Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Lembar Hitam yang Terbuka

“Kamu sejak datang sama Nisa gak kedengeran suaranya, Nay. Jadi Aulia nyuruh aku buat ngecek ke sini,” jelas pria yang beberapa saat lalu mengetuk pintu rumah tanpa memanggil.

Aku masih bersandar pada pintu sambil mengatur napas, detak di dada masih saja riuh karena kekhawatiran yang sempat menguasai. Bukankah sewajarnya Kak Ijul mustahil berani mendekat karena aku tak sendirian?

“Kenapa gak dipanggil aja? Kakak bikin takut!” sungutku menekuk wajah.

Kak Makmur hanya merespon dengan tawa. Nisa yang kupikir akan segera keluar setelah berganti pakaian malah sama sekali tak terlihat. Beberapa kali, aku menengok ke belakang untuk memastikan tapi pintu kamar masih saja dalam keadaan sama, yaitu terkunci dari dalam.

“Nay, kamu masih belum jawab pertanyaanku tadi,” tagih Kak Makmur.

“P-pertanyaan yang mana, Kak?” Mendadak, lagi, aku tak bisa menyembunyikan rasa gugup yang tercermin dari getar pada kedua tangan.

“Apa yang terjadi selama kamu nginap di belakang? Tingkah kamu jadi aneh, Nay,” desak Kak Makmur.

“Aku gak ngerti maksud Kakak apa. Kalau cuma mau memastikan, aku sama Nisa baik-baik aja. Kakak bisa pulang sekarang.”

“Nay ….”

“Kenapa sih aku gak pernah didengarkan? Kenapa suaraku dirampas? Kenapa aku harus ada?” bentakku tanpa sadar menatap tajam Kak Makmur. Sesak di dada terasa semakin pekat, sebanyak apa pun aku menarik napas rasanya tetap saja begitu berat.

Tatapku yang masih menuju Kak Makmur berubah panas saat genangan air berlomba-lomba membentuk kaca di pelupuk mata. Sekeras mungkin aku menahan kepalan tangan yang gemetar agar tak terlihat.

Kak Makmur sendiri terpaku, sepasang mata cokelat gelapnya membulat seolah menyiratkan ketidakpercayaan. Tak ada respon berarti yang diberikan membuatku memilih gegas menutup pintu tanpa berucap apa-apa.

“Maaf, Nay,” ucapnya yang rasanya sudah sangat terlambat untuk disampaikan.

Usai mengunci pintu, kusandarkan punggung dengan wajah menengadah menatap langi-langit ruangan. Kedua tungkai yang lemas kubiarkan membawa tubuh jatuh merosot ke lantai.

‘Kenapa aku dilahirkan? Seberapa pantas aku hidup hingga belum dijemput pulang? Aku ingin pulang, entah itu pada rumah ibu ataupun pangkuan Tuhan.’ Kubenamkan wajah pada lutut. Berulang merapal keinginan pulang dan berharap akan segera dikabulkan.

Tepukan di pundak kanan seketika membuatku terkesiap. Sebelum mengangkat kepala, kuseka terlebih dahulu basah yang hampir saja menggenang di sudut mata. Tampak Nisa yang telah memakai setelan baby doll bergambar boneka sedikit membungkuk menatapku.

“Om Makmur mana, Mbak?” tanyanya heran.

“P-pulang, tadi katanya cuma mau mastiin aja,” sahutku berat karena masih tak bisa menahan gemetar dalam suara yang terlepaskan.

“Pantes, tadi denger suaranya tapi orangnya udah gak ada,” komentarnya singkat.

Beruntung Nisa tak menyadari keadaanku hingga tak bertanya apa pun. Atau mungkin, Nisa masih kesal hingga tampak acuh.

Nisa yang berjalan ke depan televisi dan menyalakannya. Aku sendiri memilih beralih pada lemari di bawahnya dan membuka untuk mengambil beberapa buku paket serta buku tulis. Sesaat sebelum membuka buku, kusempatkan untuk melirik Nisa yang tampak kesal dengan gerak tangan yang menekan remot untuk memindah-mindah channel.

Kembali kutundukkan wajah berpura-pura sibuk membaca saat Nisa mengempaskan remot ke lantai.

Suara dua benda yang saling bersentuhan itu disusul dengan keluhannya. “Kenapa gak ada yang seru sih? Semuanya monoton, membosankan, gak bermutu!”

Panggilannya padaku membuatku terpaksa kembali menutup buku. Beberapa saat suasana sempat hening dan terasa canggung. Aku yang tak tahu harus bersikap bagaimana memilih menunggu hingga Nisa bicara terlebih dahulu.

Jeda selanjutnya, Nisa yang memulai percakapan membuatku akhirnya menyahut saja semua ucapannya. Kali ini, kami berbicara lebih banyak dan lebih lama.

“Mbak, kata Ibu, Mbak pindah sekolah karena overdosis alkohol, kan?” Pertanyaan yang akhirnya dilontarkan Nisa menyiratkan sebuah keraguan.

Sejak awal pindah ke tempat ini, kejadian itu adalah rahasia besar yang kukubur dalam. Tak ada yang mengetahuinya. Satu-satunya alasan pindahku yang diketahui hanya untuk menemani Kak Yuni. Di mata semua orang, aku bagai kertas putih dan bersih yang hanya dituangkan nilai-nilai sempurna. Di mata mereka, aku hanya anak SMP normal yang tak tahu apa-apa.

Namun, amukan Kak Yuni waktu itu seperti membuka semua lembar hitam yang tersimpan. Entah itu sebuah pelampiasan rasa tak dihargai, atau sebuah keinginan agar tak terhina sendirian, tetap saja rasanya berlebihan. Namun, satu-satunya yang bisa kulakukan hanya diam.

“Mbak?” panggil Nisa lagi. Kedua keningnya yang bertaut dengan tatapan jelas fokus padaku mengartikan penantian sebuah jawaban.

Pelan aku mengangguk untuk membayar rasa penasaran Nisa.

“Gimana rasanya, Mbak? Kenapa Mbak minum?” Lagi-lagi Nisa menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kejadian hari itu.

Aku menatap Nisa dengan berdiam. Perlahan menarik napas dalam-dalam, setelahnya mengembuskannya teramat pelan. Harus dari mana aku memulai jawaban?

Keluargaku utuh, tapi tak indah. Keluargaku lengkap, tapi tak sempurna. Mereka orang tua kandungku, tapi bukan sandaran hidup.

“Apa itu orang tua? Apa bedanya orang tua kandung atau tiri? Apa hanya karena sedarah, akan diperlakukan dengan benar-benar baik? Apa hanya karena orang asing lalu harus dijauhi?” gumamku yang ternyata masih tak terlalu pelan.

Nisa mengernyit.

“Dulu, aku minum hanya karena penasaran. Sekaligus ingin lari dari kenyataan. Jadi baik sesuai keinginan mereka saja tak cukup. Tapi jadi nakal pun aku malah serta merta dibuang. Diusir dari rumah dengan cara teramat halus,” jelasku lagi.

“Liat kamu sama Ibu kamu, bikin aku iri. Kalian seperti teman, saling bicara, saling bertengkar. Bapak kamu juga, hampir-hampir sama sekali tak terlihat seperti orang lain. Kamu diperlakukan sama seperti Via dan Roby, tak ada yang berbeda, Nis. Sedang orang tuaku, di antara kami seperti terbentang sebuah jurang. Gak ada jembatan untuk saling menyeberang atau mencapai satu sama lain. Gak ada perantara untuk saling memahami meski sedarah. Aku sama Ayah dan Ibu, seperti ada sebuah batasan di mana mereka orang tua dan aku hanya seorang anak.”

Aku menengadah menatap langit-langit ruangan. Sejenak, aku merasa seperti ditarik kembali ke dalam putaran kaset yang menampilkan film berisikan sejarah hidupku sendiri. Aku seperti sedang menonton semua itu dengan begitu nyata di dalam kepala.

Aku, seakan berdiri di depan cermin yang memantulkan bayangan. Namun, yang muncul di sana adalah diriku sendiri di masa kecil.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel