak dianggapnya memang selucu itu.

Ia jadi tidak sabar untuk melihat....

"Maaf. Bisa saya ikut kalian?"

Maharga.

Radar Amara memberi signal.

"Bapak yang tadi?"

"Iya," jawab Maharga sopan.

Ketika melihat anak itu, ada rasa enggan melepas tatapannya.

Bola mata Afa, bergerak. Menatap lawan bicaranya yang disangka kurang normal.

"Afa pikir Bapak tuli. Maaf."

"Hah?"

Amara tidak ingin memberi waktu untuk pertemuan yang tidak masuk dalam agendanya.

"Afa---" matanya menatap tajam ke arah Maharga.

"Teman Mama?"

"Bukan."

"Iya."

Mata Afa mengerjap. Melihat bergantian Mama dan laki-laki yang menjawab pertanyaannya bersamaan.

"Alasan Bapak ikut kami?"

Hening sejenak. Maharga tidak tahu tujuannya yang tiba-tiba ingin bergabung dengan Ibu dan anak tersebut.

Mungkin, penasaran.

"Saya juga mau makan siang." mata Afa seperti magnet. Maharga tidak bosan melihatnya.

"Mungkin saya bisa traktir kalian. Ada restoran salad terbaik disekitaran gedung ini."

Rekomendasi yang bagus, pikir Afa setelah menimbang dengan baik. Raut wajah laki-laki tua di depannya juga biasa saja. Tidak ada maksud jahat.

Atau mungkin, dia suka sama Mama? Nanti Afa tanya.

"Oke."

"Afa," protes Amara tidak terima Afa menerima permintaan Maharga untuk ikut bersama mereka.

Tangannya ditarik sang putri, hingga Amara terpaksa menunduk.

"Afa mau lihat kualitas Bapak ini, sehebat apa? Tidak mungkin bapak ini mau gabung sama kita kalau nggak ada maunya."

Emosi Amara seketika terpercik. Anaknya tentu tidak tahu alasan Maharga mengekor.

Belum sempat Amara berargumen, Afa terlebih dahulu bersuara, "Mari Bapak. Itu mobil Mama."

Maharga mengikuti dari belakang.

"Bapak yang nyetir. Mama sama Afa di belakang."

Apa?

Dirinya baru saja diperintah?

"Pakai sopir saya? Kebetulan, dia juga belum makan."

"Maaf Bapak. Afa tidak menyantuni orang fakir."

Maharga mengumpat dalam hati. Mulut gadis kecil itu tidak sesuai dengan mata indahnya.

"Kalau mau, Bapak bisa pergi dengan sopir Bapak," sambung Afa dengan tenang.

Dengan cepat Maharga mengambil kunci mobil di tangan sopir Amara dan masuk ke dalam mobil tersebut.

Titisan Amara, mempunyai mulut yang sama. Ini kali pertama Maharga melihat anak dan ibu begitu mirip perangainya.

Orang fakir? Yang benar saja. Anak itu tidak tahu, berapa ia menggaji sopirnya itu.

Dalam diam, Maharga menyetir. Dirinya benar-benar-benar diam. Meski tidak jelas tujuannya, ia nyaman berada di antara ibu dan anak itu. Mendengar obrolan penghuni di belakangnya, lumayan mengusir kekesalannya.

Obrolan berkualitas menurut Maharga.

"Banyak yang kerja, hasilnya bagus, Ma?"

"Eum."

"Mereka kompak?"

"Tentu." Amara jelas tidak nyaman. Ia tidak ingin, Maharga mengenal terlalu dekat dengan putrinya.

Kebiasaan Afa jika sedang bersama dirinya adalah menanyakan banyak hal, seperti sekarang.

"Cewek dan cowok, pinteran mana, Ma?"

Amara tahu, Afa menanyakan kepiawaian karyawannya.

"Tergantung lingkup yang mereka kerjakan."

"Intinya, masing-masing ada passion?"

Ada decak kagum di hati Maharga. Anak sekecil itu, tahu passion?

"Berarti banyak atau tidak jumlah mereka, mereka akan melakukan yang terbaik untuk Mama?"

Kali ini Amara tersenyum.

"Afa kapan besarnya?"

"Nanti juga besar."

"Lama?"

Kadang Amara, sering dibuat pusing dengan pertanyaan anak dari laki-laki yang sedang mengemudi itu.

Sedangkan Maharga sudah tercengang sejak tadi.

"Doa Mama sih cepat. Tergantung yang di atas."

Afa mengerjap, matanya sesekali melirik ke spion depan.

"Doa lebih cepat, Ma. Afa mau jadi asisten Mama. Mau jadi sandaran Mama, hingga Mama ketemu Ayah berkualitas tinggi."

Kalimat panjang itu mampu membaut si sopir terbatuk hebat. Dan terpaksa  menepikan mobil Amara.

"Ada lalat masuk, Bapak?"

Tenggorokan Maharga amat perih. Air matanya masih mengepul dalam kelopak. Pertanyaan Afa, ditelan mentah-mentah.

Pertanyaan tanpa ada kekhawatiran sama sekali.

Mobil kembali melaju dan selang tiga puluh menit mereka tiba di restoran rekomendasi Maharga.

"Resto Fry." Afa membaca nama restoran dengan lantang. Kemudian dia menoleh ke samping, tepat di mana Maharga berdiri.

"Bapak mau masuk, apa ke rumah sakit dulu?"

"Rumah sakit? Untuk?"

"Cek barangkali. Tadi Bapak batuk. Salah satu pasien di Wuhan, China mengatakan awal gejala terserang Corona, batuk mendadak dalam intensitas yang rendah."

Maharga tersentak. Corona? Matanya menatap ibu anak tersebut.

Anak kecil tahu keadaan dunia? Dari kata-katanya, Maharga yakin, Afa melafalkan dengan tegas. Bukan copy paste.

Dengan jeli, matanya mulai menelisik tajam. Hingga akhirnya ruang gerak kesadaran menemui titik buntu. Seolah tidak ada sedikitpun celah jalan keluar untuk menepis semua itu.

Tumpukan tanya, mulai memenuhi kepalanya. Sederet kata mungkin, mulai berkelibat saat menemukan perbedaan kelopak mata Amara dengan Afa.

Garis rahang mereka tidak sama.

Tubuh Maharga bergetar. Kala maniknya kembali pada gadis kecil yang diketahuinya anak haram Amara dengan kekasihnya.

Kini, ia ingin menggeleng sekuat tenaga meski dayanya sudah meluruh hingga lapisan bumi terbawah.

Ada jarum waktu yang sedang memutar, kemungkinan tentang sosok gadis kecil itu.

"Dia, anak siapa?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel