Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3: Gapura Kayu Hitam

Togar menekan tombol kunci di remot mobilnya berulang kali, tapi lampu hazard jip itu tidak berkedip. Hanya bunyi klik mekanis yang lemah dari pintu yang terkunci manual.

"Biarkan saja," bisik Saka, menepuk bahu rekannya yang terlihat berat hati meninggalkan kendaraan kesayangannya. "Kalau akinya mati total, tidak akan ada yang bisa mencurinya. Kita bawa barang-barang penting saja."

Dengan enggan, Togar menyambar tas ransel besarnya dari bagasi, sementara Rara sudah lebih dulu mengalungkan semua peralatan kameranya di leher, membuatnya terlihat seperti turis yang salah tempat. Saka memastikan pisau lipatnya tersemat aman di pinggang, lalu menyalakan senter taktisnya, mengarahkan cahayanya ke jalanan desa.

"Tolong matikan cahayanya, Nak Saka," suara Ki Barata terdengar lembut namun penuh penekanan dari depan. Pria tua itu tidak menoleh, tapi tahu persis apa yang dilakukan Saka. "Mata penduduk sini sensitif. Cahaya buatan terlalu menyilaukan bagi kami. Obor desa sudah cukup terang."

Saka tertegun sejenak. Ia mematikan senternya dengan jempol, lalu memasukkannya kembali ke saku. Sensitif cahaya? batinnya mencatat satu poin aneh lagi.

Mereka mulai berjalan beriringan mengikuti Ki Barata. Langkah kaki mereka menimbulkan bunyi kretak-kretuk di atas jalanan berbatu kali yang tersusun rapi.

Saat mereka melangkah menjauh dari mobil, Saka menyempatkan diri menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya. Di sana, Gapura Kayu Hitam itu berdiri menjulang seperti mulut raksasa yang baru saja menelan mangsa. Dari sisi dalam desa, gapura itu terlihat berbeda. Kayunya yang hitam legam tidak memantulkan cahaya obor, seolah menyerap segala bentuk penerangan. Ukiran-ukiran yang tidak terlihat dari sisi luar kini tampak jelas—relief ular yang melilit tubuh manusia, meliuk-liuk dari kaki tiang hingga ke atap.

Dan di balik gapura itu, kabut putih yang statis masih menggantung, menutup rapat hutan jati tempat mereka datang. Pemandangan itu membuat dada Saka sesak. Itu bukan sekadar kabut; itu dinding penjara.

"Rumahnya bagus-bagus ya," bisik Rara, mencoba mengusir rasa takut dengan mengomentari arsitektur. Suaranya terdengar canggung di tengah keheningan malam.

Memang benar. Rumah-rumah di Desa Karang Abadi tidak seperti rumah desa tertinggal. Semuanya berbentuk joglo dengan kayu jati berkualitas tinggi yang dipolitur mengkilap. Halamannya luas-luas, ditanami bunga kantil dan sedap malam yang aromanya menguar kuat, bercampur dengan bau tanah basah.

Namun, bukan rumah itu yang membuat bulu kuduk Saka meremang. Melainkan penghuninya.

Di setiap beranda rumah yang mereka lewati, penduduk desa berdiri diam. Laki-laki, perempuan, bahkan beberapa anak remaja. Mereka tidak melambai, tidak menyapa, juga tidak saling bicara. Mereka hanya berdiri mematung di bawah temaram lampu minyak, menatap rombongan Saka yang lewat.

Mata mereka mengikuti setiap langkah ketiga pendatang itu. Kepala mereka berputar perlahan, sinkron, seperti boneka yang digerakkan oleh satu tali yang sama.

"Bang," bisik Rara, merapat ke lengan Togar. Tangannya gemetar. "Kenapa mereka melihat kita seperti itu?"

"Mungkin jarang lihat orang kota," jawab Togar asal, meski tangannya sendiri mengepal erat siap menonjok siapa saja yang melompat ke arah mereka. "Atau mungkin mereka naksir sama kamu, Ra."

Candaan itu garing dan tidak lucu. Saka memperhatikan wajah-wajah penduduk itu lebih teliti. Kulit mereka... terlalu sempurna. Tidak ada noda matahari, tidak ada kerutan lelah selayaknya petani atau peladang. Wajah mereka licin seperti porselen, dengan ekspresi datar yang nyaris tanpa emosi.

Saka menangkap tatapan seorang wanita paruh baya yang berdiri di dekat sumur. Wanita itu tersenyum padanya. Tapi senyum itu tidak mencapai mata. Bibirnya menyeringai kaku, memperlihatkan gigi yang putih bersih, sementara matanya menatap leher Saka dengan intensitas yang membuat Saka secara refleks memegang kerah bajunya.

Mereka tidak melihat kami sebagai tamu, pikir Saka ngeri. Mereka melihat kami seperti Togar melihat sate kambing.

"Kita sudah sampai," seru Ki Barata, memecah lamunan mengerikan itu.

Di ujung jalan utama, berdiri sebuah bangunan paling besar di desa itu. Sebuah Pendopo Agung dengan atap yang menjulang tinggi. Empat pilar utama (soko guru) dari kayu jati utuh berdiameter satu meter menopang bangunan itu. Di depannya, pelataran luas diterangi oleh puluhan obor yang menyala berkobar-kobar, menciptakan bayangan menari yang liar di dinding.

"Silakan naik," Ki Barata menunjuk tangga pendopo dengan tongkatnya. "Istri-istri saya sudah menyiapkan jamuan makan malam. Tidak baik menolak rezeki."

"Istri-istri?" ulang Rara pelan.

Dari dalam pendopo, keluarlah tiga wanita cantik dengan kebaya beludru hitam. Wajah mereka mirip, cantik namun pucat, dengan gerakan yang luwes dan hening—nyaris melayang saat berjalan. Mereka membawa nampan-nampan berisi makanan yang mengepul panas.

Baunya sangat harum. Bau rempah yang kuat. Namun di balik aroma lezat itu, hidung Saka yang tajam kembali menangkap bau amis samar itu. Bau besi berkarat. Bau darah.

Saka menahan lengan Togar yang hendak melangkah naik.

"Hati-hati," bisik Saka sangat pelan, nyaris tanpa suara. "Perhatikan sepatumu."

Togar menunduk. Di tangga pendopo yang terbuat dari batu andesit itu, terdapat bercak-bercak gelap yang meskipun sudah digosok bersih, masih meninggalkan jejak di pori-pori batu. Jejak seretan benda berat. Atau mungkin, seretan tubuh manusia.

Mereka telah masuk ke sarang singa, dan pintu kandang—si Gapura Kayu Hitam—sudah terkunci rapat di belakang punggung mereka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel