Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kekacauan

Aku termenung memandang pemilik wajah pucat yang terbaring lemas di kasur. Hampir tak percaya karena keadaannya yang menurun drastis hanya dalam satu malam. Dari cerita yang kudengar, Via mendadak demam, saat tidur pun menangis hingga mengigau memanggil Ibu. Kak Hendrik sampai harus begadang untuk menemani dan menenangkannya.

Anak perempuan yang selama ini tampak tak terlalu akrab dengan Kak Yuni, anak perempuan yang selama ini selalu dimarahi karena bermain lupa waktu dan pulang dalam keadaan kotor, ternyata malah menjadi seseorang yang benar-benar kehilangan sosok ibunya. Padahal, Kak Hendrik baru saja membawa Via menginap tadi malam dan perceraian baru saja terucap kemarin siang.

Sedang Nisa yang selama ini cenderung manja dan selalu mengekori Kak Yuni malah tampak acuh meski sembab serta bengkak masih membekas pada sepasang mata cokelat kehitamannya. Untuk Roby yang baru berumur hampir empat tahun, sewajarnya masih belum mengerti kejadian yang menimpa keluarganya hingga tampak baik-baik saja.

"Buuu ...." Aku turut tersentak saat mendengar suara Via yang lemas dan begitu lirih.

Kembali pandangan terfokus pada Kak Yuni yang lekas menggenggam tangan Via. Kak Hendrik sigap mengambil alih kompres yang sebelumnya dilepaskan Kak Yuni begitu saja.

"Nay, minum tehnya dulu," panggil Mbak Nun yang sejenak berhenti tepat di depan pintu kamar. Kedua tangannya tampak memegangi nampan berisi satu teko besar serta beberapa gelas yang ditata.

Aku mengangguk, segera mengikuti langkah Mbak Nun menuju ruang tengah di bagian depan rumah tanpa meminta izin Kak Yuni karena tak ingin mengganggu.

Begitu duduk, kuarahkan pandangan jendela yang jelas menampilkan kebun milik Mas Tris. Tempat di mana Via biasanya bermain. Jika melihatku yang tampak bosan, dia pasti begitu bersemangat mengajak untuk membantu Mas Tris. Entah sekadar mencabuti rumput-rumput kecil, menyirami beberapa tanaman hingga memanen apa saja yang sudah siap panen.

Mendadak aku merasa begitu bersalah pada sosok ceria itu.

Suara gelas yang diletakkan dengan hati-hati di depanku membuatku harus kembali melesakkan semua perasaan itu. Senyum ramah Mbak Nun sesaat menebarkan hangat di dalam dada yang sejenak berkecamuk. 

Saat menoleh ke pelatar, tampak Husin yang tengah mengisap rokoknya sambil berbincang dengan Mas Tris.

"Nanti malam kalau Yuni menginap di sini buat nemenin Via, Nayla mau ikut? Atau mau sendiri di rumah?" tanya Mbak Nun yang sanggup mengubah tangan menjadi gemetar saat mengangkat gelas.

Segera aku menyesap teh dan meletakkannya kembali. Lidah terasa kaku karena lupa meniup-niup minuman yang ternyata masih panas itu, tapi sepertinya akan lebih baik jika dibanding harus membuat gelas pecah karena terlepas. Keringat dingin kembali membasahi telapak tangan, entah mengapa semakin mendengar dan memikirkannya, aku semakin membenci 'kesendirian' terlebih kalau harus di rumah.

Untuk turut menginap di rumah Mas Tris, sepertinya akan sangat merepotkan karena satu-satunya kamar yang mereka punya telah dipakai Via. Namun, untuk sendirian pun akan lebih menakutkan saat mengingat Kak Ijul yang akan nekat datang.

"Nay juga gak tau, Mbak," sahutku yang sadar bahwa tatap Mbak Nun sedang menyiratkan keingintahuan.

"Kalau Mbak Nay pulang, aku boleh ikut? Biar Mbak Nay gak sendirian nanti malam," sela Nisa.

Mbak Nun yang sempat hendak berucap tampak tercengang. Sebuah reaksi yang tak jauh berbeda dariku saat mata terpaku pada Nisa. Apa aku sedang tak salah mendengar?

"Kenapa gak rame-rame tidur bareng di sini?" protes Mbak Nun.

"Aku gak bisa nyenyak tidur kalau Via bentar-bentar nangis teriak!" keluh Nisa dengan nada suara yang terdengar bergetar karena emosi.

"Nisa, gak boleh gitu sama Tante!" tegur Kak Hendrik yang baru saja keluar dari kamar dan melangkah mendekati kami.

Sedang sosok yang ditegur tampak malah bergegas bangkit ke luar tanpa menghiraukan ucapan Kak Hendrik sedikit pun.

"Hen, biar aja. Anak-anak perlu ketenangan dulu kayanya. Mereka pasti masih syok sama perpisahan kedua orang tuanya." Lembut Mbak Nun yang paham segera menengahi.

Kak Hendrik yang duduk berseberangan denganku menyandarkan punggungnya pada tembok, helaan napas panjang terdengar setelahnya. Aku yang tak berani menatap memilih menunduk, hanya mencuri pandang sesekali kemudian beralih pada Nisa di luar. 

Tak lama, Kak Yuni menyusul ke luar dan duduk di sisiku. Dari dalam kamar yang menjadi tempat beristirahatnya Via juga sudah tak terdengar lagi isak atau suara apa pun. Sejenak, aku bisa menangkap gerak mata Kak Yuni yang tertuju pada sosok anak pertamanya. 

"Mbak Nay, temani aku main!" teriak Nisa dari luar. Aku yang segera menoleh ke arahnya bisa mendapati pemilik suara yang masih memfokuskan pandangannya pada jalanan meski tadi sempat memanggil.

Aku berpaling menatap Kak Yuni. Namun, belum mulut Kak Yuni tergerak untuk memberikan jawaban, suara langkah tergesa terdengar menjauh dari halaman. Melihat Kak Hendrik yang hanya mengangguk kemudian mengarahkan pandangannya ke luar, aku segera paham.

Baru langkah menginjak pelatar, sosok Nisa sudah menghilang.

Dengan napas tersengal, aku yang memelankan langkah usai berlari dari rumah Mas Tris bisa menyusul Nisa. Ada rasa canggung saat langkah kembali tepat sejajar dengannya.

Perempuan yang selama ini menjadi teman bertukar pendapat juga telah menjadi sosok yang paling sering ribut denganku. Keributan yang tentu saja karena kecurigaannya terhadap hubungan Kak Yuni dengan Kak Anto, sedang aku adalah orang yang memegang kunci seluruh rahasia sekaligus orang yang paling banyak membantu kelancaran kencan mereka. 

Kami berbelok ke arah kiri setelah berjalan kurang lebih lima puluh meter dari rumah Mas Tris. Di depan mata, pantai yang bersih sudah mulai tampak terlihat. Sesekali, rumput yang tingginya di bawah lutut terasa membuat kaki gatal dan tertusuk.

Kuikuti langkah Nisa yang turun kemudian berbelok menuju bangunan bekas SPBU. Hingga tepat di sisi jembatan yang mengarah ke laut, Nisa menjatuhkan diri pada pasir untuk duduk. 

"Mbak, gimana rasanya tinggal jauh dari orang tua?" tanyanya tiba-tiba. 

Mendengar hal itu, aku yang semula sempat menatap ke arah pantai segera menoleh padanya. Sebelum menjawab, aku terlebih dahulu duduk di sisi kanannya. Kedua kaki kuluruskan ke depan dengan tangan yang bertumpu ke belakang hingga dada membusung ke depan.

"Ya, gitu, Nis. Kadang kangen sama mereka, kadang sedih juga," jawabku yang memilih menengadahkan kepala menatap langit. "Kadang juga tak terlalu buruk."

"Aku malu, Mbak," ungkap Nisa diiringi tarikan napas berat. 

"Nis?" Aku yang heran akhirnya memilih menoleh. Dalam pandangan, sepasang kaca tengah membaluti mata bulat Nisa yang masih terarah pada laut. 

"Aku pikir, aku hanya akan kehilangan Ibu. Tapi, ternyata aku malah sudah kehilangan Ayah sejak lama, Mbak ...." Terdengar jelas suara Nisa yang bergetar, terlebih di akhir kalimatnya. 

"M-maksud kamu, Nis?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel