Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2: Kabut di Ujung Jalan

Togar menekan pedal rem perlahan, membuat jip itu berhenti tepat dua meter di depan pria tua yang berdiri di tengah jalan. Debu tipis mengepul di sekitar ban, sebelum akhirnya tersapu oleh angin malam yang membawa aroma melati yang kian menyengat.

"Matikan mesinnya, Bang," bisik Saka, tangannya masih siaga di dekat saku celana. "Jangan buat gerakan mendadak."

Togar mendengus, namun menuruti perintah itu. Deru mesin mati, menyisakan keheningan yang janggal. Di luar, pria tua itu tidak beranjak. Ia hanya berdiri, tersenyum dengan sorot mata yang teduh, seolah kedatangan tiga orang asing dengan mobil berlumpur adalah hal paling wajar di dunia.

Saka membuka pintu mobil dan turun lebih dulu, diikuti Rara yang memeluk tas kameranya erat-erat. Togar turun terakhir, membanting pintu sedikit terlalu keras sebagai bentuk intimidasi, meski matanya bergerak gelisah menyapu kegelapan di balik pepohonan.

"Selamat malam, Bapak," sapa Saka dengan nada sopan namun tegas. Ia sengaja menggunakan Bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah, untuk menguji respon lawan bicaranya. "Maaf kami lancang masuk. Kami tim survei yang tersesat. Peta kami menunjukkan ada jalan tembus ke kecamatan lewat bukit ini, tapi sepertinya kami salah arah."

Pria tua itu mengangguk pelan. Wajahnya terlihat bersih, terlalu bersih untuk seseorang yang tinggal di pedalaman hutan. Kulitnya kencang untuk ukuran orang seusianya, dan pakaian lurik yang dikenakannya tampak licin seolah baru disetrika.

"Tidak ada yang namanya salah arah, Nak," jawab pria itu. Suaranya berat dan berwibawa, dengan cengkok Jawa halus yang kental. "Setiap tamu yang datang ke Karang Abadi adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Saya Barata. Orang-orang sini memanggil saya Ki Barata, sesepuh desa ini."

"Ki Barata," ulang Saka, menyimpan nama itu dalam ingatannya. "Saya Saka. Ini rekan saya, Rara dan Togar. Kami tidak berniat mengganggu. Jika Bapak bisa menunjukkan arah jalan keluar atau jalan raya terdekat, kami akan segera pergi."

Ki Barata terkekeh pelan. Suaranya kering, seperti gesekan daun bambu. Ia mengangkat tongkat kayunya, menunjuk ke arah belakang mobil mereka—ke arah gapura hitam yang baru saja mereka lewati.

"Jalan keluar?" tanya Ki Barata lembut. "Coba tengok ke belakangmu, Nak."

Saka, Rara, dan Togar serentak menoleh.

Darah Saka berdesir. Gapura kayu hitam itu masih ada di sana, berdiri kokoh. Namun, hutan jati dan jalanan lumpur yang baru saja mereka lewati telah lenyap. Digantikan oleh dinding kabut putih yang sangat tebal. Kabut itu tidak bergerak seperti uap air biasa; ia bergulung padat, seolah-olah itu adalah tembok solid yang memisahkan desa dari dunia luar. Ujung jalan tempat mereka masuk tadi kini buntu, tertelan putih yang pekat.

"Apa-apaan itu..." Rara mundur selangkah, suaranya bergetar. Ia mengangkat kameranya, mencoba memotret fenomena itu, tapi layar kameranya berkedip-kedip tak beraturan.

"Kabut gunung memang sering turun mendadak di sini," kata Ki Barata santai, seolah menjelaskan cuaca hari biasa. "Bahaya kalau memaksakan diri menembusnya. Banyak jurang, banyak binatang buas. Sebaiknya kalian istirahat dulu. Malam ini, kalian tamu saya."

Saka menatap kabut itu dengan analisis tajamnya. Sebagai surveyor, ia tahu sifat kabut. Kabut alami bergerak perlahan mengikuti angin. Kabut di depannya ini diam, statis, seperti penjaga yang menghadang pintu.

"Bang," bisik Saka pada Togar tanpa menoleh. "Coba nyalakan mesin lagi. Kita putar balik sekarang."

Togar, yang wajahnya sudah pucat pasi melihat kabut aneh itu, langsung melompat masuk ke kursi pengemudi. Ia memutar kunci kontak.

Ceklek. Ceklek.

Hening.

Togar mencoba lagi. Ceklek.

"Sialan!" teriak Togar. "Akinya mati! Padahal baru ganti minggu lalu!"

Ki Barata melangkah mendekat, tongkatnya mengetuk tanah berbatu dengan irama yang konstan. Tuk. Tuk. Tuk.

"Kendaraan besi sering merajuk di tanah ini," ujar Ki Barata, kini berdiri cukup dekat hingga Saka bisa mencium aroma tubuhnya—bukan bau keringat orang tua, melainkan bau tanah basah dan dupa. "Sudahlah. Jangan melawan alam. Mari, saya antar ke pendopo. Kalian pasti lapar."

Saka bertukar pandang dengan Rara. Gadis itu menggeleng pelan, ketakutan jelas terpancar di matanya. Namun, Saka melihat sekeliling. Rumah-rumah penduduk mulai membuka jendela. Wajah-wajah penghuninya mengintip keluar—pria, wanita, muda, tua—semuanya menatap mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Bukan marah, bukan takut. Melainkan tatapan lapar. Tatapan seseorang yang melihat hidangan lezat di atas meja.

Pilihan mereka hanya dua: lari menembus kabut misterius dengan berjalan kaki di malam buta, atau mengikuti pria tua ini ke dalam terang lampu desa.

Saka menghela napas panjang, menekan rasa curiganya dalam-dalam. "Baik, Ki. Kami terima tawaran Bapak. Tapi tolong, besok pagi-pagi sekali, kami butuh bantuan untuk memperbaiki mobil."

Senyum Ki Barata melebar, menampakkan deretan gigi yang terawat rapi. Terlalu rapi.

"Tentu," jawabnya. "Besok pagi... kalau matahari terbit."

Tanpa menjelaskan maksud kalimat terakhirnya, Ki Barata berbalik dan berjalan membelah jalan desa. Kabut di belakang mereka seolah merayap maju perlahan, mendorong ketiga pendatang itu untuk mau tidak mau melangkah masuk lebih dalam ke jantung Desa Karang Abadi.

Jebakan itu telah menutup pintunya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel