Karma?
“Kata Tante Nun, Bapak nikahin Ibu saat Ibu hamil empat bulan.”
Hanya sepenggal kalimat itu yang lolos dari bibir Nisa sebelum akhirnya tangisnya pecah. Tanpa penjelasan, tanpa alasan. Aku yang terkejut sekaligus panik, sampai-sampai lupa ingin bertanya. Aku bahkan tak tahu harus berkata apa untuk menenangkan Nisa. Jika benar pun seperti itu, wajar Nisa tampak acuh meski jauh di dalam lubuk hati, jelas dia begitu hancur dan terpuruk.
**
“Makasih udah nganterin,” ucapku pada laki-laki yang masih duduk tersenyum di sepeda motornya. Nisa sendiri sudah lebih dulu berlari ke rumah dan membuka pintu sendiri.
“Nay, boleh minta nomor kamu?” tanya Husin yang tiba-tiba menggenggam tanganku cukup erat.
Aku yang semula hendak segera menyusul Nisa terpaksa menghentikan gerak langkah dan menoleh. “Aku gak dibolehin Kak Yuni buat main HP sampai ujian sekolah selesai,” tolakku halus.
“Buat jaga-jaga siapa tahu nanti kamu ada perlu,” tawarnya.
Hati-hati, kulepaskan genggaman tangannya. “Kalau gitu, kamu bisa minta sama Kak Yuni aja.” Tanpa ingin berlama-lama, aku segera memasuki rumah.
Suara sepeda motor terdengar menjauh meninggalkan halaman tepat saat langkah pertamaku mencapai pintu. Meski dengan tubuh yang masih gemetar, pandanganku segera memindai ruangan untuk mencari Nisa. Menyadari sosoknya yang tak ada di ruang depan, kuputuskan untuk mengecek ke kamar.
Benar saja, sosok yang kucari itu tampak berbaring menghadap tembok dengan tubuh meringkuk memeluk lutut. Tak ingin mengganggunya yang mungkin sedang ingin sendiri membuatku memilih segera ke dapur untuk mengambil air minum.
Satu yang kusadari saat tengah menunggu gelas terisi penuh, sisa air di galon hanya cukup untuk minum. Padahal, sisa nasi hanya sedikit, air di termos pun mungkin tak sampai setengahnya. Setelah gelas penuh, aku memilih duduk pada pinggiran dipan bagian kanan sambil bersandar pada dinding tepat di sisi jendela.
Tak lama, suara kaki terdengar semakin mendekati dapur. Mengingat pintu depan yang jelas terkunci membuatku sedikit lega karena yakin bahwa itu Nisa. Benar saja, Nisa berhenti tepat di tengah-tengah pintu dan mengarahkan tatapan padaku. Sepasang mata bulatnya kini tampak semakin bengkak.
“Kamu mau makan apa, Nis? Nasi sisa sedikit, mau masak mie juga air di termos kayanya gak cukup,” tanyaku memulai percakapan.
Nisa hanya berjalan, mengambil gelas dan mengisi hingga penuh tanpa menjawab apa pun. Aku pun turut berdiam menunggu hingga dia selesai menenggak isi gelas sepenuhnya.
“Aku malas makan. Mbak Nay aja,” sahut Nisa yang kembali meletakkan gelas.
“Nanti aku dimarahi Kak Yuni kalau kamu gak makan, Nis,” tegurku yang malah tak lagi didengarkan Nisa.
Tampak, anak menjelang remaja itu turut bersandar pada tiang yang berada tepat di tengah dapur. Nisa melipat tangannya bersedekap di dada dengan kepala yang mendongak menatap langit-langit dapur.
“Sebenarnya aku kesal sama Mbak Nay, tapi cuma Mbak Nay aja yang bisa diajak bicara,” ucapnya diiringi helaan napas cukup panjang.
“Maaf, Nis,” gumamku pelan.
“Apa Ibu sering ketemu Om Anto?”
“Biasanya, sebelum pergi ke pasar buat ngambil uang belanja,” jawabku apa adanya.
“Jadi, karena itu Ibu gak pernah mau ajak aku. Ibu cuma ngajak Mbak Nay,” simpulnya.
Sesaat, Nisa yang kembali diam membuatku urung berucap. Terlebih ucapan terakhirnya cukup menusuk.
“Ibu … sering ngajak Om Anto malam-malam, kan? Malam kita berantem dulu, Mbak Nay bersikeras gak bolehin aku masuk ke kamar karena ada Om Anto, kan?” tanyanya tanpa berbasa-basi sedikit pun.
Ragu, aku mengangguk. “Kamu tahu dari mana, Nis?”
“Feeling aja, Mbak. Aku sering dengar suara aneh, aku kira dari rumah Tante Aulia. Ternyata ….” Nisa menggantungkan ucapannya, yang bahkan tanpa diteruskan pun aku sudah mengerti apa yang dimaksud.
Memang benar, malam itu Nisa ternyata tak benar-benar tidur dan pasti dengan jelas mendengar suara desahan Kak Yuni yang sedang bersama Kak Anto di kamar.
“Kenapa harus keluargaku, Mbak? Kenapa harus orang tuaku? Seandainya Ibu gak selingkuh sama Om Anto, aku juga gak perlu tahu kenyataan kalau bukan anak Bapak.” Nisa menunduk diiringi suaranya yang semakin pelan.
“Aku masih mau jadi anak Bapak. Aku mau ikut Bapak. Tapi, aku malu, Mbak,” racaunya lagi.
Niat untuk minum yang sempat tertunda, mendadak hilang. Rasa hausku telah terbayarkan oleh kata-kata Nisa yang serupa duri-duri tajam saat ditelan. Aku yang tak mengetahui banyak, semakin dibuat kebingungan.
Aku bangkit dan mendekati Nisa, gemetar dari kedua tungkai tak kuhiraukan. Begitu tepat di hadapannya, kutarik Nisa ke dalam pelukan. Tak ada penolakan, tapi juga tak ada balasan. Hingga jeda berikutnya, bisa kurasakan bahu Nisa berguncang seiring wajahnya yang terbenam mulai mengantarkan basah pada pakaian.
Beberapa saat, lagi, aku hanya bisa membiarkan Nisa menumpahkan seluruh tangisnya. Aku benar-benar tak bisa berkata apa-apa, hanya gerak tangan yang perlahan mengusap-usap punggungnya.
Hingga perlahan-lahann tangisnya mulai mereda, Nisa melepaskan diri. Aku masih bergeming memandang gerak tangannya menyapu pipi meski masih dengan wajah yang menunduk.
“Maaf, Nis. Aku mungkin salah, tapi aku juga gak punya pilihan. Kamu tau? Kalau bukan karena Kak Yuni mungkin juga aku sudah putus sekolah. Aku pikir Kak Yuni selingkuh hanya sebatas karena perlu uang. Malam Kak Anto datang, aku baru sadar kalau yang dilakukan Kak Yuni sudah melewati batas,” jelasku dengan begitu hati-hati.
Meski berdiam, gerak mata Nisa yang memandangku seakan-akan tengah mengatakan banyak hal.
“Kamu boleh marah sama aku, Nis. Kamu boleh benci sama aku.”
Tampak Nisa masih bergeming.
“Aku … sudah nerima bayaran yang setimpal atas dosa aku, Nis. Aku, bukan orang baik lagi, aku orang jahat.” Kutarik simpul senyum sambil menatap Nisa, meski begitu yang membayang di kepala malah Kak Ijul dan seluruh perlakuannya.
‘Tuhan, apa semua itu adalah karma karena aku telah menghancurkan masa depan serta kebahagiaan Nisa, Via dan Roby?’ desahku dalam hati meski bibir terus bertahan dalam senyum palsu.
Suara ketukan terdengar dari pintu depan. Mendengar hal itu, sontak membuatku dan Nisa saling bertukar pandangan sekaligus pertanyaan yang mungkin tak terucapkan. Suasana di luar sudah semakin gelap karena kami berdua pulang saat senja menjelang. Kak Yuni yang pasti masih sibuk di rumah Mas Tris, membuatku hampir tak bisa menebak siapa yang datang.
Nisa cepat menyeka sisa basah di sudut matanya, kemudian mengangguk ke arahku. Meski tak mengerti apa yang dia maksud, aku tak juga menolak saat dia menarikku ke luar.
“Mbak Nay aja yang bukain, ya? Aku mau ganti baju dulu,” pamitnya yang berlari ke kamar setelah mengantarkanku ke ruang depan.
“T-tapi, Nis ….” Belum selesai aku bicara, Nisa sudah menutup pintu kamar.
Ketukan kembali terdengar dari luar, dan kali ini lebih keras ….
