Bab 4: Senyum Ramah Pak Kepala Desa
Di dalam pendopo, kemewahan yang terpampang sungguh kontras dengan kesederhanaan hutan di luar sana. Lantainya terbuat dari kayu jati tua yang dipolitur hingga memantulkan bayangan wajah siapa pun yang menunduk. Di tengah ruangan, sebuah meja panjang dari kayu trembesi utuh telah ditata rapi. Piring-piring keramik bermotif naga biru, gelas-gelas kristal, dan sendok garpu perak berkilauan ditimpa cahaya lampu gantung antik.
Saka merasa seolah baru saja melangkah masuk ke dalam set film kolosal, bukan ke rumah kepala desa di tengah antah berantah.
"Silakan duduk, Nak Saka, Nak Rara, Nak Togar," Ki Barata mempersilakan dengan gerakan tangan yang anggun. Pria tua itu duduk di ujung meja, di kursi yang sandarannya paling tinggi dan berukir paling rumit—seperti takhta raja kecil.
Togar, yang perutnya sudah keroncongan sejak mobil mogok, menelan ludah kasar. Matanya terpaku pada hidangan yang mulai disajikan oleh para wanita berkebaya hitam tadi. Ada nasi putih yang mengepul hangat, sayur lodeh dengan aroma santan yang kental, dan piring besar berisi potongan daging rendang yang warnanya merah gelap menggoda.
"Terima kasih, Pak," ucap Togar, tangannya sudah hendak meraih sendok nasi, namun sikunya disenggol keras oleh Saka.
"Tunggu," desis Saka pelan, matanya menatap tajam ke arah Ki Barata.
Ki Barata tidak tersinggung. Ia justru tersenyum lebar, menampakkan garis-garis wajahnya yang tampak kebapakan. Senyum itu hangat, ramah, dan menenangkan. Jenis senyum yang membuat orang ingin curhat tentang segala masalah hidupnya. Namun, bagi Saka, senyum itu justru menyalakan alarm bahaya di kepalanya. Itu adalah senyum predator yang sabar.
"Jangan sungkan," ujar Ki Barata lembut, suaranya menggema pelan di ruangan besar itu. "Di desa ini, menolak makanan dianggap pamali. Kami percaya, tamu adalah raja yang dikirimkan leluhur untuk... dirawat."
Kata dirawat itu diucapkan dengan jeda yang aneh.
"Kami sangat menghargai jamuan ini, Ki," sela Rara, mencoba mencairkan suasana meski tangannya meremas ujung taplak meja. "Tapi sebelum kami makan, bolehkah kami tahu... apakah ada telepon umum atau radio komunikasi di desa ini? Kantor redaksi saya pasti panik kalau saya tidak melapor malam ini."
Itu adalah pertanyaan cerdas. Rara mencoba menggertak secara halus, menyiratkan bahwa ada orang luar yang akan mencari mereka.
Ki Barata tertawa kecil. Ia mengambil gelas air putihnya, memutarnya perlahan sebelum menjawab. "Nak Rara, kamu lihat kabut di luar sana? Desa Karang Abadi ini dikelilingi oleh 'pagar' alam. Gelombang radio, sinyal telepon, bahkan kompas... semuanya tunduk pada aturan lembah ini. Tidak ada yang bisa masuk, dan tidak ada pesan yang bisa keluar."
"Jadi kami terisolasi?" tanya Saka, suaranya memberat.
"Bukan terisolasi," koreksi Ki Barata, matanya menatap lurus ke manik mata Saka. "Tapi terlindungi. Dunia luar terlalu bising, terlalu kotor. Di sini damai. Kalian akan menyukainya setelah terbiasa."
Togar sudah tidak tahan. "Sudahlah, Ka! Urusan sinyal bisa besok. Perutku sudah melilit. Kau mau kita mati kelaparan sebelum mati karena hal lain?"
Tanpa menunggu persetujuan Saka, Togar menyendok nasi dan sepotong besar daging rendang itu ke piringnya. Ia menyuapnya dengan lahap. Saka menahan napas, memperhatikan reaksi temannya. Togar mengunyah, lalu matanya membelalak.
"Enak!" seru Togar dengan mulut penuh. "Gila, ini daging paling empuk yang pernah kumasakan. Manis, gurih... daging apa ini, Ki? Rusa?"
Ki Barata mengangguk pelan, senyum ramahnya tidak luntur sedikit pun. "Semacam itu. Hewan yang kami pelihara khusus dengan pakan terbaik. Makanlah yang banyak. Kalian butuh tenaga. Perjalanan kalian... masih panjang."
Saka melirik piring daging itu. Potongan dagingnya berserat halus, sangat merah meski sudah dimasak lama. Baunya memang harum rempah, tapi di bawah aroma lengkuas dan serai, hidung Saka yang terlatih kembali menangkap bau logam itu.
"Saya tidak lapar," kata Saka tegas, mendorong piringnya menjauh.
"Saya juga diet," tambah Rara cepat, wajahnya memucat melihat cara Togar makan yang semakin beringas, seolah kesurupan rasa lapar.
Ki Barata meletakkan sendoknya. Denting perak beradu dengan keramik terdengar nyaring di keheningan. Senyum di wajahnya perlahan berubah. Sudut bibirnya masih naik, tapi matanya menjadi dingin, sedingin es.
"Sayang sekali," ucap Ki Barata pelan. "Padahal istri saya memasaknya dengan penuh cinta. Tapi tidak apa-apa. Malam ini panjang. Nanti, saat rasa lapar yang sebenarnya datang, kalian tidak akan peduli lagi apa yang ada di piring."
Tiba-tiba, salah satu wanita berkebaya hitam yang berdiri di belakang kursi Rara membungkuk sedikit untuk menuangkan air. Rara tersentak kaget. Saat wanita itu mendekat, Rara bisa melihat leher wanita itu.
Di sana, tertutup kerah kebaya yang tinggi, terdapat bekas jahitan melingkar yang rapi. Luka lama yang mengering, seolah kepala wanita itu pernah... hampir putus.
Rara menahan jeritan dengan membekap mulutnya sendiri. Ia menatap Saka dengan panik. Saka melihat kode mata Rara, lalu kembali menatap Ki Barata.
Pria tua itu masih tersenyum. Senyum ramah yang kini terlihat seperti seringai iblis yang menyambut kedatangan mainan barunya.
"Habiskan, Nak Togar," bisik Ki Barata lembut. "Daging itu bagus untuk darahmu."
