Korban Bully
Mataku masih terasa berat karena tak bisa tidur dengan nyenyak. Pertengkaran Ayah dan Ibu membuatku hanya berani pura-pura tidur di balik selimut tanpa benar-benar terlelap. Hingga pagi pun suasana rumah terasa asing karena tak ada percakapan sedikit pun di antara mereka. Ibu mengurung diri di dalam kamar dan hanya ke luar saat hendak mandi, sedang Ayah menyibukkan diri dengan menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah.
Saat aku menyalami tangan Ibu untuk berpamitan pergi ke sekolah pun, ucapanku hanya dijawab dengan dehaman serta uluran tangan yang terkesan terpaksa. Meski begitu, aku tak berani bertanya apalagi protes dengan sikap Ibu.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku segera turun dari sepeda motor Ayah. “Nay sekolah dulu, Yah.”
“Kalau pulang nanti Ayah belum datang, tunggu aja. Jangan ke mana-mana, jangan pulang jalan kaki,” pesan Ayah yang bahkan tak melihat lagi pada anggukanku karena telah memutar sepeda motornya dan beranjak menjauh.
Aku menghela napas panjang saat berpaling dan memulai langkah menuju kelas. Hani yang sepertinya baru datang tak lama setelahku turut mensejajari langkah. Lagi, raut yang kulihat di wajahnya adalah sendu dan tak bersemangat.
“Nay, mana uang jajan kamu? Aku belum sarapan nih, gimana mau belajar nanti?” pintanya mengulurkan tangan kanan yang sudah menadah di depanku.
Tanpa berbasa-basi, kukeluarkan satu lembar uang lima ribu rupiah dari dalam saku. Belum aku menyodorkan, Hani sudah terlebih dahulu mengambilnya.
“Enak, ya, jadi kamu. Punya orang tua lengkap, diperhatikan, dikasih uang jajan, gak sampai ngerasain lapar kaya aku,” komentarnya setelah memasukkan uang yang diterima ke dalam tas.
Murid perempuan yang sudah menjadi teman pertamaku sejak masuk sekolah ini memang bernasib kurang beruntung. Dulu, aku berpikir kalau Hani adalah anak yang kuat. Dia selalu berani menyuarakan apa yang dia suka ataupun tidak. Hani juga orang pertama yang menyapaku saat murid-murid lain acuh karena aku tak tahu bagaimana cara untuk mengajak berteman.
Walau Hani selalu meminta uang, dia sebenarnya sahabat yang setia. Aku baru menyadari alasan kenapa dia seperti itu saat dia dilarikan ke UKS karena demam dan sakit maagh karena terlambat makan. Orang tuanya yang bercerai sejak dia masih TK membuatnya harus ikut dengan bibi. Uang kiriman yang jarang sekali diterima membuatnya hampir-hampir tak memiliki uang jajan.
Banyak yang menyayangkan persahabatanku dengan Hani karena menganggap Hani hanya memanfaatkan. Namun, bagiku Hani adalah teman yang berharga. Dia yang selalu mengajakku bercanda hingga tertawa. Jadi, aku juga tak boleh membiarkannya kesusahan sendirian.
Sesampainya di kelas, aku dan Hani tak sengaja melihat Ibay yang berdiri mencoret-coret papan tulis meski Fitri berulang kali berteriak menegurnya.
“Eh, si pendek datang,” ejek Ibay yang jelas melayangkan tatapannya ke arahku. Aku hanya berdiri terdiam menggigit bibir bawah dengan cukup keras.
“Bay! Jangan ngabisin tinta spidolnya dong! Ngisinya nanti gak mau!” protes Fitri yang berusaha merebut spidol dari tangan kanan Ibay.
Namun, Ibay sepertinya sama sekali tak mendengarkan. Dia malah terus menggambar kemudian berceletuk, “Ini ‘anu’ Nayla.”
Kedua kakiku seketika lemas, tubuhku gemetar hebat. Entah kenapa aku merasa sangat malu karena murid laki-laki yang sudah ada di kelas tak hanya Ibay. Suara tawa dan sorak dari mereka seolah bersahut-sahutan.
Aku bisa melihat Fitri yang segera merebut spidol dan menghapus gambar itu. Hani sendiri sudah tampak berdiri bahkan mendorong kepala Ibay hingga mengenai papan tulis tanpa aku sadar kapan dia beranjak.
“Beraninya kamu!” Tampak Ibay membulatkan matanya menatap Hani. Hani sendiri membalas tatapan itu tanpa mau kalah.
“Iya, anak nakal kaya kamu itu emang gak boleh ditakutin!” cecar Hani.
“Bay! Hani! Udah, nanti guru datang.” Fitri berusaha melerai mereka. Namun, Ibay malah memukul Hani. Bukannya mengalah, Hani malah juga membalas pukulan itu hingga suara tangannya yang mendarat di pipi Ibay bisa sampai pada pendengaranku.
Hani dipukul karena ingin membelaku. Padahal, aku sendiri terlalu takut hanya untuk bergerak. Tanpa kami sadari sedikit pun Pak Syaufi yang tak tahu sejak kapan berdiri di belakangku dan melangkah memasuki kelas.
Tak hanya Ibay, Hani dan Fitri, murid-murid yang sebelumnya menertawakanku turut terdiam menunduk.
“Ada apa ini?” tanya guru laki-laki bertubuh tinggi besar dengan perut buncit itu dengan pandangan yang jelas sedang menyapu pada kami semua.
Tak sanggup untuk menjawab membuatku memilih berpaling dan lari menuju toilet sekolah tanpa menghiraukan sedikit pun panggilan Hani maupun Pak Syaufi. Sesampainya di dalam toilet, kukunci pintu dan bersandar dengan kepala menengadah. Lantai yang kupijak masih kering karena mungkin masih belum ada yang masuk membuatku perlahan-lahan memerosotkan tubuh hingga benar-benar jatuh terduduk.
Aku membungkuk dan memeluk kedua lutut. Meski air mata mulai merebak pecah tanpa tertahan, sekeras mungkin aku menggigit bibir bawah agar suara isak tak sampai terdengar siapa pun. Namun, bukannya mampu menahan suara, bibirku malah terasa sakit saat cairan amis mulai keluar dari bekas gigitanku sendiri.
Cukup lama suasana yang sepi hanya mengantarkan suara isakku hingga akhirnya terdengar derap langkah mendekat. Aku meremas keras rok sekolah dan kembali menggigit bibir dengan keras tanpa memedulikan nyeri yang terasa.
“Nay, aku tau kamu di dalam. Ke luar, yuk!” panggil suara milik Hani.
Aku menggeleng sendiri meski tahu Hani takkan mengetahui pilihan yang kujawab dari dalam sini.
“Kalau nanti Ibay nakal lagi, biar aku yang pukul dia. Kamu tau enggak, Nay? Tadi pas aku pukul Ibay kayanya mau nangis, tapi dia pasti malu kalau nangis. Matanya kaya berkaca-kaca gitu. Kamu jauh sih, coba kalau dekat pasti ketawa liatnya,” bujuk Hani lagi.
Bukannya mereda, aku malah semakin tak bisa menahan isak. Aku lupa menggigit kembali bibir bawah hingga tangisku malah terdengar.
Suara langkah lain yang terdengar mengarah mendekat membuatku segera menutupkan kedua tangan pada mulut dengan keras.
“Nayla masih belum mau ke luar?” Suara yang begitu familiar dari luar sepertinya tengah menanyai Hani di luar.
“Belum, Bu,” sahut Hani.
“Nayla Sayang, ini Ibu. Buka pintunya, ya.” Kali ini benar saja, suara itu milik Bu Wati, wali kelas kami.
“Ibu gak tahu apa yang terjadi tadi sama kemarin. Nayla cerita, ya, Sayang,” bujuk Bu Wati lagi.
Namun, rasanya aku masih tak bisa percaya dengan ucapan itu. Masih jelas terbayang bagaimana respon Ibu di rumah saat aku bercerita. Apa ada yang akan mau mendengarkanku? Apa ada yang akan mau menjawab kebingunganku? Apa ada yang akan mau mengerti tanpa memarahiku?
“Ibu janji gak akan marah sama kalian, Sayang. Ibay memang nakal dari dulu, kan? Nayla sama Hani gak salah.” Mendengar ucapan Bu Wati yang terakhir, tubuhku rasanya tiba-tiba bergerak sendiri saat berdiri dan mulai membuka kunci.
Sebelum benar-benar keluar, kuseka terlebih dahulu sisa basah pada kedua mata dan pipi dengan ujung jilbab sekolah. Ragu-ragu kupandangi sosok guru dengan wajah ramah yang tampak bercampur dengan raut khawatir itu. Di sisi Bu Wati, Hani sendiri menatapku dengan ekspresi yang tak jauh berbeda.
“Nayla sama Hani ikut ibu sebentar, ya? Ibu duluan,” pamit Bu Wati meninggalkanku bersama Hani.
Hingga bayang Bu Wati benar-benar sudah tak terlihat lagi baru Hani menyikut tanganku. Aku menoleh ke arahnya yang tampak kebingungan sendiri.
“Nay, maaf. Gara-gara aku berantem sama Ibay tadi kita dipanggil ke kantor guru,” sesalnya dengan sedikit menunduk.
“Kenapa?” tanyaku sedikit memaksakan suara agar bisa keluar meski berat. Namun, Hani tak menjawab apa pun. Hal yang semakin membuatku takut tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
