Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6: Hilangnya Sinyal Kehidupan

Suara klik kayu saat Saka menggeser palang pintu terasa sangat keras di ruangan yang hening itu. Ia tidak berhenti di situ. Saka menarik meja rias tua dari sudut ruangan, menyeretnya perlahan agar tidak menimbulkan suara gaduh, lalu mengganjalnya tepat di depan pintu.

"Itu tidak akan menahan mereka kalau mereka mendobrak, Ka," bisik Rara, duduk memeluk lutut di atas salah satu dipan yang jauh dari jendela. Wajahnya pucat, diterangi cahaya kebiruan dari layar ponselnya yang redup.

"Setidaknya kita akan dengar kalau ada yang memaksa masuk," jawab Saka datar. Ia berbalik, menyorotkan senternya ke arah Togar.

Pria bertubuh besar itu terbaring terlentang di dipan tengah. Kondisinya mengkhawatirkan. Keringat dingin membasahi seluruh kemejanya, tapi tubuhnya memancarkan hawa panas seperti orang demam tinggi. Napasnya berat dan berbunyi grok-grok kasar, seolah ada lendir tebal di tenggorokannya.

"Bang? Bang Togar?" Saka menepuk pipi Togar cukup keras.

Tidak ada respon. Mata Togar tertutup rapat, tapi bola matanya bergerak-gerak liar di balik kelopak, menandakan ia sedang bermimpi—atau berhalusinasi—sangat intens.

"Ini bukan tidur biasa," gumam Saka. Ia memeriksa nadi di leher Togar. Denyutnya cepat dan tidak beraturan. "Daging itu... pasti ada campurannya. Obat tidur, atau mungkin sesuatu yang lebih buruk."

"Saka, lihat ini," suara Rara terdengar panik.

Saka menghampiri Rara. Gadis itu menunjukkan layar kameranya.

"Tadi aku sempat merekam sedikit saat kita jalan dari mobil ke pendopo. Lihat timestamp-nya," kata Rara, jarinya menunjuk angka jam di layar.

Saka menyipitkan mata. Di rekaman itu, jam menunjukkan pukul 18:45.

"Lalu lihat jam tanganku sekarang," lanjut Rara. Ia menyodorkan pergelangan tangannya. Jarum jam analognya menunjuk angka 21:00. "Dan lihat jam di ponselku."

Di layar ponsel, jam digital menunjukkan pukul 03:00 pagi.

"Tiga waktu yang berbeda," desis Saka. "Alat-alat kita kacau."

"Bukan cuma kacau, Ka," suara Rara mulai meninggi karena histeria. "Lihat baterainya! Aku baru charge penuh di mobil tadi siang. Powerbank-ku kapasitas 20.000 mAh. Semuanya... kosong."

Rara menekan tombol power di kameranya. Mati. Ia mencoba menyalakan senter di ponselnya. Berkedip sebentar, lalu layar ponsel itu hitam total.

"Sinyal hilang. GPS mati. Dan sekarang listrik di baterai kita disedot habis," Rara melempar ponselnya yang kini tak berguna ke kasur. "Kita buta, Saka. Kita tidak punya dokumentasi, tidak punya komunikasi."

Saka meraba saku celananya, mengeluarkan kompas analog andalannya. Jarum magnetnya berputar gila-gilaan, tidak mau menunjuk ke Utara. Benda itu kini hanya sekadar rongsokan logam.

"Simpan barang-barangmu, Ra. Jangan dibuang," perintah Saka tenang, mencoba menular ketenangannya pada Rara. "Besok kita coba jemur baterainya. Sekarang, matikan semua cahaya. Kita pakai mata telanjang."

Saka mematikan senter taktisnya.

Kegelapan total langsung menelan mereka.

Di Omah Tamu itu, kegelapan terasa memiliki bobot. Berat dan menekan dada. Namun, seiring mata Saka beradaptasi, ia mulai bisa melihat siluet samar dari cahaya bulan yang menerobos celah-celah ventilasi kayu di atas jendela.

Dan saat itulah, suara-suara alam yang biasanya ada di hutan—jangkrik, kodok, burung hantu—benar-benar lenyap.

Kesunyian yang absolut.

Saka pernah tersesat di hutan Kalimantan selama tiga hari. Ia tahu hutan yang sehat itu berisik. Jika hutan menjadi sunyi senyap, artinya hanya ada satu hal: predator puncak sedang lewat.

Tiba-tiba, terdengar suara pelan dari luar.

Teng...

Saka dan Rara tersentak. Itu suara gamelan. Bukan gamelan pesta yang rancak, melainkan satu pukulan gong kecil (kempul) yang dipukul dengan tempo sangat lambat.

Teng...

Jeda lima detik.

Teng...

Suaranya sayup-sayup, seolah berasal dari pendopo utama, tapi getarannya merambat lewat tanah dan naik ke kaki-kaki dipan mereka.

"Sakit..." rintih Togar dalam tidurnya. Pria besar itu mulai mencakar-cakar sprei kasur. "Panas... jangan... jangan dimakan..."

Saka segera melompat ke sisi Togar, menahan tangan temannya agar tidak melukai diri sendiri. "Togar! Sadar!"

Di sudut ruangan, Rara menutup telinganya. "Saka, suaranya... suaranya bikin kepalaku sakit. Seperti ditusuk jarum."

Teng...

Suara itu makin jelas. Dan kini, disertai suara lain. Suara gesekan kaki telanjang di atas tanah berpasir. Banyak kaki.

Srek. Srek. Srek.

Mereka mengelilingi Omah Tamu.

Saka menahan napas. Ia memberi isyarat tangan pada Rara untuk diam total. Ia merangkak pelan menuju dinding kayu di samping jendela. Ada celah kecil di antara sambungan papan kayu jati itu. Celah yang cukup untuk mengintip keluar dengan satu mata.

Saka mendekatkan matanya ke celah itu.

Di luar, kabut putih yang tadi hanya ada di gapura, kini sudah turun menutupi halaman Omah Tamu. Kabut itu setinggi pinggang orang dewasa.

Dan di dalam kabut itu, Saka melihat mereka.

Penduduk desa. Puluhan dari mereka. Laki-laki dan perempuan yang tadi berdiri di beranda rumah, kini berdiri mengelilingi pondok tempat mereka tidur. Mereka berdiri diam, menghadap ke Omah Tamu.

Wajah mereka menunduk. Tangan mereka terkulai lemas di samping tubuh.

Tapi yang membuat jantung Saka berhenti berdetak sesaat bukanlah jumlah mereka. Melainkan apa yang mereka pegang.

Di tangan kanan masing-masing penduduk itu, berkilatan logam di bawah cahaya bulan yang samar. Sabit rumput. Golok daging. Pisau dapur.

Mereka tidak menyerang. Mereka hanya berdiri. Menunggu.

Saka mundur perlahan dari celah dinding, keringat dingin mengalir di punggungnya. Ia kembali ke sisi Rara yang gemetar.

"Apa yang kau lihat?" bisik Rara, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.

Saka menggeleng, mencengkeram bahu Rara kuat-kuat. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya—bahwa seluruh desa sedang mengepung mereka dengan senjata tajam, menunggu satu kesalahan kecil.

"Tidur, Ra," bisik Saka, suaranya parau. "Atau setidaknya pura-pura tidur. Apa pun yang terjadi... jangan bersuara."

Di luar, gong itu berbunyi lagi. Kali ini diikuti suara tembang (nyanyian) seorang wanita yang melengking tinggi dan menyayat hati, menggunakan bahasa Jawa Kuno yang tidak Saka mengerti, tapi nadanya jelas: itu adalah lagu pengantar tidur untuk tumbal.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel