Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3

 

"Aku pikir kali ini kita tidak akan melibatkan orangtua," kata Zam begitu keluar dari rumah orangtuanya.

 

"Menurutmu cara ini akan menguntungkanmu?"

 

Nadira mendengar nada sinis dalam kalimat Zam, ia tidak perlu menanggapi ucapan laki-laki itu. Pertemuan selanjutnya dengan orangtuanya, mereka masih perlu mendengar argumen sebelum duduk bersama anggota dewan membicarakan keadaan perusahaan setelah salah satu proyek dibatalkan olehnya.

 

"Kita akan berdebat di rapat anggota dewan, itu yang ingin kamu perlihatkan pada Aydin?"

 

"Jangan sebut namanya dengan mulut kotormu," tegur Nadira.

 

"Dia akan melihatnya, setelah itu kamu akan mencari cara menampik berita itu." seperti lelucon, tapi itulah yang akan dilihat kedepannya.

 

"Dia tidak akan bertanya apapun tentangmu."

 

Zam tidak ingin bertengkar, mereka masih berada di teras rumah orangtuanya.

 

"Karena kamu sudah memulainya, berarti kamu yang harus menyelesaikan." Zam meninggalkan Nadira ia masuk ke mobilnya untuk selanjutnya pergi ke rumah orangtua Nadira.

 

Masalah yang seharusnya bisa diselesaikan oleh mereka berdua kini melibatkan orangtua dan di sini mereka tidak akan diberikan kesempatan kecuali di bawah di bawah perintah.

 

Mereka pergi ke tujuan yang sama namun menggunakan kendaraan berbeda.

 

Dia akan menghadapi mantan istrinya apapun keputusan para orangtua, sebagai direktur ia tahu taktik strategis dan Zam tidak akan membiarkan Nadira mengelabuinya hingga melengserkan jabatannya.

 

"Kalian sampai juga, Mama sudah menunggu kalian."

 

Nadira mencium tangan ibunya disusul Zam, mereka dipersilakan untuk menuju ruangan kerja papa Nadira.

 

Di sofa yang sama Zam dan Nadira duduk, mereka tidak datang sebagai suami istri melainkan partner dalam satu perusahaan yang sama.

 

"Sepertinya kamu tidak membaca poin penting dasar perusahaan." papa menegur Nadira dan langsung ke inti pembicaraan.

 

"Wakil direktur tidak memiliki hak untuk membatalkan kerjasama, tandatanganmu tidak sah."

 

Nadira menatap papanya.

 

"Gunanya pemimpin apa?" papa bertanya pada Nadira. "Kamu masih berlindung di bawahnya, sebesar apapun masalah dia yang harus kamu temui."

 

Nadira belum menanggapi atau menyela kalimat papanya.

 

"Kontrol emosional-mu kurang bagus."

 

Zam tidak merasa papa Nadira sedang berada di pihaknya, yang baru saja dikatakan oleh beliau adalah landasan penting dalam sebuah perusahaan.

 

"Yang sedang kamu kelola aset Aydin, bukan milik kalian."

 

Zam tidak melupakannya, sejarah High Corp masih jelas tertanam di benaknya. Berdiri saat usia Aydin satu tahun dan dia dipilih sebagai direktur. Kata kasarnya, Aydin yang menggaji mereka.

 

Peraturan dari orangtua kedua belah pihak yang tidak bisa diganggu gugat.

 

Karena Zam terbukti berselingkuh, hak asuh Aydin jatuh untuk Nadira. Harusnya wanita itu bisa lebih tenang, bukan?

 

"Dan kamu Zam, haruskah mempermalukan Nadira di depan karyawan?"

 

"Aku tidak bermaksud seperti itu." Zam menjelaskan. "Sebelum meeting, aku mengajaknya bicara tapi mama Aydin menol----"

 

"Aku punya nama!" Nadira kembali menegur laki-laki itu.

 

Tiga kata Nadira menarik perhatian kedua orang tuanya.

 

"Ada apa ini?" Rumee, mama Nadira yang bertanya.

 

Zam berdeham. "Pagi itu Nadira menolak berbicara denganku, sedangkan dia tidak tahu hasil rapat yang sudah disepakati."

 

"Kamu bisa mengatakannya tanpa harus menarik tanganku."

 

Zam terpaksa melakukan karena tahu wanita itu tidak akan mengikutinya. "Kamu tidak mendengarku, lagi pula haruskah aku memaparkan hasil meeting di koridor?"

 

Awan berdeham keras hingga tatapan anak dan mantan menantunya kembali.

 

"Kalian menjabat sebagai direktur dan wakil direktur, beginikah cara kalian berkomunikasi?"

 

Nadira punya alasan untuk itu. "Dia bisa mengirimiku email, tapi dia tidak melakukannya."

 

"Kalian manusia bukan robot, bisa berinteraksi dengan normal tanpa harus menggunakan mesin."

 

Nadira mengerti maksud mamanya. "Itu karena aku tidak ingin melihat wajahnya."

 

Zam membuang muka merasa tidak enak dengan orangtua Nadira. Ia datang untuk membahas masalah pekerjaan, tapi wanita itu mungkin tidak risih menyinggung masalah pribadi mereka.

 

"Kamu siap, itu yang kamu katakan sebelum kembali." Rumee mengingatkan lagi keputusan putrinya. "Ada yang memaksamu, Nadira?"

 

Awan menengahi. "Jika seperti ini, tidak akan ada jalan keluar."

 

Karena putri dan mantan menantunya belum bisa mengesampingkan masalah pribadi mereka.

 

"Papa akan memutuskan seseorang untuk memantau." bukan hanya pada Nadira, kalimat itu juga untuk Zam.

 

"Papa akan menghubungi pak Jimmy, pergilah dengannya." Awan menyuruh keduanya untuk menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh buruknya komunikasi mereka.

 

"Selaku direktur dia bisa menyelesaikannya sendiri."

 

"Benar, hanya saja bukan aku yang menyebabkan kekacauan ini."

 

"Kalian masih ingin berdebat?" tanya mama Nadira pada keduanya. Di saat Awan sudah menyelesaikan pembicaraannya mereka masih berselisih paham.

 

"Nenek, burungnya terluka."

 

Aydin yang masuk tiba-tiba menarik perhatian Zam.

 

"Kasian, sini Nenek lihat."

 

"Mama di sini?" Aydin menyapa Nadira, sedikitpun bocah laki-laki itu tidak melihat Zam.

 

Nadira puas melihat tatapan Zam ke arah Aydin.

 

"Mama ada pekerjaan." Nadira memeluk putranya.

 

"Tidak mau menyapa Papa?" Rumee menegur cucunya.

 

"Halo," sapa Aydin seraya menunduk hormat.

 

Benar-benar terlihat seperti dua orang asing, mungkin tampak pantas karena Aydin hadir tanpa cinta dari papanya.

 

Zam tersenyum tipis dan mengangguk sekali.

 

Setiap kali ia ingin membicarakan tentang Aydin, tapi Zam merasa tidak pantas atas semua yang telah berlaku. Ia tidak pernah mengobrol dengan putranya, padahal tidak ada yang membatasinya apalagi selama lima tahun Nadira tidak berada di tanah air dan Aydin tinggal bersama orangtua Nadira.

 

Ia cukup malu jika bertemu dengan orangtua Nadira untuk membahas Aydin, tapi ia tidak sungkan menghadap mereka jika ada permasalahan di perusahaan.

 

"Perlukah kita makan malam bersama?"

 

"Aku tidak bisa." Nadira mencium putranya sembari berpamitan. "Aku akan menemui pak Jimmy."

 

Berada lama-lama di ruangan yang sama dengan Zam semakin memuakkan, ia tidak benci tapi bau sampah masih begitu kuat, Nadira tidak tahan.

 

Awan hanya bisa melihat putrinya keluar dari ruangan setelah mencium Aydin. Tidak lama, Zam juga pamit. Ia hanya bisa melihat Aydin selama berkunjung bahkan anak itu tidak pernah menyapa dan bertanya tentangnya.

 

"Aydin, salam dulu sama Papa."

 

Anak itu penurut, ia mencium tangan Zam tanpa melihat laki-laki itu. Ikatan darah begitu kuat, tapi batin mereka tidak dekat. Mungkin itu yang terlihat oleh orang lain.

 

"Kamu terlihat asing, masih percaya diri untuk tetap tinggal?"

 

"Aku bisa melewati proses ini karena suatu hari dia akan menikmati hasil dari perjuanganku."

 

Lihat saja, perlahan kamu akan kehilangan hal yang paling besar yaitu kepercayaan diri setelah itu bagaimana kamu akan membuat keputusan? Aku menunggu prinsipmu goyah, Zam!

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel