Bab 1: Peta yang Menipu
Mesin jip gardan ganda itu meraung kasar, berjuang memutar roda belakang yang setengah terbenam dalam lumpur pekat. Hutan jati di sekeliling mereka tampak semakin rapat, seolah pepohonan raksasa itu sengaja merapatkan barisan untuk menghalangi siapa pun yang mencoba lewat. Cahaya matahari sore yang mulai jingga kesulitan menembus kanopi daun yang tebal, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menyerupai tangan-tangan kurus di atas tanah basah.
"Sialan!" umpat Togar sambil memukul setir kemudi. Pria bertubuh gempal itu menyeka keringat sebesar biji jagung yang mengalir di pelipisnya. "Saka, kau yakin ini jalannya? Kalau kita terus memaksa, gardan mobilku bisa patah. Ini bukan jalan manusia, ini jalur babi hutan!"
Di kursi penumpang depan, Saka Wibawa tidak langsung menjawab. Keningnya berkerut dalam, matanya berpindah-pindah dengan cepat antara lembaran peta topografi yang terbentang di pangkuannya dan pemandangan hutan di luar jendela. Sebagai seorang surveyor lahan yang sudah lima tahun keluar masuk hutan Kalimantan dan Sumatera, Saka memiliki kebanggaan tersendiri akan kemampuan orientasi arahnya. Namun, kali ini, ada sesuatu yang salah. Sangat salah.
"Tenang sedikit, Bang," sahut Saka tanpa menoleh, jarinya menelusuri garis kontur di atas kertas. "Menurut koordinat terakhir sebelum sinyal mati, kita seharusnya ada di punggung bukit. Seharusnya di depan sana ada lembah curam, bukan jalan rata seperti ini."
"Lembah?" Togar mendengus, kembali menginjak pedal gas perlahan agar ban mobil mendapatkan traksi. "Kau lihat sendiri, di depan itu tanah datar. Jalannya malah makin lebar dan mulus. Peta kesayanganmu itu sudah kadaluwarsa."
Dari kursi belakang, terdengar suara helaan napas panjang. Rara Anindita menurunkan ponselnya yang sedari tadi diangkat tinggi-tinggi ke dekat kaca jendela. "Nol bar. Benar-benar mati total," keluhnya. Gadis itu membenarkan letak kacamata yang melorot di hidungnya, lalu mencondongkan tubuh ke depan, di antara kursi Saka dan Togar. "Kita sudah berputar-putar selama tiga jam sejak pos penjagaan hutan terakhir. Kalau sampai matahari terbenam kita belum menemukan desa atau setidaknya tanah lapang, kita harus berkemah di sini. Aku tidak mau tidur di dalam mobil dengan bau keringat Bang Togar."
"Hei, keringat ini tanda kerja keras, Nona Penulis," balas Togar tanpa menoleh, meski nada suaranya sedikit meredur saat berbicara pada Rara. "Daripada kau mengeluh, coba bantu lihat jalan. Siapa tahu ada batu besar yang bisa merobek ban."
Saka melipat peta itu dengan kasar. Hatinya gelisah. Instingnya berteriak bahwa mereka telah melenceng jauh, tetapi logika di kepalanya buntu. Kompas analog yang ia pegang jarumnya berputar liar sesekali, seakan ditarik oleh medan magnet yang tidak stabil di bawah tanah.
"Bang, pelankan mobil," perintah Saka tiba-tiba.
Togar menurut, membiarkan jip itu merayap pelan. "Ada apa? Kau melihat sesuatu?"
"Lihat pola pohon jatinya," tunjuk Saka ke arah kiri jalan. "Jarak antar pohon terlalu rapi. Ini bukan hutan liar lagi. Ini hutan tanam. Ada yang merawat tempat ini."
Rara segera menempelkan wajahnya ke kaca jendela. "Kau benar. Tidak ada semak belukar tinggi. Tanahnya bersih."
Keanehan itu semakin nyata seiring roda mobil melaju. Jalanan lumpur yang sebelumnya menyiksa kini berubah menjadi jalanan tanah padat yang diperkuat dengan bebatuan kali yang tersusun rapi. Kabut tipis mulai turun perlahan, menyelimuti dasar batang-batang pohon jati, membuat suasana mendadak senyap. Suara serangga hutan yang biasanya bising tiba-tiba menghilang, digantikan oleh kesunyian yang menekan gendang telinga.
"Aku tidak suka ini," gumam Togar, tangannya mencengkeram setir lebih erat. "Terlalu sepi."
"Terus saja," kata Saka, meski tangannya kini meraba pisau lipat di saku celana kargonya—sebuah kebiasaan lama saat ia merasa terancam. "Jalan ini pasti mengarah ke suatu tempat."
Dua ratus meter kemudian, kabut di depan mereka terbelah.
Ketiga orang itu terdiam serentak. Di hadapan mereka, berdiri sebuah gapura besar yang terbuat dari kayu ulin hitam. Gapura itu tidak memiliki ukiran rumit seperti di Jawa pada umumnya, melainkan polos, kasar, dan memancarkan aura tua yang pekat. Di bagian atas gapura, terpasang sebuah papan kayu yang warnanya sudah memudar dimakan cuaca, namun tulisannya masih bisa dibaca dengan jelas karena dipahat dalam-dalam.
DESA KARANG ABADI
"Karang Abadi?" Rara membaca dengan suara pelan, tangannya meraih kamera yang tergantung di lehernya. "Nama desa ini tidak ada dalam riset yang kubuat. Tidak ada di Google Maps, tidak ada di arsip kecamatan."
"Mungkin desa adat yang menolak modernisasi," gumam Saka, matanya menyipit menatap ke balik gapura.
Pemandangan di balik gapura itu sungguh kontras dengan hutan mencekam yang baru saja mereka lewati. Desa itu terlihat sangat asri. Rumah-rumah panggung berjejer rapi dengan halaman yang luas dan bersih. Obor-obor bambu mulai dinyalakan di setiap sudut jalan, memancarkan cahaya kuning hangat yang mengundang. Di kejauhan, terlihat hamparan sawah yang menghijau subur, seolah musim kemarau tidak pernah menyentuh wilayah ini.
"Lihat," tunjuk Togar, nada suaranya sedikit lega. "Ada orang. Manusia sungguhan."
Seorang pria tua dengan pakaian tradisional—baju lurik dan celana pangsi hitam—berdiri di pinggir jalan utama desa, tepat beberapa meter setelah gapura. Ia berdiri tegak, kedua tangannya terlipat di belakang punggung, dengan senyum tipis yang tersungging di bibirnya. Ia seolah sudah menunggu kedatangan mereka sejak lama.
"Tunggu," cegah Saka saat Togar hendak menekan klakson. Saka merasakan bulu kuduk di lengannya meremang. "Perhatikan jam tanganmu, Rara."
Rara melirik pergelangan tangannya. "Jam lima lewat empat puluh lima. Kenapa?"
Saka menunjuk ke langit. Langit di atas desa itu sudah gelap sempurna, seperti pukul tujuh malam. Tidak ada semburat jingga, tidak ada transisi senja.
"Matahari terbenam terlalu cepat di sini," bisik Saka. "Atau kita yang kehilangan waktu."
Namun Togar sudah terlanjur menjalankan mobil melewati gapura kayu hitam itu. Saat roda belakang jip mereka melintasi batas desa, Saka merasakan udara di dalam kabin mobil berubah drastis. Menjadi lebih dingin. Lebih berat. Dan aroma tanah basah hutan tiba-tiba lenyap, digantikan oleh bau samar yang manis namun menusuk—seperti bau bunga melati yang dicampur dengan amis darah yang sudah kering.
Pria tua itu mengangkat tangannya perlahan, memberi isyarat menyambut. Senyumnya melebar, namun matanya yang hitam pekat tidak ikut tersenyum.
Mereka telah masuk. Dan peta di pangkuan Saka kini tidak lagi berguna.
