Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Memberanikan Diri

Aku menunduk dengan tangan memilin ujung jilab. Hani yang diminta ke luar membuatku hanya tertinggal berdua dengan Bu Wati. Ruang bimbingan konseling yang berada di sudut kanan kantor ini sebenarnya memiliki satu kipas yang terpasang di tengah-tengah antara pembatas ruangan. Namun, aku malah merasa tidak nyaman hingga berkeringat.

“Nayla,” panggil Bu Wati yang membuatku sedikit mendongak meski gemetar hebat.

Gerak tangan gemuk itu melepas kacamata yang sempat bertengger pada hidung mancungnya. “Ada yang mau diceritakan sama Ibu?”

Aku mengatupkan bibir rapat-rapat sambil menggeleng.

“Kalau Nayla gak cerita, Ibu gak bisa bantu Nayla,” bujuk Bu Wati.

Aku masih hanya berani menggelengkan kepala.

“Nayla takut? Ibu gak menggigit, lho,” canda beliau yang berhasil membuatku menahan senyum.

“Ibay sering nakal sama Nayla? Sering ganggu Nayla?” Pertanyaan itu kembali dilontarkan. Aku tak menjawab, pandangan hanya terus menelusur wajah pemilik mata dengan tatap teduh itu.

“Kalau Nayla cerita, biar Ibu bisa tegur Ibay supaya enggak nakal lagi.”

Kukepalkan genggaman tangan, menarik napas panjang berusaha menggerakkan bibir. Namun rasanya terlalu berat dan sulit.

Bu Wati mengangguk pelan dengan senyum penuh, sebuah ekspresi yang sangat jarang kutemui dari Ibu di rumah. Sebuah ekspresi seolah sedang menunggu ceritaku, padahal selama ini Ibu saja tak pernah melakukan hal itu. Ada rasa sakit yang tak aku tahu asalnya dari mana, rasa sakit yang malah lagi-lagi membuat air mataku jatuh.

Bu Wati meraih selembar tisu dan menyodorkannya padaku. Segera kuterima dan menunduk kembali karena merasa malu.

Gemetar hebat semakin melanda tubuh saat kurasakan tangan itu mengusap-usap pelan pundak. Bukannya berhenti menangis, aku malah semakin terisak.

“Ibay kemarin buka pintu toilet pas Nay buang air. Ibay juga ngejek Nay tadi, makanya Hani marah. Tapi, Hani malah dipukul Ibay. Ibu jangan marah sama Hani, Hani enggak salah.” Satu demi satu kalimat itu akhirnya bisa kulepaskan. Kemudian, berangsur-angsur bisa kurasakan perasaan nyaman dan ringan seperti terbebas dari sebuah jeratan.

“Astagfirullah,” gumam Bu Wati seketika.

Respon dari Bu Wati yang hanya mengucapkan istigfar mendadak membuatku merasa telah salah mengatakan semua itu. Namun, aku juga takkan bisa menarik ucapanku.

“Kenapa Nayla gak bilang sama Ibu dari kemarin?” tanya guru wali kelas yang sekaligus guru matematika itu.

“Nay malu,” ungkapku ragu.

Bu Wati memegang erat kedua bahu. “Nayla, lihat Ibu, Sayang.”

Perintah itu mau tak mau membuatku harus menurut.

“Kalau ada yang ngintip atau buka pintu toilet saat Nayla masuk, bilang Ibu. Kalau ada yang nakal, bilang Ibu. Nayla jangan diam, ya? Nayla harus berani bicara. Nayla juga harus berani melawan,” pesan Bu Wati yang hampir-hampir tak bisa kuhafal sekaligus.

“Kalau Nayla bilang sama Ibu, Ibu gak marah?” tanyaku.

Kali ini Bu Wati menggeleng. “Kalau Nayla gak salah, jangan takut. Ibu gak akan marah.”

“Tapi, Ibu di rumah malah marah pas Nay bilang kalau Ibay nakal.” Aku kembali menunduk sebelum kembali melanjutkan ucapan. “Ibu gak pernah mau dengar kalau Nay mau cerita.”

“Kalau Ibu Nayla sibuk, Nayla masih punya Bu Guru di sekolah buat cerita. Di sekolah, orang tua Nayla adalah guru-guru, ya, Sayang. Sudah, setelah ini Ibu mau bicara sama Hani, baru panggil Ibay, ya? Nayla boleh keluar sekarang,” titah Bu Wati yang hanya kujawab dengan anggukan.

Sebelum berdiri dan meninggalkan kursi, terlebih dahulu kuhapus air yang sempat membasahi pipi. Begitu membuka pintu, tampak Hani yang semula duduk segera menyambutku.

“Kamu disuruh Bu Wati masuk juga,” ucapku berusaha keras menahan sisa isak. Hani hanya mengacungkan jempolnya dan masuk dengan penuh percaya diri.

Aku memindai sekitar, ruangan kantor sedang sepi, pasti guru-guru sedang sibuk mengajar karena sekarang memang sudah jam pelajaran pertama. Hanya aku dan Hani serta Bu Wati saja yang berada di ruangan ini.

Rasa penasaran dengan yang dibicarakan Hani dan Bu Wati membuatku urung duduk. Kutempelkan telinga kanan pada dinding di sisi pintu untuk mencuri dengar. Ruang kantor yang sepi membuatku merasa sedikit leluasa.

“Kenapa Hani memukul Ibay?” Samar-samar masih bisa kudengar pertanyaan Bu Wati.

“Karena Ibay nakal. Suka gangguin Nayla. Aku gak suka sahabat aku sedih.” Terdengar jawaban yang diucapkan oleh Hani sama sekali tak menyiratkan keraguan apalagi rasa takut.

“Ibay sering nakal sama Nayla?” Lagi, Bu Wati bertanya.

“Sering. Ibay sering ngatain Nayla pendek, padahal dia sendiri murid paling pendek di kelas. Ibay sering ngambil pensil sama penghapus Nayla. Ibay juga pernah masukin sampah ke laci meja Nayla. Padahal aku mau balas, tapi gak dibolehin Nayla. Kemaren aja Ibay masuk ke toilet padahal udah tau Nayla ada di dalam. Aku kaget, jadi langsung ke luar toilet juga. Aku bilang lapor aja ke guru, Nayla malah gak mau.”

Aku terdiam mendengar seluruh ucapan Hani. Gegas memilih duduk pada sofa kemudian mengambil segelas air mineral yang memang tersedia di meja. Belum menyelesaikan beberapa tegukan, tampak Hani yang sudah membuka pintu dan keluar bersama Bu Wati.

“B-bu, N-Nay minta air,” pintaku yang sebenarnya sadar kalau salah telah mengambil sebelum diizinkan.

“Ambil, Sayang. Hani kalau haus juga boleh minum. Air di sana memang disediakan kalau ada tamu,” jawab Bu Wati yang membuatku sedikit lega.

Hani sendiri segera mengambil satu gelas air mineral. Setelah berterima kasih dan berpamitan pada Bu Wati, kami berdua segera menuju kelas.

Sesampainya di kelas, entah kenapa pandangan pertamaku malah tertuju pada Ibay. Raut marah dan mengancam yang tergambar di sana lagi-lagi mengundang rasa takut hingga aku gemetar. Namun, Hani malah segera menarikku untuk duduk ke kursi yang berada di barisan ke empat dari depan.

Suasana yang sempat ramai karena masing-masing murid saling berbicara dengan teman sebangku kembali hening saat Bu Wati memasuki kelas. Bu Wati meminta kami membuka buku dan memulai pelajaran. Meski tak bisa berkonsentrasi dengan benar, aku berusaha tetap memperhatikan dan menulis yang beliau jelaskan.

Hingga jam sekolah berakhir saat lonceng pulang berbunyi, usai membaca doa selesai belajar Bu Wati kembali masuk ke kelas. Bu Wati memberikan masing-masing amplop untukku, Hani dan juga Ibay.

“Berikan surat ini pada orang tua atau wali kalian, ya?” perintah Bu Wati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel