2
Tidak ada kesempatan kedua, pilihan untuk melabuhkan hati pada lelaki lain juga tidak ada dalam draft masa depannya. Sekarang adalah waktunya mencintai diri, tidak akan membiarkan hati bertemu kembali dengan luka karena tidak mudah bangkit dan menjadi pribadi kuat seperti ini sungguh ia telah melewati proses yang luar biasa hebatnya.
Yang berdiri di depannya masih pria yang sama di masa lalu, memaksa bertemu untuk mengatakan hal yang dianggap omong-kosong.
"Sepertinya aku perlu membantainya," gumam Nadira.
Dengan berani pria itu menghentikan langkahnya yang sedang terburu-buru karena seseorang sedang menunggunya.
"Aku punya tanggung jawab yang sama, jadi berhentilah." Zam bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Tanggungjawab?" bukan Nadira yang menginginkan pembicaraan ini tapi ia dengan suka rela akan mengatakan arti tangung jawab sebenarnya pada laki-laki itu.
"Sudah kering tanah merah kekasihmu?"
"Ini kantor, Nadira!" geram Zam dengan suara tertahan.
"Kenapa, kamu takut?"
Mereka berada di lobi salah satu tempat yang sering dilewati karyawan dalam hitungan menit akan ada yang lewat namun bukan itu yang diinginkan Nadira.
"Aku tidak peduli pada tanggungjawab yang kamu katakan." Nadira ingin Zam mendengar baik-baik ucapannya.
"Saat aku kembali, yang perlu kamu lakukan berhati-hati. Aku mencium banyak celah untuk menikammu."
Zam mendengar sebuah ancaman tapi ia tidak gentar. "Kamu kembali untuk menebus masa lalu melupakan tujuan utama perusahaan ini?"
"Pikirkan sesukamu aku tidak akan peduli."
Sebelum melanjutkan langkahnya Nadira mengatakan satu hal lagi yang semakin membuat Zam geram pada wanita itu.
"Aku tidak menyangka kamu akan tinggal di apartemen sebagus itu, harusnya pemerintah mengambil kebijakan baru dengan melelang tanah pemakaman, mungkin."
Tidak sekaligus karena Nadira akan memperkenalkan diri secara perlahan pada laki-laki itu, sesuatu yang pernah dianggap biasa ini akan mengejutkan bukan hanya satu tapi beberapa pihak.
Keputusan yang baru saja dibuat Nadira masih dianggap sepele karena masih banyak ke depannya yang bisa membuat Zam patah semangat atau mungkin bisa saja mengakhiri hidupnya, tidak ada yang tahu seperti apa kejutan dari seorang Nadira Gamila.
"Bagaimana?"
Di sebuah ruangan Zam bersama pengacara perusahaan sedang mengadakan rapat penting setelah sebuah proyek besar digagalkan oleh Nadira.
"Aku belum menemukan jalan keluar, tapi aku masih berusaha."
"Perusahaan bisa saja membayar ganti rugi, tapi tidak akan bisa melewati proses hukum belum lagi nama baik kita."
Karena itu Zam berusaha keras agar bisa berbicara dengan Nadira terkait persoalan besar yang dihadapi perusahaan.
Zam ragu, benarkah wanita itu tidak menyangkut pautkan masa lalu mereka?
Semenjak lima tahun lebih tidak pernah sekalipun perusahaan mendapatkan masalah serius, ini kali pertama cukup memalukan saat menghadapi dewan penting perusahaan.
"Hampir lewat 2x24 jam, kita tidak bisa menarik email yang sudah dikirimkan Nadira."
"Sepertinya kamu memang perlu bicara dengannya." pak Jimmy memberi usul tepat. "Sangat tidak baik kalau keluarga
kembali bertemu untuk masalah ini."
Bisa dibayangkan Zam seperti apa respons orangtuanya jika mengetahui perusahaan berada dalam masalah.
"Baik."
