Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5: Jamuan Makan Malam yang Ganjil

Togar tidak mendengar peringatan Saka. Atau mungkin, ia memilih untuk tidak mendengarnya.

Suara denting sendok yang beradu dengan piring keramik terdengar kasar dan cepat. Togar menyuap nasi dan daging itu dengan lahap, seolah-olah ia belum makan selama berhari-hari. Cara makannya bukan sekadar lapar, melainkan beringas. Saus rendang yang kental menetes di sudut bibirnya, namun ia tidak peduli. Matanya yang biasanya waspada kini sedikit meredup, fokus sepenuhnya pada tumpukan daging di depannya.

"Bang," panggil Rara lirih, ngeri melihat perubahan sikap rekannya.

"Enak, Ra. Sumpah," gumam Togar di sela kunyahannya. "Kalian rugi. Dagingnya lumer di mulut."

Saka mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia menendang tulang kering Togar cukup keras. Togar tersentak, berhenti mengunyah sejenak, lalu menatap Saka dengan sorot mata yang asing—ada kilatan marah di sana, sejenak, sebelum kembali tertutup oleh hasrat makan yang meluap-luap.

Di ujung meja, Ki Barata mengamati pemandangan itu dengan kepuasan yang tak ditutup-tutupi. Jari-jarinya yang mengenakan cincin batu akik besar mengetuk-ngetuk meja perlahan, seirama dengan kunyahan Togar.

"Biarkan dia menikmati rezekinya, Nak Saka," ujar Ki Barata lembut. "Perut yang kenyang membuat pikiran tenang. Di desa ini, ketenangan adalah kunci untuk bertahan... melewati malam."

Saka memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. Ia tidak akan makan, dan ia akan memastikan Rara juga tidak menyentuh apa pun. Tapi ia butuh informasi.

"Ki," kata Saka, menatap lurus ke mata tua itu. "Bapak bilang tadi kami 'terlindungi' di sini. Terlindungi dari apa? Apakah ada binatang buas di hutan sekitar?"

Ki Barata terkekeh pelan. Ia memberi isyarat pada salah satu wanita berkebaya hitam—yang memiliki bekas luka jahitan di leher—untuk membereskan piring Togar yang sudah licin tandas dalam waktu kurang dari lima menit.

"Binatang buas?" Ki Barata menggeleng. "Hutan ini tidak punya harimau atau beruang. Yang ada di luar sana jauh lebih tua dari itu. Sesuatu yang lapar akan jiwa-jiwa yang tersesat dan tidak punya tujuan."

Pria tua itu bangkit berdiri. Tubuhnya tinggi tegap, bayangannya memanjang di dinding pendopo, seolah ingin menerkam ketiga tamunya.

"Sudah malam. Angin jahat mulai turun," lanjutnya. "Kalian akan menginap di Omah Tamu, bangunan kecil di samping pendopo ini. Itu satu-satunya bangunan yang kosong."

"Kami bisa tidur di mobil saja," sela Saka cepat. Ia lebih percaya pada besi baja jip Togar daripada dinding kayu rumah ini.

"Tidak bisa," potong Ki Barata. Nadanya tiba-tiba tajam, memutus segala bantahan. Senyumnya hilang seketika, digantikan otoritas mutlak seorang penguasa. "Aturan desa ini mutlak. Setelah Gamelan Kematian berbunyi nanti malam, tidak ada satu pun makhluk bernyawa yang boleh berada di tempat terbuka. Kecuali kalian ingin menjadi bagian dari tanah ini."

Keheningan mencekam turun di antara mereka. Bahkan Togar yang kekenyangan kini terdiam, merasakan perubahan aura yang drastis.

"Mari," Ki Barata kembali tersenyum, secepat ia marah tadi. "Nimas Ayu akan mengantar kalian."

Dari bayangan pilar di sudut ruangan, seorang gadis muda melangkah keluar. Ia berbeda dari para "istri" Ki Barata. Wajahnya cantik namun sendu, tanpa riasan tebal. Ia mengenakan kemben batik sederhana. Matanya bertemu dengan mata Saka sejenak—ada sorot peringatan dan ketakutan yang mendalam di sana.

"Lewat sini, Mas, Mbak," suara Nimas Ayu terdengar serak dan gemetar.

Saka memberi kode pada Togar dan Rara untuk berdiri. Togar tampak sedikit sempoyongan saat bangkit, wajahnya memerah dan berkeringat deras.

"Kau oke, Bang?" tanya Saka, memapah lengan temannya.

"Ngantuk berat, Ka... Gila, kenyang banget," gumam Togar, matanya setengah terpejam. "Badanku rasanya panas."

Mereka berjalan keluar dari pendopo utama menuju sebuah bangunan kayu lebih kecil di sisi kiri halaman. Udara malam di luar terasa semakin dingin, menusuk tulang. Namun anehnya, tidak ada suara jangkrik atau burung malam. Kesunyian itu absolut.

Saat Nimas Ayu membuka pintu Omah Tamu, bau melati yang menyengat langsung menyergap mereka. Kamar itu luas, berisi tiga ranjang kayu jati kuno dengan kelambu putih yang menjuntai. Tidak ada jendela kaca, hanya jendela kayu tebal yang tertutup rapat dengan palang besi dari dalam.

"Istirahatlah," bisik Nimas Ayu di ambang pintu. Ia tidak berani masuk. "Dan demi nyawa kalian... jangan buka palang jendela itu, apa pun yang kalian dengar nanti."

"Tunggu," tahan Rara sebelum gadis itu pergi. "Kenapa? Apa yang ada di luar?"

Nimas Ayu menoleh ke arah rumah utama, memastikan Ki Barata tidak melihat. Lalu ia berbisik sangat pelan, nyaris seperti hembusan angin.

"Mereka yang gagal menjadi warga."

Nimas Ayu menutup pintu dengan cepat.

Klek.

Saka segera memeriksa pintu itu. Tidak ada kunci dari dalam. Hanya ada slot gerendel kayu sederhana. Artinya, siapa pun dari luar bisa masuk jika mereka mau, tapi mereka yang di dalam bisa mengunci diri.

"Bangsat," umpat Saka pelan. Ia berbalik melihat Togar.

Pria besar itu sudah ambruk di salah satu ranjang. Dengkuran keras langsung terdengar. Togar pingsan bukan karena lelah, tapi karena efek makanan tadi.

"Rara, cek semua celah dinding," perintah Saka, mengeluarkan senter taktisnya lagi dan menyalakannya dengan mode redup. "Jangan sampai ada lubang sekecil apa pun."

"Saka..." panggil Rara dari sudut ruangan, suaranya bergetar hebat.

Saka menghampiri. Rara menunjuk ke lantai di bawah salah satu dipan. Di sana, tersembunyi di balik debu, terdapat goresan kuku di kayu lantai. Goresan itu membentuk tulisan yang dibuat dengan putus asa:

JANGAN TIDUR.

Malam pertama di Desa Karang Abadi baru saja dimulai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel