Ibu, Kenapa?
“Ibu sudah bilang jangan main keluar, masih aja bandel! Mau kamu apa? Melawan orang tua? Jadi anak durhaka?” cecar wanita yang telah melahirkanku delapan tahun lalu itu.
“Tapi, Bu. Nay cuma ke rumah Riska. Nay cuma ikut liat aja,” sahutku menunduk. Tubuh terlalu gemetar hanya untuk mengangkat wajah dan menatap Ibu.
“Gak ada tapi-tapi! Kamu itu harus dengerin apa kata orang tua! Mau jadi apa masa depan kamu kalau ngelawan terus!” Sebuah cubitan sepedas gigitan semut api kembali singgah di lengan kananku.
Meski sakit, aku bahkan tak berani mengusap sisa jejak cubitan itu.
“Sudah belajar sana! Sebentar lagi ulangan kenaikan kelas, kerjanya main aja terus! Coba lihat kakak kamu, dia rajin belajar makanya bisa juara satu tiap semester. Di mana-mana anak orang mau nurut sama omongan ibunya, cuma kamu yang bandel!” Langkah Ibu yang berpaling menuju kamar meninggalkanku sendiri di depan pintu.
Setelah memastikan Ibu benar-benar telah memasuki kamar, baru aku berani turut melangkah. Jarum pendek pada jam dinding baru menunjuk angka empat, dan jarum panjang yang merujuk angka tiga, pertanda bahwa aku baru dua puluh menit meninggalkan rumah. Akan tetapi marahnya Ibu sudah seperti aku pergi bermain seharian.
Aku melangkah menuju kamar Kak Nila untuk mengambil pakaian ganti sekaligus handuk. Di rumah ini hanya ada dua kamar, milik Ibu di mana beliau akan tidur bersama Ayah juga Dek Mila, serta satu kamar milik Kak Nila sendiri.
Kak Nila yang disebut telah baligh membuatku harus rela tidur di ruang tengah. Aku hanya diizinkan memasuki kamar Kak Nila untuk mengambil atau berganti pakaian saja.
Setelah menyelesaikan mandi hanya dalam hitungan menit, aku memilih mengambil buku pelajaran agar Ibu tak lagi marah. Hingga azan Magrib berkumandang, lalu lalang Ibu yang sibuk dengan pekerjaan rumahnya, Kak Nila yang baru pulang dari kegiatan ekstrakurikuler, Dek Mila yang baru saja bangun dari tidur siangnya, serta Ayah yang baru selesai bekerja membuat suasana rumah kembali terasa ramai.
Usai Ayah selesai mandi serta bersiap untuk salat, aku bergegas berwudu agar bisa ikut salat berjamaah.
“Bu, ikut salat berjamaah?” tanyaku pada Ibu.
“Ibu sibuk. Kamu sama Ayah aja sana!” ketus Ibu.
Aku melangkah menuju kamar Kak Nila dan mengetuk pintu. “Kak, salat bareng?” panggilku.
“Aku lagi kedatangan tamu, Nay,” sahut Kak Nila tanpa membuka pintu sedikit pun.
Aku akhirnya menyerah, ingin mengajak Dek Mila pun mustahil karena usianya yang bahkan belum menginjak tiga tahun. Suara iqamat yang dikumandangkan Ayah terasa begitu menenangkan. Gegas kupasang mukena agar Ayah tak harus menunggu lagi.
Salat tiga rakaat yang hanya kulakukan berdua Ayah sudah menjadi rutinitas. Dulu, Kak Nila selalu rajin ikut berjamaah. Kadang-kadang, kami malah bercanda di tengah salat. Seusai salat, Ayah pasti akan marah dan menegur kami berdua. Namun, sejak Kak Nila mengatakan kalau kedatangan tamu kami tak pernah lagi salat bertiga. Kak Nila selalu memilih salat sendirian di dalam kamar.
Ibu sendiri selalu menolak ajakanku untuk berjamaah. Ayah pun seperti tak pernah mempermasalahkan walau Ibu hanya sibuk menonton televisi.
Selesai menunaikan salat, aku memilih tetap duduk khusyu di belakang Ayah untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat dari surah Yasiin yang selalu beliau baca. Hanya ini satu-satunya waktu aku bisa bersama Ayah. Jika siang Ayah akan sibuk bekerja, maka malam Ayah seringkali memilih keluar, entah untuk ikut ronda atau sekadar bermain kartu di gang sebelah.
Meski hanya duduk di shaf belakang Ayah dan mendengarkan bacaannya, aku sudah merasa senang. Rasanya kami begitu dekat meski tak saling bicara. Mungkin karena memang selama ini hanya Ayah yang paling memanjakan dan memperhatikanku jika dibanding Ibu.
Aku kembali melipat mukena dan merapikan sajadah. Ayah sendiri sudah berganti pakaian dan tampak pamit pada Ibu. Bisa kulihat raut wajah kesal Ibu yang tengah ditekuk. Ibu bahkan tak menjawab sedikit pun ucapan hingga salam dari Ayah saat meninggalkan rumah.
Sebelum berniat kembali meneruskan belajar, aku sengaja mengambil mie instan dan memasaknya untuk makan. Sambil makan, aku memilih duduk di samping Ibu meski tak sedikit pun menikmati acara yang disiarkan di televisi.
“Bu, tadi di sekolah pas ke toilet Ibay ngintipin Nay,” ceritaku mengawali pembicaraan.
Sudah seharian ini aku terus terpikirkan apa yang dilakukan murid laki-laki sekelasku itu. Rasanya malu, tapi aku tak tahu apa alasan kenapa harus malu. Rasanya seperti ada yang salah, tapi aku tak tahu di mana.
“Dasar ceroboh! Makanya Ibu bilang kalau ke toilet itu sama temen, terus pintunya dikunci bener-bener!” omel Ibu meski pandangannya tak beralih sedikit pun padaku.
“Tadi sama Hani, sama-sama kebelet, Bu,” kilahku membela diri.
“Memang kamu yang ceroboh. Makanya, kalau orang tua kasih pesan itu diingat. Jangan ngejawab mulu! Kamu lupa kalau anak itu gak boleh jawab omongan orang tua?”
Mendengar hal itu, nafsu makanku seketika hilang. Meski sisa mie di mangkok masih setengahnya aku tak lagi tertarik untuk menghabiskan. Mengapa Ibu hanya akan marah atau mengabaikan jika aku bercerita? Padahal, aku sering melihat Kak Nila yang bisa menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk bicara berdua Ibu?
“I-iya, Bu,” sahutku pelan dengan suara yang terasa begitu berat untuk dikeluarkan. Tergesa kuhabiskan sisa mie meski tak benar-benar mengunyahnya. Kemudian bergegas meninggalkan Ibu dengan alasan ingin mencuci mangkok dan kembali belajar.
Di kamar mandi yang sekaligus menjadi tempat mencuci piring maupun mencuci pakaian, bukannya membersihkan mangkok, aku lebih memilih berjongkok dan bersandar pada dinding. Rasanya, perkataan Ibu tadi benar-benar menusuk dan membuatku ingin menangis daripada kenakalan Ibay di sekolah.
Rasanya, semakin banyak hal-hal membingungkan yang membuatku merasa sakit dan sedih. Seringkali aku melihat teman-teman yang memiliki Ibu layaknya teman sebaya, tapi kenapa Ibuku berbeda? Atau, malah sebenarnya justru aku sendirilah yang berbeda hingga tak pernah bisa bicara lama dengan Ibu meski sedang berdua?
Suara langkah yang mendekati kamar mandi membuatku terpaksa segera berpura-pura mencuci mangkok. Di depan pintu, tampak Kak Nila yang berdiri menatapku.
“Lama banget cuma nyuci mangkok sama sendok satu!” gerutunya.
“T-takut pecah, Kak,” kilahku beralasan, mengingat mangkok yang memang mudah pecah jika terempas.
Tanpa menghiraukan jawabanku, Kak Nila melengos memasuki toilet. Aku sendiri segera menyelesaikan bilasan terakhir agar sisa sabun benar-benar hilang. Ibu selalu marah jika aku tak bersih saat mencuci.
Namun, saat aku melangkah ke ruang tengah Ibu sudah tak terlihat lagi di depan televisi. Usai meletakkan mangkok dan sendok pada rak cucian piring, aku mencoba menuju ke kamar Ibu untuk mengecek. Di dalam kamar, hanya ada Dek Mila yang sibuk menata boneka-boneka Barbie-nya. Kamar Kak Nila yang pintunya terbuka juga dengan jelas menampakkan kalau tak ada siapa-siapa di dalamnya.
Aku beranjak menuju pintu depan. Dari luar, terdengar suara sesuatu yang tengah dirobek dengan cepat. Karena tak berani membuka pintu, aku memilih hanya menunduk kemudian mengintip melalui lubang kecil dari dua papan kayu yang renggang di bawah jendela.
Di pelatar, tampak Ibu berdiri sendiri merobek kertas kemudian menghamburkannya tepat di bawah jendela kamar Kak Nila. Pelatar yang tadi sore sudah dibersihkan Ayah kini berserakan oleh potongan-potongan kertas.