Zam keluar dari ruangan tersebut dengan hati kesal, sekarang dia akan mencari Nadira jika wanita itu masih keras kepala dia harus memaksanya.
Wanita itu tidak ada di ruangan artinya dia belum kembali, Zam ingat saat berpapasan beberapa waktu lalu Nadira terlihat buru-buru. Ia tidak memiliki kontaknya, pun dengan dua asisten yang selalu mengikuti mantan istrinya lalu siapa yang akan dihubunginya apakah dia akan menunggu hingga wanita itu kembali?
Masih di ruangan Nadira, laki-laki dewasa itu memperhatikan meja kerja dan sedikit tertarik untuk melihat apa saja benda di sana.
Selain tumpukan dokumen, laptop dan sebuah kotak kecil berisi aksesoris penting tidak ada hal yang menarik untuk dilihat. Berbeda dengan meja kerjanya, Zam memajang foto dirinya bersama orangtua sebuah potret kelulusan beberapa tahun silam tepatnya sebelum menikahi Nadira.
Perlukah dia melihat isi laptop Nadira? Sepertinya dia akan terciduk sebagai pencuri di ruangan itu. Sedang kepalanya berpikir dengan sengaja jarinya sudah menyentuh tombol on dan tidak lama potret Nadira muncul di layar.
Melihat potret tersebut Zam yakin gambar ini diambil akhir-akhir ini karena potongan rambut sama seperti sekarang. Mungkin diambil saat dia akan kembali ke Indonesia. Zam mengarahkan kursor ke sebuah dokumen yang diberi nama Last sedikit tertarik dengan kata itu tapi tidak berhasil membukanya karena Nadira mengunci dokumen tersebut.
Ketika mendapatkan panggilan masuk Zam buru-buru mengangkatnya dan segera keluar dari ruangan Nadira ia lupa mematikan laptop milik wanita itu sama sekali tidak memikirkan satu hal jika bisa saja Nadira curiga karena benda miliknya terbuka.
Papa yang menghubunginya, sempat menjadi pertanyaan di benak laki-laki itu karena tidak pernah sekalipun ia mendapat panggilan mendadak seperti itu. Pernah sekali kalau Zam tidak salah ingat, tepat di malam dia menceraikan Nadira.
******
Zam tidak menebak siapa yang berada di rumah orangtuanya, tapi melihat Nadira dia mengerti dan seketika ingatan beberapa saat lalu kembali bahwa orangtuanya tidak akan menghubungi dan menyuruhnya pulang tiba-tiba.
"Papa ingin makan siang bersama kalian."
Baru beberapa saat lalu pak Jimmy mengatakan kekhawatirannya, Zam akan mencari cara menjelaskan pada pengacara perusahaan.
Setelah mendengar satu baris kalimat itu Zam harus menunggu selama tiga puluh menit ke depan sebelum menuju ke ruang makan keluarga besarnya. Dengan Nadira di ruang keluarga, Zam hanya bisa melihat wanita itu tanpa berbicara.
Akan lebih baik menunggu apa yang akan dikatakan oleh papanya sebelum bertanya banyak hal alasan kedatangan wanita itu.
Sedang Zam dengan pikirannya Nadira tampak santai dan tenang seolah tidak ada satupun masalah, padahal jelas sekali jika papa sudah memanggil artinya mereka tidak perlu menunggu lama untuk panggilan selanjutnya dari orangtua wanita itu, bila dua keluarga bertemu maka bukan keputusan mereka yang akan diterima tapi keduanya harus melakukan perintah dari kedua belah pihak.
"Sepertinya harimu terganggu." Nadira menatap datar laki-laki yang duduk di hadapannya.
Zam tidak menjawab karena tidak ingin menanggapi.
"Lima tahun lebih, kurasa sudah cukup."
ada senyum di akhir kalimat Nadira sebelum wanita itu bangun dan meninggalkan Zam yang terpaku pada senyum dari sudut bibirnya.
Dia kembali karena masa lalu?
